"

Senin, 11 Februari 2013

Hinduisme----Pencarian akan kelepasan.

Pasal
5

Hinduisme—Pencarian
akan Kelepasan
”Menurut kebiasaan masyarakat Hindu, hal pertama yang dilakukan setiap pagi ialah mandi di sungai terdekat atau di rumah jika tidak ada sungai atau kali. Mereka percaya bahwa hal ini akan menyucikan mereka. Selanjutnya, masih dengan perut kosong, mereka pergi ke kuil setempat dan mempersembahkan bunga dan makanan kepada dewa di sana. Ada yang memandikan berhala itu dan menghiasinya dengan bedak berwarna merah dan kuning.
”Hampir setiap rumah mempunyai sudut atau bahkan ruangan untuk memuja dewa favorit keluarga. Dewa yang populer di beberapa daerah adalah Ganesa, dewa gajah. Orang khususnya berdoa kepada dia meminta keberuntungan, karena dia dikenal sebagai penyingkir segala rintangan. Di tempat lain, Krisna, Rama, Siwa, Durga, atau dewa lain mungkin dipuja sebagai dewa atau dewi utama.”—Tara C., Kathmandu, Nepal.

APA Hinduisme itu? Apakah sama dengan konsep orang Barat tentang Hinduisme bahwa itu sekadar pemujaan binatang, mandi di Sungai Gangga, dan pembagian kasta? Atau lebih dari itu? Jawabannya: Sama sekali tidak sesederhana itu. Hinduisme adalah cara lain untuk memahami kehidupan, yang sama sekali berbeda dengan norma-norma Barat. Orang Barat cenderung memandang kehidupan sebagai serentetan peristiwa kronologis dalam sejarah. Orang Hindu memandang kehidupan sebagai siklus yang terus berulang dengan sendirinya, dan sejarah manusia dianggap kurang penting.

2
Tidaklah mudah untuk mendefinisikan Hinduisme karena tidak adanya kredo yang pasti, hierarki keimaman, atau lembaga kepemimpinan. Meskipun demikian, ada swami (pengajar) dan guru (penuntun spiritual). Sebuah buku sejarah memberikan definisi umum bahwa Hinduisme adalah ”seluruh kumpulan kepercayaan dan kebiasaan yang muncul sejak ditulisnya kitab-kitab kuno (dan paling suci) mereka, yakni Weda, hingga sekarang”. Buku lain menyatakan, ”Kita dapat mengatakan bahwa Hinduisme adalah kesetiaan atau pemujaan kepada dewa Wisnu, atau dewa Syiwa [Siwa], atau dewi Sakti, atau penjelmaan, aspek, pasangan, atau keturunan mereka.” Itu termasuk sistem pemujaan kepada Rama dan Krisna (penjelmaan Wisnu), Durga (istri Siwa), serta Skanda dan Ganesa (putra-putra Siwa). Konon, Hinduisme memiliki 330 juta dewa-dewi, namun dikatakan bahwa Hinduisme tidak politeistis. Bagaimana mungkin?

3
Penulis asal India A. Parthasarathy menjelaskan, ”Umat Hindu tidak politeistis. Hinduisme percaya kepada satu Tuhan . . . Berbagai dewa-dewi Hindu hanyalah perwujudan kuasa dan peranan dari satu-satunya Tuhan yang mahatinggi dalam dunia nyata.”

4
Umat Hindu sering kali menyebut kepercayaan mereka sebagai sanatana dharma, yang berarti hukum atau perintah yang kekal. Hinduisme sebenarnya merupakan istilah umum yang menggambarkan sekumpulan agama dan sekte (sampradaya) yang telah berkembang dan tumbuh subur selama ribuan tahun di bawah naungan berbagai mitos Hindu kuno yang kompleks. Begitu rumitnya mitos tersebut sehingga New Larousse Encyclopedia of Mythology menyatakan, ”Mitos India merupakan hutan belantara lebat yang tidak dapat ditembus. Apabila Anda memasukinya, Anda tidak akan melihat lagi cahaya matahari dan semua petunjuk arah yang jelas.” Walaupun demikian, pasal ini akan membahas beberapa ciri dan ajaran kepercayaan tersebut.

Asal

Usul Kuno Hinduisme

5
Walaupun Hinduisme tidak tersebar luas seperti beberapa agama besar lainnya, pengikut setianya hampir berjumlah 800 juta pada tahun 2000, atau kira-kira 1 di antara 8 (13%) penduduk dunia. Namun, kebanyakan dari mereka ada di India. Maka, masuk akal untuk bertanya: Bagaimana dan mengapa Hinduisme sampai berpusat di India?

6
Beberapa sejarawan mengatakan bahwa Hinduisme bermula lebih dari 3.500 tahun yang lalu sewaktu banyak orang Aria berkulit pucat bermigrasi dari daerah barat laut ke Lembah Indus, yang sebagian besar sekarang menjadi lokasi Pakistan dan India. Dari sana mereka menyebar ke dataran Sungai Gangga dan ke seluruh India. Beberapa pakar mengatakan bahwa gagasan keagamaan para migran itu didasarkan atas ajaran orang Iran dan Babilonia kuno. Satu unsur yang sama dalam banyak kebudayaan yang juga terdapat dalam Hinduisme ialah legenda banjir besar.—Lihat kotak, halaman 120.

7
Tetapi, bentuk ibadat apa yang dipraktekkan di Lembah Indus sebelum orang Aria datang? Seorang arkeolog, Sir John Marshall, menyebutkan tentang ”’Dewi Bunda Agung’, yang antara lain dilambangkan dengan patung wanita hamil, yang kebanyakan telanjang dan mengenakan hiasan leher yang tinggi serta hiasan kepala. . . . Selanjutnya adalah ’Dewa Laki-Laki’, ’yang dapat langsung dikenali sebagai prototipe Siwa yang terkenal’, yang duduk dengan kedua telapak kakinya bersentuhan (posisi yoga), dengan alat kelamin tegak (mengingatkan pada pemujaan lingga [kelamin pria]), dikelilingi oleh binatang-binatang (yang melukiskan julukan Syiwa, ’Penguasa Binatang’). Ada banyak sekali patung batu yang menggambarkan kelamin pria dan kelamin wanita, . . . yang menunjukkan pemujaan lingga Syiwa dan yoni istrinya”. (World Religions—From Ancient History to the Present) Sampai sekarang, Siwa dipuja sebagai dewa kesuburan, dewa kelamin pria, atau lingga. Lembu jantan Nandi adalah kendaraannya.

8
Pakar Hindu Swami Sankarananda tidak setuju dengan tafsiran Marshall, dan ia menyatakan bahwa pada mulanya batu-batu yang dipuja itu, yang beberapa dikenal sebagai Siwalingga, melambangkan ”api dari langit atau matahari, dan api dari matahari, yakni sinarnya”. (The Rigvedic Culture of the Pre-Historic Indus) Ia menyatakan bahwa ”pemujaan seks . . . pada mulanya bukan pemujaan yang bersifat agama, namun muncul belakangan sebagai hasilnya. Itu merupakan kemunduran dari yang asli. Orang-oranglah yang menurunkan apa yang ideal, yang terlalu tinggi untuk mereka pahami, sampai ke taraf mereka sendiri”. Sebagai argumen balasan atas kritik Barat terhadap Hinduisme, ia mengatakan bahwa, karena orang Kristen memuja salib, yakni lambang kafir kelamin pria, ”orang Kristen . . . adalah penganut pemujaan seks”.

9
Dengan berlalunya waktu, berbagai kepercayaan, mitos, dan legenda India itu mulai ditulis, yang dewasa ini menjadi kitab-kitab suci Hinduisme. Walaupun cukup ekstensif, kitab-kitab suci itu tidak berupaya mengemukakan doktrin Hindu yang terpadu.

Kitab

Suci Hinduisme

10
Kitab tertua adalah Weda, kumpulan doa dan himne yang dikenal sebagai Rig-Weda, Sama-Weda, Yajur-Weda, dan Atharwa-Weda. Semuanya itu ditulis selama beberapa abad dan selesai sekitar tahun 900 SM. Weda kemudian ditambah dengan kitab-kitab lain, termasuk kitab Brahmana dan Upanisad.

11
Kitab Brahmana menguraikan bagaimana upacara dan korban harus dilakukan, baik di rumah maupun bersama umat, dan membahas maknanya yang dalam dengan sangat terperinci. Brahmana mulai ditulis sekitar tahun 300 SM atau setelah itu. Upanisad (secara harfiah, ”duduk dekat guru”), yang juga dikenal sebagai Wedanta dan ditulis sekitar tahun 600-300 SM, merupakan uraian yang mengemukakan alasan di balik semua pemikiran dan tindakan, menurut filsafat Hindu. Doktrin samsara (perpindahan jiwa) dan doktrin Karma (kepercayaan bahwa perbuatan seseorang selama kehidupan sebelumnya adalah penyebab kondisi hidupnya sekarang) diungkapkan dalam kitab ini.

12
Kumpulan tulisan lainnya adalah Purana, atau kisah-kisah alegoris yang panjang yang memuat banyak mitos Hindu mengenai dewa-dewi maupun pahlawan Hindu. Perpustakaan Hindu yang ekstensif ini juga mencakup epik Ramayana dan Mahabharata. Epik pertama adalah cerita tentang ”Pangeran Rama . . . tokoh yang paling agung dalam kesusastraan kitab suci”, menurut A. Parthasarathy. Ramayana adalah salah satu kitab yang paling disukai umat Hindu, yang dibuat sekitar abad keempat SM. Ini berkisah tentang sang pahlawan Rama, atau Ramachandra, yang dipandang oleh umat Hindu sebagai putra, saudara, dan suami teladan. Ia dianggap sebagai awatara (penjelmaan) ketujuh dari Wisnu, dan namanya sering disebut sebagai ucapan salam.

13
Menurut Bhaktiwedanta Swami Prabhupada, pendiri Lembaga Internasional bagi Kesadaran Krisna, ”Bhagawad-gītā [bagian dari Mahabharata] merupakan ajaran tertinggi mengenai moralitas. Ajaran Bhagawad-gītā merupakan proses agama yang tertinggi dan proses moralitas tertinggi. . . . Ajaran terakhir Gītā adalah ajaran terakhir dari semua moralitas dan agama: tunduk kepada Kṛṣṇa [Krisna].”—BG.

14
Bhagawad Gita (Nyanyian Surgawi), yang oleh beberapa orang dianggap sebagai ”permata dari hikmat-spiritual India”, berisi percakapan di medan perang ”antara Raja Śrī Kṛṣṇa [Krisna], Pribadi Ilahi Tertinggi, dan Arjuna, teman karib dan pengikut-Nya, yang diajari-Nya ilmu realisasi diri”. Namun, Bhagawad Gita hanyalah salah satu bagian dari perpustakaan suci Hindu yang ekstensif. Beberapa kitab (Weda, Brahmana, dan Upanisad) dianggap sebagai Sruti, atau ”didengar”, dan karena itu dianggap sebagai tulisan suci yang diwahyukan secara langsung. Kitab lainnya, seperti epik-epik dan Purana, adalah Smriti, atau ”diingat”, dan karena itu ditulis oleh para pengarang manusia, walaupun diperoleh melalui wahyu. Salah satunya adalah Manu Smriti, yang menguraikan hukum agama dan hukum sosial Hindu, selain menjelaskan dasar sistem kasta. Apa saja kepercayaan yang muncul dari kitab-kitab Hindu ini?

Ajaran

dan Tingkah Laku—Ahimsa dan Warna

15
Dalam Hinduisme, sebagaimana dalam agama-agama lainnya, ada beberapa konsep dasar yang mempengaruhi pemikiran dan tingkah laku sehari-hari. Salah satunya yang menonjol ialah ahimsa (bahasa Sanskerta, ahinsa), atau tanpa kekerasan. Mohandas Gandhi (1869-1948), yang dikenal sebagai Mahatma, menjadi sangat terkenal karena konsep ini. (Lihat kotak, halaman 113.) Berdasarkan filsafat ini, umat Hindu tidak boleh membunuh atau melakukan kekerasan terhadap makhluk lain, yang menjadi salah satu alasan mereka memuja binatang tertentu, misalnya sapi, ular, dan kera. Pendukung terkuat ajaran ahimsa dan respek terhadap kehidupan adalah pengikut Jainisme (didirikan pada abad keenam SM), yang selalu bertelanjang kaki dan bahkan mengenakan penutup mulut agar tidak menelan serangga tanpa disengaja. (Lihat kotak, halaman 104, dan foto, halaman 108.) Sebagai kontras, orang Sikh dikenal karena tradisi keprajuritan mereka. Nama belakang yang umum mereka gunakan, yaitu Singh, berarti singa.—Lihat kotak, halaman 100-101.

16
Konsep Hinduisme yang dikenal di seluruh dunia adalah warna, atau sistem kasta, yang membagi masyarakat ke dalam golongan-golongan secara kaku. (Lihat kotak, halaman 113.) Pembagian berdasarkan kasta dalam masyarakat Hindu masih terlihat jelas dewasa ini, walaupun sistem itu ditolak oleh umat Buddha dan Jain. Namun, sama seperti diskriminasi rasial tetap ada di Amerika Serikat dan tempat-tempat lain, sistem kasta pun tertanam kuat dalam jiwa orang India. Sedikit banyak, ini adalah suatu bentuk kesadaran akan perbedaan golongan yang, dengan cara serupa, masih ada sampai sekarang dalam kadar yang lebih kecil di masyarakat Inggris dan negeri-negeri lain. (Yakobus 2:1-9) Jadi, di India seseorang dilahirkan ke dalam suatu sistem kasta yang kaku, dan hampir-hampir tidak ada jalan keluar. Selain itu, kebanyakan orang Hindu tidak mencari jalan keluar. Baginya, itu adalah sesuatu yang sudah ditakdirkan dan yang tak terelakkan dalam kehidupan, akibat perbuatannya selama kehidupan sebelumnya, atau Karma. Tetapi bagaimana asal mula sistem kasta ini? Sekali lagi kita harus meneliti mitos Hindu.

17
Menurut mitos Hindu, semula ada empat kasta utama yang berasal dari anggota tubuh Purusa, bapak seluruh umat manusia. Himne-himne dalam Rig-Weda mengatakan,
”Ketika mereka membagi-bagi Purusa, berapa bagian yang mereka buat?
Nama apa yang mereka berikan untuk mulutnya, lengannya? Paha dan kakinya?
Brahmana [kasta tertinggi] adalah mulutnya, dan dari kedua lengan dibuatlah Rajanya.
Pahanya menjadi Waisya, dan dari kakinya Sudra dihasilkan.”—The Bible of the World.

18
Jadi, golongan imam Brahmana, kasta tertinggi, dianggap berasal dari mulut Purusa, anggota tubuhnya yang tertinggi. Golongan pemimpin, atau prajurit (Kesatria atau Rajanya), berasal dari lengannya. Golongan saudagar dan petani, yang disebut Waisya, berasal dari pahanya. Kasta yang lebih rendah, Sudra, atau golongan buruh, dihasilkan dari anggota tubuh yang paling rendah, yaitu kakinya.

19
Selama berabad-abad, muncullah kasta-kasta yang lebih rendah lagi, yaitu golongan orang buangan dan Paria. Mahatma Gandhi menamai kaum Paria dengan sebutan yang lebih baik, yaitu golongan Harijan, atau ”orang-orang milik dewa Wisnu”. Walaupun penggolongan orang menjadi Paria sudah tidak diperbolehkan di India sejak tahun 1948, kaum Paria masih hidup dalam keadaan sangat sulit.

20
Seraya waktu berlalu, jumlah kasta berlipat ganda sesuai dengan hampir setiap profesi dan keahlian dalam masyarakat India. Sistem kasta kuno ini, yang menetapkan setiap orang dalam kedudukan sosialnya, ternyata juga bersifat rasial dan ”mencakup berbagai jenis ras, mulai dari apa yang dikenal sebagai orang Aria [yang berkulit terang] sampai keturunan orang pra-Drawida [yang berkulit gelap]”. Warna, atau kasta, berarti ”warna”. ”Tiga kasta pertama adalah orang Aria, yang berkulit paling putih; kasta keempat, yang terdiri dari penduduk asli yang berkulit hitam, adalah orang non-Aria.” (Myths and Legends Series—India, oleh Donald A. Mackenzie) Suatu fakta dalam kehidupan di India ialah bahwa sistem kasta, yang dibentengi ajaran agama tentang Karma, telah membelenggu jutaan orang dalam kemiskinan dan ketidakadilan abadi.

Siklus

Kehidupan yang Menimbulkan Frustrasi

21
Kepercayaan dasar lainnya yang mempengaruhi etika dan tingkah laku orang Hindu, dan salah satu yang paling penting, adalah ajaran Karma. Ini adalah prinsip bahwa setiap tindakan mempunyai akibat, baik positif maupun negatif; ini menentukan kondisi setiap kehidupan yang dijalani oleh jiwa yang berpindah atau bereinkarnasi. Seperti dijelaskan Garuda Purana:
”Manusia adalah pencipta takdirnya sendiri, dan bahkan sejak dalam kandungan ia dipengaruhi oleh dinamika perbuatan dalam kehidupan sebelumnya. Tidak soal ia dilindungi dalam tempat tersembunyi di sebuah gunung atau beristirahat di jantung laut, tidak soal ia terlindung di pangkuan ibunya atau diangkat tinggi di atas kepala sang ibu, manusia tidak dapat menghindari akibat tindakannya di masa lalu. . . . Apa pun yang harus terjadi atas seseorang pada umur atau saat tertentu pasti akan menimpa dia pada saat dan tanggal tersebut.”

Garuda
Purana melanjutkan,
”Pengetahuan yang diperoleh seseorang dalam kelahiran sebelumnya, kekayaan yang didermakan pada masa hidup sebelumnya, dan pekerjaan yang dilakukannya dalam inkarnasi sebelumnya, akan mendahului jiwanya di tempat persinggahannya.”

22
Apa dasar kepercayaan ini? Jiwa yang tidak berkematian sangat penting bagi ajaran Karma, dan Karma itulah yang membuat pandangan Hinduisme berbeda dengan pandangan Susunan Kristen mengenai jiwa. Umat Hindu percaya bahwa setiap jiwa orang atau pran, melewati banyak reinkarnasi dan mungkin ”neraka”. Jiwa harus berjuang untuk bersatu dengan ”Realitas Tertinggi”, yang juga disebut Brahman, atau Brahm (bukan dewa Brahma orang Hindu). Di pihak lain, doktrin-doktrin Susunan Kristen memberikan beberapa pilihan bahwa jiwa bisa pergi ke surga, neraka, api penyucian, atau Limbo, bergantung pada keyakinan agamanya.—Pengkhotbah 9:5, 6, 10; Mazmur 146:4.

23
Sebagai akibat dari Karma, umat Hindu cenderung pasrah kepada nasib. Mereka percaya bahwa status dan kondisi seseorang sekarang merupakan hasil dari kehidupan sebelumnya dan karena itu sudah selayaknya diterima, tidak soal baik atau buruk. Seorang Hindu bisa berupaya membuat catatan hidup yang lebih baik agar kehidupan berikutnya lebih menyenangkan. Jadi, ia lebih pasrah menerima nasib hidupnya daripada orang Barat. Seorang Hindu menganggap ini semua sebagai hasil bekerjanya hukum sebab-akibat yang berkaitan dengan kehidupan dia sebelumnya. Ini adalah prinsip menuai apa yang ditabur dalam kehidupan yang konon pernah ia jalani sebelumnya. Ini semua pasti didasarkan atas asumsi bahwa manusia memiliki jiwa yang tidak berkematian yang berlanjut ke kehidupan lain, entah sebagai manusia, binatang, ataupun tumbuhan.

24
Jadi, apa tujuan akhir dalam kepercayaan Hindu? Untuk mencapai moksa, yang berarti pembebasan, atau kelepasan, dari perputaran roda kelahiran kembali dan berbagai bentuk kehidupan. Jadi, ini adalah kelepasan dari kehidupan yang berwujud, bukan bagi tubuh, melainkan bagi ”jiwa”. ”Karena moksa, atau kelepasan dari rangkaian panjang inkarnasi, merupakan tujuan setiap orang Hindu, peristiwa terbesar dalam kehidupannya sebenarnya adalah kematiannya,” kata seorang komentator. Moksa dapat dicapai dengan mengikuti berbagai marga, atau cara. (Lihat kotak, halaman 110.) Jelas sekali, ajaran agama ini sangat berpaut pada konsep tentang jiwa yang tidak berkematian, yang berasal dari Babilon kuno.

25
Namun, menurut Alkitab, konsep bahwa kehidupan jasmani adalah sesuatu yang hina dan rendah sangatlah bertentangan dengan maksud-tujuan Allah Yehuwa yang semula bagi umat manusia. Ketika menciptakan pasangan manusia pertama, Ia memberi mereka kehidupan yang bahagia dan penuh sukacita di bumi. Kisah Alkitab memberi tahu kita,

”Kemudian Allah menciptakan manusia menurut gambarnya, menurut gambar Allah diciptakannya dia; laki-laki dan perempuan diciptakannya mereka. Selanjutnya, Allah memberkati mereka dan Allah berfirman kepada mereka, ’Beranakcuculah dan bertambah banyak dan penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, tundukkanlah ikan-ikan di laut dan makhluk-makhluk terbang di langit dan segala makhluk hidup yang merayap di bumi.’ . . . Setelah itu Allah melihat segala sesuatu yang telah ia buat dan lihat! semuanya itu sangat baik.” (Kejadian 1:27-31)

Alkitab menubuatkan bahwa tidak lama lagi akan ada suatu masa penuh perdamaian dan keadilan bagi bumi, masa manakala setiap keluarga akan memiliki tempat tinggalnya sendiri yang layak, kesehatan yang sempurna, dan kehidupan yang kekal.—Yesaya 65:17-25; 2 Petrus 3:13; Penyingkapan 21:1-4.

26
Pertanyaan berikutnya yang timbul: Siapakah dewa-dewi yang harus disenangkan oleh seorang Hindu agar memperoleh Karma yang baik?

Dewa-dewi

Hindu

27
Walaupun Hinduisme mungkin mengaku memiliki jutaan dewa-dewi, pada kenyataannya ada dewa-dewi favorit yang diutamakan oleh berbagai sekte Hindu. Tiga dewa yang paling menonjol tercakup dalam apa yang orang Hindu sebut sebagai Trimurti, suatu tritunggal, atau dewa tiga serangkai.—Untuk dewa-dewi Hindu lainnya, lihat kotak, halaman 116-17.

28
Dewa tiga serangkai ini terdiri dari Brahma sang Pencipta, Wisnu sang Pemelihara, serta Siwa sang Perusak, dan masing-masing memiliki setidaknya satu istri atau pasangan. Brahma menikah dengan Saraswati, dewi pengetahuan. Istri Wisnu adalah Laksmi, sedangkan istri pertama Siwa adalah Sati, yang bunuh diri. Dialah wanita pertama yang masuk ke dalam api pengorbanan, dan menjadi suti pertama. Karena mitos ini, selama berabad-abad ribuan janda Hindu telah mengikuti jejaknya dengan mengorbankan diri ke atas api pembakaran mayat suaminya, meskipun praktek ini sekarang dinyatakan ilegal. Siwa juga mempunyai istri lain yang dikenal dengan beberapa nama dan gelar. Dalam penampilannya yang lembut, ia adalah Parwati dan Uma, dan juga Gauri, Pribadi Emas. Sebagai Durga atau Kali, ia adalah dewi yang menakutkan.

29
Walaupun Brahma adalah tokoh utama dalam mitos Hindu, ia tidak memiliki kedudukan penting dalam ibadat orang Hindu pada umumnya. Malah, hanya sedikit kuil yang dibaktikan kepadanya, walaupun ia disebut Brahma sang Pencipta. Meskipun demikian, dalam mitos Hindu alam semesta fisik diciptakan oleh suatu pribadi, sumber, atau inti tertinggi—Brahman, atau Brahm, mitos yang dinyatakan dengan suku kata suci OM atau AUM. Semua anggota trimurti tersebut dianggap sebagai bagian dari ”Pribadi” itu, dan semua dewa lain dianggap sebagai beragam manifestasinya. Dewa mana pun yang dipuja sebagai yang tertinggi, dewa tersebut dianggap mencakup semuanya. Jadi, walaupun umat Hindu terang-terangan memuja jutaan dewa, kebanyakan hanya mengakui satu Dewa sejati, yang dapat menggunakan berbagai wujud: pria, wanita, atau bahkan binatang. Karena itu, para pakar Hindu akan langsung menyatakan bahwa agama Hindu sesungguhnya adalah monoteistis, bukan politeistis. Namun, belakangan ada pemikiran berdasarkan Weda yang menyingkirkan konsep tentang suatu pribadi tertinggi, dan menggantikannya dengan suatu sumber atau realitas ilahi yang abstrak.

30
Wisnu, dewa matahari dan jagat raya yang baik hati, dipuja sebagai dewa utama para pengikut Waisnawisme. Ia tampil dalam sepuluh awatara, atau penjelmaan, termasuk Rama, Krisna, dan menurut daftar yang lebih belakangan, juga Buddha. Awatara lain ialah Wisnu Narayana, ”yang digambarkan seperti manusia yang sedang tidur di atas ular Sesa atau Ananta yang melingkar, terapung di atas perairan jagat raya bersama istrinya, dewi Laksmi”.—The Encyclopedia of World Faiths.

31
Siwa, yang juga biasa disebut Mahesa (Penguasa Tertinggi) dan Mahadewa (Dewa Agung), merupakan dewa Hindu terbesar kedua, dan penyembahan yang ditujukan kepadanya disebut Saiwisme. Ia digambarkan sebagai ”petapa agung, yogi utama yang duduk asyik bermeditasi di lereng Pegunungan Himalaya, tubuhnya berlumuran abu dan rambutnya gimbal”. Ia juga terkenal ”karena erotismenya, sebagai pembawa kesuburan dan penguasa tertinggi makhluk ciptaan, Mahadewa”. (The Encyclopedia of World Faiths) Siwa disembah dengan menggunakan lingga, atau lambang kelamin pria.—Lihat foto-foto, halaman 99.

32
Seperti banyak agama dunia lainnya, agama Hindu mempunyai dewi tertinggi, yang bisa tampil cantik atau menakutkan. Dalam penampilannya yang lebih menyenangkan, ia dikenal sebagai Parwati dan Uma. Sifatnya yang menakutkan tampil dalam sosok Durga atau Kali, dewi haus darah yang menyukai korban-korban darah. Sebagai Dewi Bunda, Kali Ma (Bunda-Tanah Hitam), ia adalah dewi utama sekte Sakti. Ia dilukiskan telanjang hingga pinggul dan mengenakan perhiasan berupa mayat, ular, dan tengkorak. Di masa lampau, manusia bahkan dikorbankan kepadanya, setelah terlebih dahulu dicekik.

Hinduisme

dan Sungai Gangga

33
Kita tidak mungkin membicarakan dewa-dewi Hindu tanpa menyebutkan sungainya yang paling suci—Gangga. Banyak mitos Hindu berkaitan langsung dengan Sungai Gangga, atau Gangga Ma (Bunda Gangga), sebutan yang diberikan oleh umat Hindu yang saleh. (Lihat peta, halaman 123.) Mereka mengulang-ulangi doa yang berisi 108 nama untuk sungai itu. Mengapa Gangga begitu dipuja oleh umat Hindu yang tulus? Karena Gangga sangat erat kaitannya dengan kelangsungan hidup mereka sehari-hari dan dengan mitos kuno mereka. Mereka percaya bahwa sebelumnya Gangga berada di langit sebagai galaksi Bima Sakti. Lalu, bagaimana Gangga menjadi sebuah sungai?

34
Dengan beberapa variasi kebanyakan orang Hindu akan menjelaskannya seperti ini: Maharaja Sagara mempunyai 60.000 putra yang terbunuh oleh api Kapila, salah satu manifestasi Wisnu. Jiwa mereka akan dihukum ke neraka kecuali dewi Gangga turun dari langit untuk membersihkan dan membebaskan mereka dari kutukan. Bhagiratha, cicit Sagara, memohon kepada Brahma agar memperbolehkan Gangga suci turun ke bumi. Sebuah kisah melanjutkan, ”Gangga menjawab, ’Aku adalah aliran air yang begitu deras sehingga aku akan menghancurkan dasar-dasar bumi.’ Maka [Bhagiratha], setelah menjalani hukuman selama seribu tahun untuk menebus dosanya, pergi menemui dewa Syiwa, petapa terbesar, dan membujuknya untuk berdiri di atas bumi di tengah-tengah batu karang dan es Pegunungan Himalaya. Syiwa mempunyai rambut yang gimbal, dan ia mengizinkan Gangga turun menggemuruh dari langit ke rambutnya yang berpilin-pilin, yang dengan lembut menahan guncangan yang mengancam bumi. Gangga kemudian mengalir dengan lembut ke bumi, menuruni pegunungan, melintasi dataran, dan membawa air sehingga mendatangkan kehidupan ke tanah yang kering.”—From the Ocean to the Sky, oleh Sir Edmund Hillary.

35
Para pengikut Wisnu memiliki versi yang agak berbeda mengenai asal mula Gangga. Menurut teks kuno, Wisnu Purana, versi mereka adalah,
”Dari daerah ini [takhta suci Wisnu] keluarlah Sungai Gangga, yang menyingkirkan semua dosa . . . Ia keluar dari kuku ibu-jari kaki kiri Wisnu.”

Atau, seperti dikatakan para pengikut Wisnu dalam bahasa Sanskerta, ”Wisnu-padabja-sambhuta”, yang berarti ”Lahir dari kaki Wisnu yang seperti teratai”.

36
Umat Hindu percaya bahwa Gangga memiliki kekuatan untuk membebaskan, menyucikan, membersihkan, dan menyembuhkan orang-orang yang percaya. Wisnu Purana menyatakan,
”Orang-orang suci, yang disucikan dengan mandi di sungai ini, dan yang pikirannya dipusatkan kepada Kesawa [Wisnu], memperoleh kelepasan terakhir. Sungai suci ini, bila didengar, diinginkan, dilihat, disentuh, dipakai mandi, atau diberi nyanyian pujaan, hari demi hari akan menyucikan semua makhluk. Dan orang-orang yang tinggal di tempat yang jauh pun . . . yang menyerukan ’Gangga dan Gangga’ akan dibebaskan dari dosa yang dilakukan selama tiga kehidupan sebelumnya.”

Brahmandapurana
menyatakan,
”Orang-orang yang dengan saleh mandi di aliran Gangga yang suci, suku mereka akan dilindungi oleh-Nya dari ratusan ribu bahaya. Kejahatan yang bertumpuk selama beberapa generasi akan disingkirkan. Hanya dengan mandi di Gangga, seseorang akan segera disucikan.”

37
Orang India berduyun-duyun ke sungai itu untuk melakukan puja, atau ibadat, dengan memberikan bunga sesajen, melantunkan doa, dan menerima tilak dari seorang imam, yaitu tanda berwarna merah atau kuning di dahi. Kemudian mereka masuk ke dalam air untuk mandi. Banyak orang juga meminum airnya, sekalipun sangat tercemar oleh limbah, bahan kimia, dan bangkai. Namun, daya tarik spiritual Gangga begitu besar sehingga jutaan orang India bercita-cita untuk paling tidak satu kali mandi di ’sungai suci’ mereka, tidak soal tercemar atau tidak.

38
Yang lainnya membawa jenazah orang yang mereka kasihi untuk dibakar di atas tumpukan kayu di tepi sungai, lalu menebarkan abunya ke sungai tersebut. Mereka percaya bahwa ini akan menjamin kebahagiaan kekal bagi jiwa orang yang mati itu. Orang yang terlalu miskin sehingga tidak mampu membayar biaya upacara pembakaran mayat akan mendorong saja jenazah yang terbungkus kafan ke dalam sungai, yang kemudian akan diserbu oleh burung pemakan bangkai atau membusuk. Ini menimbulkan pertanyaan: Selain hal-hal yang sudah kita bahas, apa yang diajarkan Hinduisme tentang kehidupan setelah kematian?

Hinduisme

dan Jiwa

39
Bhagawad Gita memberikan jawabannya,
”Seraya jiwa yang berwujud itu terus hidup, dalam tubuh ini, sejak masa kanak-kanak sampai remaja, kemudian sampai usia tua, dengan cara serupa jiwa itu akan berpindah ke dalam tubuh lain pada saat kematian.”Pasal 2, ayat 13.

40
Seorang Hindu yang mengomentari ayat ini mengatakan, ”Mengingat setiap wujud kehidupan adalah suatu jiwa individual, masing-masing mengganti tubuhnya setiap saat, kadang-kadang berwujud sebagai seorang anak, kadang-kadang sebagai remaja, dan kadang-kadang sebagai orang lanjut usia—walaupun jiwa roh yang sama tetap ada dan tidak mengalami perubahan apa pun. Jiwa individual ini akhirnya mengganti tubuhnya sendiri, dengan berpindah dari satu tubuh ke tubuh lainnya, dan karena jiwa itu pasti memiliki tubuh lain dalam kelahiran berikutnya—jasmani ataupun rohani—tidak ada alasan bagi Arjuna untuk meratapi kematian.”

41
Perhatikan bahwa komentar itu menyatakan, ”Setiap wujud kehidupan adalah suatu jiwa individual.” Pernyataan itu selaras dengan apa yang Alkitab katakan di Kejadian 2:7,
”Kemudian Allah Yehuwa membentuk manusia dari debu tanah dan mengembuskan ke dalam lubang hidungnya napas kehidupan, dan manusia itu menjadi jiwa yang hidup.”

Tetapi, ada perbedaan penting yang harus diperhatikan: Apakah manusia adalah jiwa yang hidup dengan semua fungsi dan kemampuannya, atau apakah ia mempunyai jiwa yang terpisah dari fungsi tubuhnya? Apakah manusia adalah suatu jiwa, atau apakah ia mempunyai jiwa? Kutipan berikut memperjelas konsep Hindu.

42
Bhagawad Gita pasal 2, ayat 17, menyatakan,
”Sesuatu yang memenuhi seluruh tubuh itu tidak dapat dibinasakan. Tidak ada yang bisa menghancurkan jiwa yang tak dapat musnah.”

Ayat ini kemudian dijelaskan,
”Setiap tubuh berisi suatu jiwa individual, dan tanda-tanda kehadiran jiwa dirasakan sebagai kesadaran individual.”

Jadi, Alkitab menyatakan bahwa manusia adalah jiwa, sedangkan ajaran Hindu menyatakan bahwa ia mempunyai jiwa. Hal ini mengakibatkan perbedaan yang sangat besar, yang begitu mempengaruhi ajaran-ajaran yang timbul dari kedua sudut pandangan itu.—Imamat 24:17, 18.

43
Ajaran tentang jiwa yang tidak berkematian ini ternyata berasal dari sekumpulan pengetahuan agama Babilon kuno. Secara masuk akal, hal ini menghasilkan konsep tentang ’kehidupan setelah kematian’ yang ditonjolkan dalam ajaran begitu banyak agama—reinkarnasi, surga, neraka, api penyucian, Limbo, dan sebagainya. Bagi orang Hindu, surga dan neraka adalah tempat penantian sebelum jiwa mendapatkan reinkarnasi berikutnya. Konsep Hindu mengenai neraka sungguh menarik.

Ajaran

Hindu mengenai Neraka

44
Sebuah ayat dari Bhagawad Gita menyatakan,
”Bila hukum-hukum keluarga dirusak, Janardana, orang-orang itu pasti akan hidup di neraka.”—I.44, Harvard Oriental Series, Jil. 38, 1952.

Sebuah ulasan mengatakan, ”Orang yang sangat berdosa dalam kehidupannya di bumi harus menjalani berbagai jenis hukuman di planet-planet yang seperti neraka.” Namun, ada sedikit perbedaan dengan konsep Susunan Kristen tentang siksaan kekal dalam api neraka, ”Hukuman ini . . . tidak kekal.” Jadi, apa sebenarnya neraka Hindu itu?

45
Berikut ini adalah gambaran mengenai nasib seorang pedosa, yang diambil dari Markandeya Purana:
”Kemudian, para utusan Yama [dewa orang mati] segera mengikat dia dengan jerat yang menakutkan dan menyeretnya ke selatan, dalam keadaan gemetar karena pukulan tongkat. Lalu, ia diseret oleh para utusan Yama, yang memekikkan teriakan-teriakan yang mengerikan dan menyeramkan, melewati tanah yang tidak rata karena penuh dengan [tanaman] Kusa, duri, sarang semut, jarum dan batu, serta yang berkobar dengan nyala api di berbagai tempat, berlubang-lubang, yang bernyala oleh terik matahari dan terbakar oleh sinarnya. Setelah diseret oleh para utusan yang mengerikan itu dan dimakan oleh ratusan anjing hutan, si pedosa pergi menuju rumah Yama melewati lorong yang menakutkan. . . .
”Ketika tubuhnya dibakar, ia merasakan panas yang hebat; dan ketika tubuhnya dipukuli atau dipotong, ia merasa sangat kesakitan.
”Demikianlah tubuhnya dibinasakan, dan sebagai makhluk, walaupun ia pindah ke tubuh lain, ia menderita sengsara yang kekal akibat perbuatan jahatnya. . . .
”Kemudian, agar dosa-dosanya dibersihkan, ia dibawa ke neraka lain yang seperti itu. Sesudah melewati semua neraka, si pedosa menjalani kehidupan sebagai binatang. Lalu, setelah ia hidup sebagai cacing, serangga, dan lalat, binatang pemangsa, agas, gajah, pohon, kuda, sapi, dan menjalani berbagai kehidupan lainnya yang buruk dan menyengsarakan, ia kembali menjadi ras manusia, namun dilahirkan sebagai orang bungkuk, atau orang buruk rupa atau orang cebol atau Chandala Pukkasa.”

46
Bandingkan gambaran tadi dengan apa yang Alkitab katakan mengenai orang mati,
”Sebab yang hidup sadar bahwa mereka akan mati; tetapi orang mati, mereka sama sekali tidak sadar akan apa pun, dan tidak ada upah lagi bagi mereka, karena kenangan akan mereka telah dilupakan. Juga, kasih mereka dan kebencian mereka serta kecemburuan mereka sudah lenyap, dan mereka tidak mempunyai bagian lagi sampai waktu yang tidak tertentu dalam segala yang harus dilakukan di bawah matahari. Semua yang dijumpai tanganmu untuk dilakukan, lakukanlah dengan segenap kekuatanmu, sebab tidak ada pekerjaan atau rancangan atau pengetahuan atau hikmat di Syeol, tempat ke mana engkau akan pergi.”—Pengkhotbah 9:5, 6, 10.

47
Pasti, jika seperti yang Alkitab katakan, manusia tidak mempunyai jiwa tetapi adalah jiwa, maka tidak ada kehidupan dalam keadaan sadar setelah kematian. Tidak ada kebahagiaan, dan tidak ada penderitaan. Semua kerumitan yang tidak masuk akal tentang ”alam baka” pun sirna.

Saingan

Hinduisme

48
Tinjauan singkat mengenai Hinduisme ini telah memperlihatkan bahwa itu adalah sebuah agama politeisme yang didasarkan atas monoteisme—kepercayaan akan Brahman, Pribadi Tertinggi, sumber, atau intisari, yang dilambangkan dengan suku kata OM atau AUM, yang memiliki banyak segi atau manifestasi. Hinduisme juga agama yang mengajarkan toleransi dan menganjurkan belas kasihan terhadap binatang.

49
Di pihak lain, beberapa unsur ajaran Hindu, seperti Karma dan ketidakadilan dari sistem kasta, juga penyembahan berhala serta pertentangan dalam mitos-mitosnya, telah membuat orang-orang yang suka berpikir meragukan kebenaran kepercayaan tersebut. Salah seorang yang meragukan hal itu muncul di India bagian timur laut kira-kira pada tahun 560 SM. Ia adalah Siddhartha Gautama. Ia mendirikan kepercayaan baru yang tidak berhasil berkembang di India tetapi tumbuh subur di tempat-tempat lain, sebagaimana akan dijelaskan dalam pasal berikut. Kepercayaan baru tersebut adalah Buddhisme.
[Catatan
Kaki]
Sebutan Hinduisme diciptakan oleh orang Eropa.
Dalam bahasa Sanskerta, atma, atau atman, sering diterjemahkan menjadi ”jiwa”, tetapi ”roh” adalah terjemahan yang lebih akurat.—Lihat A Dictionary of Hinduism—Its Mythology, Folklore and Development 1500 B.C.–A.D. 1500, halaman 31, dan buku kecil Victory Over Death—Is It Possible for You? yang diterbitkan oleh Watchtower Bible and Tract Society of New York, Inc., 1986.
Awatara yang kesepuluh dan yang akan muncul ialah Awatara Kalki ”yang digambarkan sebagai pemuda gagah yang menunggang kuda putih besar dan membawa pedang seperti meteor yang menaburkan kematian dan kebinasaan di semua sisi”. ”Kedatangannya akan memulihkan kembali keadilbenaran di bumi, dan kembalinya zaman kemurnian tanpa dosa.”—Religions of India; A Dictionary of Hinduism.—Bandingkan Penyingkapan 19:11-16.
Ajaran Alkitab tentang kebangkitan orang mati berbeda dengan doktrin jiwa yang tidak berkematian. Lihat Pasal 10.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar