"

Kamis, 14 Februari 2013

Shinto-Pencariian Orang jepang akan Allah

Pasal
8

Shinto—Pencarian
Orang Jepang akan Allah
”Karena ayah saya seorang pendeta Shinto, setiap pagi sebelum sarapan kami disuruh mempersembahkan segelas air dan semangkuk nasi di kamidana [kuil keluarga]. Setelah itu, kami mengambil nasi tersebut dan memakannya. Dengan begitu, saya yakin dewa-dewi akan melindungi kami.
”Ketika membeli rumah, kami dengan saksama meminta petunjuk seorang syaman, atau dukun, untuk memastikan bahwa lokasi rumah baru kami menguntungkan dalam kaitannya dengan rumah lama kami. Ia memperingatkan kami terhadap tiga gerbang hantu dan menyuruh kami mengikuti ritus pembersihan yang ayah tetapkan. Maka, kami membersihkan ketiga tempat itu dengan garam sebulan sekali.”—Mayumi T.

SHINTO terutama dianut di Jepang. Menurut Nihon Shukyo Jiten (Ensiklopedia Agama-Agama Jepang), ”Bisa dikatakan Shintoisme terbentuk seiring dengan budaya etnis Jepang, dan Shintoisme adalah budaya keagamaan yang hanya dijalankan oleh masyarakat etnis ini.” Tetapi, pengaruh bisnis dan kebudayaan Jepang sekarang begitu meluas sehingga kita tentu tertarik untuk mengetahui apa saja segi keagamaan yang membentuk sejarah dan kepribadian orang Jepang.

2
Walaupun Shinto mengaku memiliki lebih dari 91.000.000 penganut di Jepang, yaitu kira-kira tiga perempat jumlah penduduknya, suatu survei menyingkapkan bahwa hanya 2.000.000 orang, atau 3 persen dari penduduk dewasanya yang benar-benar mengaku menganut Shinto. Akan tetapi, Sugata Masaaki, seorang peneliti agama Shinto, berkata, ”Shinto terjalin begitu erat dengan struktur kehidupan sehari-hari orang Jepang sehingga mereka hampir-hampir tidak menyadari keberadaannya. Bagi orang Jepang, Shinto tidak dianggap sebagai agama, tetapi lebih sebagai kelengkapan yang sudah semestinya ada, seperti udara yang mereka hirup.” Bahkan, orang yang mengaku masa bodoh terhadap agama membeli jimat Shinto agar selamat di jalan, menyelenggarakan perkawinan dengan tradisi Shinto, dan menghamburkan uang mereka dalam perayaan-perayaan tahunan Shinto.

Bagaimana

Asal Mulanya?

3
Pada abad keenam M, nama ”Shinto” diberikan untuk agama yang dianut di Jepang guna membedakannya dari Buddhisme, yang saat itu sedang diperkenalkan di Jepang. ”Memang, ’Agama Orang Jepang’ . . . sudah ada sebelum diperkenalkannya Buddhisme,” jelas Sachiya Hiro, seorang peneliti agama-agama di Jepang, ”tetapi Shinto adalah suatu agama bawah sadar, yang terdiri dari kebiasaan dan ’norma-norma’. Namun, masuknya Buddhisme menyadarkan orang bahwa norma-norma tersebut selama ini menjadi agama orang Jepang, berbeda dengan Buddhisme yang berasal dari negeri lain.” Bagaimana agama orang Jepang ini berkembang?

4
Sulit untuk menentukan kapan tepatnya Shinto asli, atau ”Agama Orang Jepang”, muncul. Sejak padi ditanam di sawah, ”masyarakat harus terorganisasi dengan baik dan stabil”, kata Kodansha Encyclopedia of Japan, ”dan sejak itu pula muncullah ritus-ritus pertanian—yang belakangan memainkan peranan yang begitu penting dalam Shinto”. Orang-orang pada zaman itu membayangkan bahwa ada banyak dewa-dewi alam dan selanjutnya mereka memuja dewa-dewi ini.

5
Selain memuja dewa-dewi alam, orang Jepang menciptakan ritus-ritus untuk menenangkan jiwa yang telah mati karena mereka merasa takut kepada jiwa-jiwa itu. Hal ini belakangan berkembang menjadi penyembahan kepada roh-roh leluhur. Menurut kepercayaan Shinto, jiwa yang telah ”mati” masih memiliki kepribadian dan tidak lama kemudian dicemari oleh polusi kematian. Apabila keluarga yang ditinggalkan melakukan ritus-ritus peringatan kematian, jiwa itu dibersihkan sehingga bebas dari segala niat jahat, lalu jiwa itu menjadi suka damai dan suka berbuat baik. Roh leluhur kemudian naik pangkat menjadi dewa leluhur, atau dewa pelindung. Dari kasus ini terlihat jelas bahwa kepercayaan kepada jiwa yang tidak berkematian lagi-lagi menjadi dasar suatu agama dan membentuk sikap serta tindakan para penganutnya.—Mazmur 146:4; Pengkhotbah 9:5, 6, 10.

6
Dewa-dewi alam dan dewa-dewi leluhur dianggap sebagai roh-roh yang ”melayang” di udara dan memenuhinya. Pada waktu perayaan, orang-orang memohon agar dewa-dewi itu turun ke tempat-tempat tertentu yang disucikan untuk peristiwa tersebut. Konon, dewa-dewi itu berdiam sementara di shintai, yaitu objek pemujaan seperti pohon, batu, cermin, dan pedang. Para syaman, atau dukun, memimpin ritus untuk memanggil dewa-dewi tersebut.

7
Lambat laun, ”lokasi pendaratan” dewa-dewi itu, yang semula dibersihkan hanya pada saat perayaan-perayaan itu, menjadi tempat yang lebih permanen bagi dewa-dewi. Orang-orang membangun kuil bagi dewa-dewi yang baik hati, yang datang untuk memberkati mereka. Pada mulanya, mereka tidak membuat patung dewa-dewi tetapi menyembah shintai, tempat yang konon dihuni oleh roh dewa-dewi itu. Bahkan seluruh gunung, seperti Fuji, dapat menjadi shintai. Seraya waktu berlalu, ada begitu banyak dewa-dewi sehingga orang Jepang menciptakan ungkapan yaoyorozu-no-kami, yang secara harfiah berarti ”delapan juta dewa-dewi” (”kami” berarti ”dewa-dewi”). Kini, ungkapan itu berarti ”tak terhitung banyaknya dewa-dewi” karena jumlah dewa-dewi Shinto terus bertambah.

8
Dengan dipusatkannya ritus Shinto di kuil, setiap kaum membuat kuil bagi dewa atau dewi pelindungnya sendiri. Tetapi, ketika keluarga kekaisaran menyatukan seluruh bangsa pada abad ketujuh M, mereka mengangkat dewi matahari mereka, Amaterasu Omikami, sebagai dewi nasional dan dewi Shinto yang utama. (Lihat kotak, halaman 191.) Belakangan, muncullah sebuah mitos bahwa kaisar adalah keturunan langsung dewi matahari. Untuk memperkuat kepercayaan tersebut, disusunlah dua tulisan utama Shinto, Kojiki dan Nihon shoki, pada abad kedelapan M. Tulisan-tulisan ini, yang berisi berbagai mitos yang meninggikan keluarga kekaisaran sebagai keturunan dewa-dewi, turut mengukuhkan supremasi para kaisar.

Agama

yang Penuh Perayaan dan Ritus

9
Namun, kedua tulisan mitologis Shinto tersebut tidak dianggap sebagai kitab suci yang terilham. Yang menarik, agama Shinto tidak memiliki tokoh pendiri ataupun Kitab Suci. ”Shinto adalah agama dengan sejumlah ’tanpa’,” jelas Shouichi Saeki, seorang cendekiawan Shinto. ”Agama ini tanpa doktrin yang pasti dan tanpa teologi yang terperinci. Bisa dikatakan agama ini tanpa hukum apa pun yang harus ditaati. . . . Walaupun saya dibesarkan dalam keluarga yang secara turun-temurun menganut Shinto, seingat saya, saya belum pernah benar-benar diberi pendidikan agama.” (Cetak miring red.) Bagi umat Shinto, doktrin, hukum, dan, kadang-kadang, apa yang mereka sembah pun tidak penting. ”Di satu kuil saja,” kata seorang peneliti Shinto, ”dewa-dewinya sering kali diganti, dan orang yang menyembah serta berdoa kepadanya kadang-kadang tidak sadar bahwa dewanya diganti.”

10
Kalau begitu, apa yang terpenting bagi umat Shinto? ”Pada mulanya,” kata sebuah buku mengenai kebudayaan Jepang, ”Shinto menganggap perbuatan yang memajukan keharmonisan dan mata pencaharian masyarakat kecil itu ’baik’, sedangkan perbuatan yang menghambatnya dianggap ’buruk’.” Keharmonisan dengan dewa-dewi, alam, dan masyarakat dianggap paling penting. Segala sesuatu yang mengganggu keharmonisan dan kedamaian masyarakat dianggap buruk, apa pun nilai moralnya.

11
Karena tidak mempunyai doktrin atau ajaran resmi, Shinto memajukan keharmonisan masyarakat melalui ritus dan perayaan. Menurut ensiklopedia Nihon Shukyo Jiten, ”Yang terpenting dalam Shintoisme ialah apakah kita melaksanakan perayaan atau tidak.” (Lihat kotak, halaman 193.) Berpesta bersama dalam perayaan bagi dewa-dewi leluhur turut menghasilkan semangat kerja sama di tengah masyarakat petani padi. Perayaan-perayaan utama dari dulu sampai sekarang berkaitan dengan penanaman padi. Pada musim semi, penduduk desa berdoa memohon agar ”dewa padi” turun ke desa mereka dan memberikan panenan yang baik. Pada musim gugur, mereka mengucapkan syukur kepada dewa-dewi untuk panenan mereka. Sewaktu perayaan berlangsung, mereka mengarak dewa-dewi mereka di atas mikoshi, atau kuil portabel, dan minum sake (arak beras) serta makan bersama dewa-dewi.

12
Tetapi, agar dapat bersatu dengan dewa-dewi, umat Shinto percaya bahwa mereka harus dibersihkan dan dimurnikan dari semua kenajisan moral serta dosa. Itulah sebabnya ritus diadakan. Ada dua cara untuk membersihkan seseorang atau sebuah benda. Yang pertama disebut oharai dan yang kedua, misogi. Pada oharai, pendeta Shinto mengayunkan ranting pohon cemara sakaki, yang ujungnya dipasangi kertas atau rami, untuk membersihkan sebuah benda atau seseorang, sedangkan dalam misogi, pendeta menggunakan air. Ritus-ritus pembersihan ini begitu penting bagi agama Shinto sampai-sampai seorang pakar Jepang mengatakan, ”Dengan tepat bisa dikatakan bahwa tanpa ritus-ritus ini Shinto tidak ada [sebagai agama].”

Kemampuan

Shinto Menyesuaikan Diri

13
Perayaan dan ritus tetap melekat pada Shinto meski agama ini mengalami banyak perubahan seraya tahun-tahun berlalu. Perubahan apa? Seorang peneliti Shinto menyamakan Shinto dengan boneka yang berganti-ganti pakaian. Ketika Buddhisme masuk ke Jepang, Shinto mengenakan ajaran Buddhis. Pada waktu umat membutuhkan patokan moral, Shinto mengenakan Konfusianisme. Agama Shinto sangat mudah menyesuaikan diri.

14
Sinkretisme, atau bercampurnya unsur-unsur suatu agama ke agama lain, telah terjadi sejak awal sejarah Shinto. Meskipun agama Shinto telah disusupi Konfusianisme dan Taoisme, yang dikenal di Jepang sebagai ”Jalan yin dan yang”, Buddhisme adalah unsur utama yang bercampur dengan Shinto.

15
Ketika Buddhisme masuk melalui Cina dan Korea, orang Jepang menyebut tata cara ibadat tradisional mereka sendiri sebagai Shinto, atau ”jalan para dewa”. Tetapi, munculnya agama baru ini membuat Jepang terpecah, apakah menerima Buddhisme atau menolaknya. Kubu pro-Buddhisme berkeras, ’Semua negara tetangga beribadat dengan cara demikian. Mengapa Jepang harus berbeda?’ Golongan anti-Buddhisme membantah, ’Jika kita menyembah dewa-dewi negara tetangga, kita akan membangkitkan murka dewa-dewi kita sendiri.’ Setelah puluhan tahun berselisih, kubu pro-Buddhisme menang. Menjelang akhir abad keenam M, ketika Pangeran Shotoku memeluk Buddhisme, agama baru ini mulai berakar.

16
Seraya menyebar ke pedesaan, Buddhisme harus berhadapan dengan dewa-dewi Shinto setempat yang pengaruhnya sangat kuat dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Kedua agama harus berkompromi agar dapat hidup berdampingan. Para biksu Buddhis yang hidup menyangkal diri di gunung ikut membaurkan kedua agama itu. Karena gunung dianggap sebagai tempat tinggal dewa-dewi Shinto, kebiasaan hidup menyangkal diri para biksu di gunung melahirkan gagasan untuk mencampur Buddhisme dan Shinto, dan juga untuk membangun jinguji, atau ”kuil-wihara”. Secara bertahap kedua agama itu membaur dan Buddhisme bertindak sebagai pemrakarsa pembentukan teori-teori keagamaan.

17
Sementara itu, kepercayaan bahwa Jepang adalah suatu bangsa dewa mulai berakar. Ketika orang Mongol menyerang Jepang pada abad ke-13, timbul kepercayaan kepada kamikaze, yang secara harfiah berarti ”angin dewa”. Dua kali orang Mongol menyerbu Pulau Kyushu dengan armada yang amat besar, dan dua kali pula mereka dihalau oleh badai. Orang Jepang percaya bahwa badai, atau angin (kaze), itu didatangkan oleh dewa-dewi (kami) Shinto mereka, sehingga semakin harumlah nama dewa-dewi ini.

18
Seraya kepercayaan kepada dewa-dewi Shinto bertambah kuat, mereka dianggap sebagai dewa-dewi sejati, sedangkan para Buddha (”yang mencapai pencerahan”) dan para bodhisatwa (calon Buddha yang membantu orang lain mencapai pencerahan; lihat halaman 136-8, 144) hanya dipandang sebagai penjelmaan dewa-dewi setempat dan bersifat sementara. Akibat pertentangan antara Shinto dan Buddhisme ini, timbullah berbagai aliran Shinto. Ada aliran yang menandaskan Buddhisme, yang lain meninggikan dewa-dewi Shinto, dan aliran lain lagi menggunakan Konfusianisme versi yang belakangan agar ajaran mereka lebih menarik.

Penyembahan

Kaisar dan Shinto Negara

19
Setelah berkompromi selama berpuluh-puluh tahun, para teolog Shinto berkesimpulan bahwa agama mereka telah dicemari oleh gagasan keagamaan bangsa Cina. Maka, mereka berkeras untuk kembali ke cara Jepang kuno. Muncullah satu aliran Shinto yang baru, yang dikenal sebagai Shinto Pemulihan, dengan Norinaga Motoori, seorang cendekiawan abad ke-18, sebagai salah seorang teolognya yang terkemuka. Dalam upaya menemukan asal mula kebudayaan Jepang, Motoori mempelajari tulisan-tulisan kuno, khususnya tulisan Shinto yang disebut Kojiki. Meski ia mengajarkan bahwa dewi matahari Amaterasu Omikami itulah yang unggul, secara samar-samar ia menyatakan bahwa fenomena alam adalah perbuatan dewa-dewi. Selain itu, ia mengajarkan bahwa ketetapan dewa-dewi berubah-ubah, dan jika manusia mencoba memahaminya berarti menunjukkan sikap tidak respek. Gagasan Motoori adalah jangan bertanya, tetapi tunduk saja kepada ketetapan dewa-dewi.—Yesaya 1:18.

20
Salah seorang pengikutnya, Atsutane Hirata, mengembangkan gagasan Norinaga dan berusaha membersihkan Shinto dari semua pengaruh ”bangsa Cina”. Apa yang Hirata lakukan? Ia menggabungkan agama Shinto dengan teologi ”Kristen” yang murtad! Ia menyamakan Amenominakanushi-no-kami, dewa dalam Kojiki, dengan Allah ”Kekristenan” dan melukiskan bahwa dewa penguasa alam semesta ini mempunyai dua dewa bawahan, ”Yang Menghasilkan Banyak (Takami-musubi) dan Yang Menghasilkan Dewa-dewi (Kami-musubi), yang kelihatannya melambangkan hakikat pria dan hakikat wanita”. (Religions in Japan) Ya, ia mengambil alih ajaran allah tiga serangkai dari Katolikisme Roma, walaupun ajaran itu tidak pernah menjadi ajaran utama Shinto. Tetapi, pembauran ”Kekristenan” dengan Shinto oleh Hirata akhirnya menyebabkan bentuk monoteisme Susunan Kristen tertanam dalam pikiran umat Shinto.—Yesaya 40:25, 26.

21
Teologi Hirata menjadi dasar gerakan ’Sanjunglah Kaisar’, yang mengakibatkan jatuhnya para diktator militer feodal, yaitu para syogun, dan pulihnya pemerintahan kaisar pada tahun 1868. Dengan dikukuhkannya pemerintahan kaisar, para murid Hirata diangkat menjadi pejabat tinggi pemerintah yang mengawasi ibadat Shinto, dan mereka menggalakkan gerakan untuk menjadikan Shinto sebagai agama negara. Shinto jenis ini disebut Shinto Negara. Menurut konstitusi yang baru pada waktu itu, kaisar, yang dipandang sebagai keturunan langsung Amaterasu Omikami sang dewi matahari, dianggap ”suci dan tidak dapat diganggu gugat”. Dengan demikian, kaisar menjadi dewa tertinggi Shinto Negara.—Mazmur 146:3-5.

”Kitab

Suci” Shinto

22
Meskipun Shinto sudah mempunyai tulisan-tulisan kuno, ritus, dan doa dalam Kojiki, Nihongi, dan Yengishiki, Shinto Negara membutuhkan sebuah kitab suci. Pada tahun 1882, Kaisar Meiji mengeluarkan Dekret Kekaisaran bagi Prajurit di Darat dan Laut. Karena datangnya dari kaisar, dekret itu dipandang oleh orang Jepang sebagai kitab suci, dan menjadi dasar renungan harian para anggota angkatan bersenjata. Dekret itu menandaskan bahwa kewajiban seseorang untuk melunasi utang dan kewajibannya kepada kaisar-dewa melebihi segala kewajibannya terhadap siapa pun.

23
Hal lain ditambahkan pada kitab suci Shinto ketika kaisar mengeluarkan Dekret Kekaisaran mengenai Pendidikan pada tanggal 30 Oktober 1890. Dekret ini ”tidak hanya menetapkan dasar-dasar untuk pendidikan sekolah tetapi bisa dikatakan menjadi kitab suci Shinto Negara”, demikian penjelasan Shigeyoshi Murakami, seorang peneliti Shinto Negara. Dekret kaisar tersebut menegaskan bahwa hubungan ”historis” antara leluhur kaisar yang mitologis dan rakyatnya merupakan dasar pendidikan. Bagaimana orang Jepang memandang dekret-dekret kaisar ini?

24
”Ketika saya masih kecil, wakil kepala [sekolah] biasanya mengangkat sebuah kotak kayu setinggi matanya dan dengan khusyuk membawanya ke podium,” kenang Asano Koshino. ”Kepala sekolah menerima kotak itu lalu mengeluarkan gulungan yang memuat Dekret Kekaisaran mengenai Pendidikan. Pada waktu dekret itu dibacakan, kami harus menundukkan kepala sampai kami mendengar kata-kata penutupnya, ’Nama Baginda Kaisar dan meterai-Nya’. Begitu seringnya kami mendengar dekret itu sampai-sampai kami hafal kata demi kata.” Melalui sistem pendidikan yang berlandaskan mitos ini, seluruh bangsa diarahkan untuk mengabdi kepada kaisar, namun ini berakhir pada tahun 1945. Shinto Negara dipandang sebagai agama super, sedangkan ke-13 sekte Shinto lain yang mengajarkan doktrin-doktrin yang berbeda hanya dianggap sebagai Shinto Sekte.

Misi

Keagamaan Jepang—Menaklukkan Dunia

25
Shinto Negara juga dilengkapi dengan berhala. ”Setiap pagi saya bertepuk tangan ke arah matahari, lambang dewi Amaterasu Omikami, kemudian menghadap ke timur ke arah Istana Kekaisaran dan menyembah kaisar,” kenang Masato, seorang pria Jepang yang sudah lanjut usia. Kaisar disembah oleh rakyatnya sebagai dewa. Ia dipandang mahatinggi dari sudut politik dan agama karena ia keturunan dewi matahari. Seorang dosen asal Jepang berkata, ”Kaisar adalah dewa yang menjelma menjadi manusia. Ia adalah penjelmaan Dewa.”

26
Sebagai hasilnya, berkembanglah ajaran bahwa ”pusat dunia fisik ini adalah negeri sang Mikado [Kaisar]. Dari pusat inilah kita harus meluaskan Roh Agung ini ke seluruh dunia. . . . Perluasan Jepang Raya ke seluruh dunia dan ditinggikannya seluruh dunia ke negeri Dewa-dewi merupakan pekerjaan yang mendesak sekarang ini dan, sekali lagi, merupakan tujuan kita yang kekal dan tidak berubah”. (The Political Philosophy of Modern Shinto, oleh D. C. Holtom) Di sana, Agama dan Negara tidak terpisahkan!

27
Dalam bukunya, Man’s Religions, John B. Noss berkomentar, ”Militer Jepang tidak membuang waktu untuk memanfaatkan sudut pandangan ini. Sewaktu berbicara tentang perang, mereka selalu menyatakan bahwa penaklukan adalah misi suci Jepang. Dari kata-kata itu kita bisa melihat dengan jelas apa hasilnya jika nasionalisme disusupi semua nilai agama.” Mitos Shinto bahwa kaisar itu dewa dan pencampuran agama dengan nasionalisme adalah bibit-bibit tragedi yang sungguh dahsyat bagi bangsa Jepang dan bangsa-bangsa lain!

28
Orang Jepang pada umumnya tidak punya pilihan lain kecuali menyembah kaisar berdasarkan Shinto Negara dan sistem kekaisarannya. Ajaran Norinaga Motoori untuk ’jangan bertanya tetapi tunduk saja kepada ketetapan dewa-dewi’ mengendalikan dan meresap ke dalam cara berpikir orang Jepang. Pada tahun 1941, seluruh bangsa dikerahkan untuk maju berperang pada Perang Dunia II demi Shinto Negara dan demi sang ”manusia-dewa yang hidup”. ’Jepang adalah bangsa dewa,’ pikir rakyat, ’dan kamikaze, angin dewa, akan berembus apabila ada krisis.’ Para prajurit dan keluarga mereka memohon kemenangan dalam perang ini kepada dewa-dewi pelindung mereka.

29
Ketika bangsa ”dewa” itu dikalahkan pada tahun 1945 karena ledakan dua bom atom yang menghancurkan Hiroshima dan sebagian besar Nagasaki, Shinto mengalami krisis yang parah. Dalam sekejap, Hirohito, yang dianggap sebagai penguasa dewa yang tak tertandingi, menjadi seorang kaisar manusia biasa yang kalah. Hancurlah kepercayaan bangsa Jepang. Kamikaze telah mengecewakan bangsa itu. Menurut ensiklopedia Nihon Shukyo Jiten, ”Salah satu penyebabnya adalah bangsa itu kecewa karena dikhianati. . . . Lebih buruk lagi, dunia Shinto tidak memberikan penjelasan keagamaan yang berbobot dan benar untuk mengikis keraguan yang timbul akibat [kekalahan] itu. Maka, kecenderungan yang umum adalah memberikan tanggapan religius yang kekanak-kanakan, yakni, ’Tidak ada dewa atau Buddha.’”

Jalan

menuju Keharmonisan Sejati

30
Haluan yang ditempuh Shinto Negara menandaskan perlunya setiap individu menyelidiki kepercayaan turun-temurun yang dianutnya. Ketika mendukung militerisme, umat Shinto mungkin memang mencari jalan agar harmonis dengan sesama orang Jepang. Tetapi, tindakan tersebut tentu saja tidak ada sumbangsihnya bagi keharmonisan dunia, dan gugurnya para pencari nafkah serta anak-anak dalam pertempuran pun tidak membawa keharmonisan dalam rumah tangga. Sebelum kita mengabdi kepada seseorang, kita harus tahu pasti kepada siapa dan untuk tujuan apa kita mengabdi. ”Aku memohon,” tulis seorang guru Kristen kepada orang-orang di Roma yang tadinya menyembah kaisar, ”agar kamu, saudara-saudara, mempersembahkan tubuhmu sebagai korban yang hidup, kudus, diperkenan Allah, dinas suci dengan daya nalarmu.” Orang Kristen di Roma harus menggunakan daya nalar untuk memilih kepada siapa mereka harus mengabdi, demikian pula kita harus menggunakan daya nalar untuk menentukan siapa yang harus kita sembah.—Roma 12:1, 2.

31
Bagi umat Shinto pada umumnya, faktor penting dalam agama mereka bukanlah siapa sebenarnya dewa mereka. ”Bagi rakyat biasa,” kata Hidenori Tsuji, seorang pengajar sejarah agama Jepang, ”dewa-dewi atau para Buddha tidak ada bedanya. Entah itu dewa-dewi atau para Buddha, selama permohonan untuk mendapat panenan yang baik, untuk melenyapkan penyakit, dan untuk menyejahterakan keluarga didengar, itu sudah cukup bagi mereka.” Tetapi, apakah sikap seperti ini menuntun mereka kepada Allah yang benar dan memperoleh berkat-Nya? Sejarah telah memberikan jawaban yang jelas.

32
Dalam upaya mencari suatu allah, umat Shinto, yang mendasarkan kepercayaan mereka pada mitos, telah menjadikan seorang manusia biasa, yaitu kaisar mereka, sebagai dewa yang konon adalah keturunan Amaterasu Omikami sang dewi matahari. Namun, ribuan tahun sebelum lahirnya Shinto, Allah yang benar telah menyingkapkan diri-Nya kepada seorang pria yang beriman berkebangsaan Semit di Mesopotamia. Pasal berikut akan membahas peristiwa bersejarah itu serta hasilnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar