"

Selasa, 16 Oktober 2012

Kerajaan yang Toleran pada Zaman yang Intoleran



”SETIAP ORANG BOLEH MEMELUK AGAMA YANG IA PILIH TANPA PAKSAAN APA PUN, DAN BOLEH BEBAS MENDUKUNG PARA PENYEBAR AGAMA MEREKA SENDIRI.”

JIKA Anda diminta menebak kapan kata-kata di atas ditulis, apa jawaban Anda? Banyak yang mengira bahwa kata-kata ini termaktub dalam suatu undang-undang zaman modern.
Tetapi, Anda mungkin terkejut kalau diberi tahu bahwa deklarasi ini dibuat lebih dari 400 tahun yang lalu—dan di sebuah negeri yang bagaikan sebuah pulau toleransi di tengah-tengah laut intoleransi. Negeri apakah ini? Pertama-tama, marilah kita bahas sedikit latar belakang kisah ini.

Intoleransi sebagai Norma

Intoleransi beragama merupakan hal yang umum selama Abad Pertengahan dan semakin bertumbuh pesat pada abad ke-16. Agama mengipasi kobaran peperangan berdarah yang mengerikan di negeri-negeri seperti Belanda, Inggris, Jerman, dan Prancis. Antara tahun 1520 dan sekitar tahun 1565, sekitar 3.000 orang dieksekusi sebagai bidah di Susunan Kristen Barat. Siapa pun yang berani mempertanyakan tentang norma dan gagasan—khususnya di bidang keagamaan—kemungkinan besar akan dijawab dengan reaksi intoleransi.
Salah satu ajaran Gereja Katolik yang telah lama diliputi kontroversi adalah Tritunggal (Trinitas)—kepercayaan bahwa Allah terdiri dari tiga pribadi. Sesungguhnya, sejarawan Earl Morse Wilbur menjelaskan bahwa Tritunggal ”merupakan subjek yang banyak diperdebatkan pada Abad Pertengahan di kalangan para teolog Katolik, bahkan termasuk para Paus sendiri”. Akan tetapi, debat demikian jarang sampai ke telinga rakyat biasa, yang diharapkan menerima saja doktrin-doktrin semacam ini atas dasar iman sebagai ”misteri ilahi”.

Namun, ada orang-orang pada abad ke-16 yang memilih untuk tidak mengikuti tradisi tetapi memeriksa Alkitab dalam upaya untuk mengklarifikasi misteri ini. Semboyan mereka adalah sola Scriptura (Alkitab saja). Orang-orang yang menolak doktrin Tritunggal—yang beberapa di antaranya belakangan dikenal sebagai kaum Unitarian, lawan dari kaum Trinitarian—sering kali menjadi sasaran penindasan sengit oleh orang Katolik maupun Protestan. Mereka mencetak karya-karya mereka yang dibaca secara luas dengan nama-nama samaran dan menyembunyikan diri guna menghindari penindasan. Orang-orang anti-Trinitarian ini juga berada di garis depan dalam membela toleransi. Beberapa orang, seperti teolog Michael Servetus dari Spanyol, bahkan membayar keyakinan mereka dengan nyawanya.

Dipersatukan oleh Toleransi

Sebaliknya daripada ikut dalam peperangan religius atau menindas para pemrotes, ada satu negeri yang menerapkan pendekatan yang sangat berbeda. Negeri ini adalah Transilvania, yang pada saat itu merupakan negeri otonomi, dan sekarang bagian dari Rumania di Eropa Timur. Sejarawan Hongaria, Katalin Péter, menjelaskan bahwa Ratu Isabella dari Transilvania yang telah menjanda ”berupaya tidak ikut-ikutan dalam konflik religius dengan mengambil peranan sebagai pembela semua denominasi”. Antara tahun 1544 dan 1574, Parlemen Transilvania, atau Diet, memberlakukan 22 undang-undang yang memberikan kebebasan beragama.
Misalnya, setelah diadakannya Diet Torda pada tahun 1557, sang ratu, bersama putranya, mengeluarkan dekret bahwa ”setiap orang [boleh] mempertahankan kepercayaan religius apa pun yang ia inginkan, dengan ritus baru maupun lama, sementara Kami pada saat yang sama menyerahkan kepada penilaian mereka sendiri untuk melakukan apa saja sesuai dengan keinginan mereka dalam hal kepercayaan, selama hal itu sama sekali tidak membahayakan siapa pun”. Hukum ini disebut ”undang-undang pertama yang menjamin kebebasan beragama di negeri mana pun”. Toleransi beragama mencapai puncaknya di Transilvania di bawah pimpinan putra Isabella, John II Sigismund, yang mengambil pemerintahan langsung pada tahun 1559.

Debat Publik

Tokoh kunci lain dalam gerakan anti-Trinitarian di Transilvania adalah seorang dokter Italia bernama Georgio Biandrata. Keraguannya terhadap Tritunggal kemungkinan besar berkembang sewaktu ia berada di Italia dan Swiss, tempat banyak pengungsi anti-Trinitarian mencari perlindungan. Setelah pindah ke Polandia, Biandrata melakukan banyak hal untuk mendukung perkembangan Gereja Minor, yang belakangan dikenal sebagai Bruder Polandia. Pada tahun 1563, ia diangkat menjadi dokter serta penasihat Sigismund dan pindah ke Transilvania.
Tokoh terpelajar lain di Transilvania yang mempertanyakan Tritunggal adalah Francis Dávid, pengawas Gereja Reformasi dan rohaniwan istana. Mengenai ajaran-ajaran kompleks yang berkaitan dengan Tritunggal, ia menulis, ”Jika hal-hal ini penting untuk keselamatan, pastilah tidak akan ada rakyat jelata Kristen yang selamat, karena ia tidak pernah dapat memahami semua ajaran itu seumur hidupnya.” Bersama-sama, Dávid dan Biandrata menerbitkan sebuah buku yang berisi beberapa tulisan Servetus; mereka mempersembahkannya untuk Sigismund.
Kontroversi tentang Tritunggal mulai meningkat, dan menimbulkan tuntutan agar diadakan debat publik tentang subjek tersebut. Selaras dengan prinsip sola Scriptura, Biandrata menetapkan bahwa dalam debat demikian, hanya bahasa Alkitab, bukan filsafat, yang boleh digunakan. Setelah sebuah debat yang tidak konklusif pada tahun 1566, Sigismund memberi kaum anti-Trinitarian percetakan pers untuk menyebarkan gagasan mereka.
Biandrata dan Dávid memulai tugas mereka dengan penuh semangat, menghasilkan buku De falsa et vera unius Dei Patris, Filii, et Spiritus Sancti cognitione (Pengetahuan yang Keliru dan yang Benar tentang Kesatuan antara Allah Bapak, Putra, dan Roh Kudus). Buku ini juga memuat pemeriksaan sejarah orang-orang yang menolak kepercayaan Tritunggal. Salah satu pasalnya berisi gambar-gambar yang tampaknya dimaksudkan untuk mengejek caranya Tritunggal dilukiskan dalam karya seni di berbagai gereja. Lawan-lawan mereka tersentak, mengatakan bahwa gambar-gambar itu merupakan pelecehan, dan mereka berupaya memusnahkan semua buku itu. Diskusi-diskusi semakin banyak sebagai hasil publikasi kontroversial itu. Sebagai tanggapan, Sigismund menjadwalkan debat kedua.

Kemenangan bagi Unitarian

Debat tersebut dimulai pada pukul lima pagi tanggal 3 Maret 1568. Acara ini diadakan dalam bahasa Latin dan berlangsung selama sepuluh hari. Kubu Trinitarian dipimpin oleh Peter Melius, kepala Gereja Reformasi Transilvania. Ia dan para pembela Tritunggal menggunakan kredo-kredo, Bapak-Bapak Gereja, teologi Ortodoks, dan Alkitab. Di pihak lain, Dávid hanya mengutip Alkitab. Dávid mengidentifikasi Bapak sebagai Allah, Putra sebagai bawahan Bapak, dan roh kudus sebagai kekuatan Allah. Sigismund, yang sangat berminat kepada hal-hal religius, ikut serta dalam debat itu dengan keyakinan bahwa diskusi adalah jalan terbaik untuk menghasilkan kebenaran. Kehadirannya turut memastikan agar debat tetap bebas dan terbuka, sekalipun agak sengit.
Debat ini dianggap sebagai kemenangan untuk kaum anti-Trinitarian. Dávid disambut bagaikan pahlawan di kampung halamannya, kota Kolozsvár (sekarang Cluj-Napoca, Rumania). Menurut cerita turun-temurun, sewaktu ia tiba di sana, Dávid berdiri di atas batu besar di sudut jalan dan berbicara tentang kepercayaannya dengan begitu meyakinkan sehingga semua orang menerima ajarannya.

Pindah Agama dan Wafat

Kedua debat tadi diadakan dalam bahasa Latin, bahasa yang hanya dimengerti oleh orang terpelajar. Akan tetapi, Dávid ingin menyampaikan beritanya kepada rakyat. Jadi, dengan izin Sigismund, debat berikutnya diadakan dalam bahasa Hongaria di Nagyvárad (sekarang Oradea, Rumania) pada tanggal 20 Oktober 1569. Sekali lagi, Sigismund bertindak sebagai moderator antara kedua kubu.
Peter Melius yang menganut Tritunggal menyatakan bahwa dalam sebuah penglihatan pada malam sebelumnya, Tuhan Yesus telah menyingkapkan kepadanya karakter dia yang sebenarnya. Sang raja membalas, ”Pastor Peter, seandainya tadi malam Anda diberi tahu siapa Putra Allah itu, saya ingin bertanya, apa yang selama ini Anda ajarkan? Jelas-jelas hingga saat ini pun Anda masih menyesatkan orang-orang!” Ketika Melius melancarkan serangan verbal terhadap Dávid, Sigismund menegurnya, mengingatkan sang Tritinatrian bahwa ”kepercayaan adalah karunia Allah” dan bahwa ”hati nurani tidak bisa dipaksakan”. Dalam pidato penutup debat itu, sang raja mengatakan, ”Kami menuntut agar di wilayah kita ada kebebasan berhati nurani.”
Setelah debat itu, Sigismund dan sebagian besar keluarga istana menjadi yakin akan ajaran kaum Unitarian. Pada tahun 1571, sebuah mandat kerajaan dikeluarkan, yang memberikan pengakuan resmi kepada Gereja Unitarian. Transilvania merupakan satu-satunya Negara tempat kaum Unitarian memiliki status yang sama dengan penganut Katolik, Lutheran, serta Calvinis, dan Sigismund dikenal sebagai satu-satunya raja yang menerima kepercayaan anti-Trinitarian. Tragisnya, tidak lama kemudian, raja yang berusia 30 tahun ini cedera sewaktu sedang berburu bersama Dávid serta Biandrata, dan ia meninggal beberapa bulan kemudian.
Penerusnya, Stephen Báthory yang menganut Katolik, meneguhkan kembali dekret yang melindungi agama-agama yang diakui tetapi mengindikasikan bahwa ia tidak akan mentoleransi perubahan lebih jauh. Awalnya, Stephen mengatakan bahwa ia adalah penguasa rakyat, bukan hati nurani mereka. Tetapi, tidak lama kemudian, ia membatasi pencetakan buku, sarana utama untuk berbagi kepercayaan. Dávid kehilangan kedudukannya, dan kaum Unitarian lainnya dikeluarkan dari istana dan diturunkan dari jabatan pemerintahan.
Sewaktu Dávid mulai mengajar bahwa Kristus tidak boleh disembah, dikeluarkanlah sebuah perintah yang melarang dia mengajar. Meskipun dilarang, Dávid berkhotbah dua kali pada hari Minggu berikutnya. Ia ditangkap, dituduh melakukan ”inovasi” agama, dan dihukum penjara seumur hidup. Ia meninggal di penjara bawah tanah kerajaan pada tahun 1579. Sebelum meninggal, Dávid menulis pada dinding selnya, ”Pedang para paus . . . maupun bayangan kematian tidak akan menahan laju kebenaran. . . . Saya yakin bahwa setelah saya binasa, ajaran para nabi palsu pun akan runtuh.”

Pelajaran dari sang Raja

Raja John Sigismund mengembangkan pendidikan, musik, dan seni. Akan tetapi, kehidupannya singkat, dan ia sering sakit. Masa pemerintahannya pun dipenuhi dengan ancaman dari dalam—sedikitnya ada sembilan rencana jahat yang telah disusun untuk membunuhnya—dan dari luar, seraya kekuasaan-kekuasaan asing berupaya menyulut pemberontakan. Raja yang toleran ini sering dikritik pedas atas dasar pandangan religiusnya. Belakangan, seorang lawannya mengatakan bahwa sang raja ”pasti masuk neraka”.
Akan tetapi, sejarawan Wilbur memberikan penilaian yang objektif terhadap situasinya, ”Pada tahun Raja John [Sigismund] mengeluarkan dekret terakhirnya, yang menjamin kebebasan penuh untuk beragama bahkan kepada sekte yang paling sengit ditentang dari semua sekte reformasi, para teolog Protestan masih mengelu-elukan Calvin karena telah membakar Servetus hidup-hidup, Inkwisisi sedang membantai orang-orang Protestan di Belanda, . . . dan di Inggris, baru 40 tahun kemudian orang-orang berhenti dibakar di tiang karena mempertahankan pendapat religius yang salah.”
Ya, sebagaimana dikatakan seorang komentator, ”berdasarkan hampir semua standar—khususnya standar pada zamannya sendiri—Raja John Sigismund adalah penguasa yang luar biasa. . . . Ia menjadikan toleransi ciri khas pemerintahannya”. Sadar bahwa perdamaian antarumat beragama merupakan hal terbaik bagi Negara, ia menjadi seorang pembela kebebasan beragama dan berhati nurani yang gigih.
Pada zaman kita sendiri, manakala intoleransi agama masih merajalela, mungkin menarik bagi kita untuk merenungkan apa yang terjadi di kerajaan kecil zaman dahulu tadi. Selama suatu periode yang singkat, Transilvania benar-benar merupakan kerajaan yang toleran pada zaman yang intoleran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar