"

Kamis, 14 Februari 2013

Taoisme dan Konfusianisme-Pencarian akan jalan langit.

Pasal
7

Taoisme
dan Konfusianisme—Pencarian akan Jalan Langit
Taoisme, Konfusianisme, dan Buddhisme merupakan tiga agama besar di Cina dan Timur Jauh. Namun, berbeda dengan Buddhisme, Taoisme dan Konfusianisme tidak menjadi agama dunia tetapi pada dasarnya tetap berada di Cina dan di tempat mana pun yang dipengaruhi kebudayaan Cina. Walaupun tidak ada angka resmi jumlah pengikutnya di Cina, Taoisme beserta Konfusianisme telah menguasai kehidupan agama hampir seperempat penduduk dunia selama 2.000 tahun terakhir.

’BIARKAN seratus kuntum bunga berkembang; biarkan seratus aliran bertanding.’ Ungkapan itu, yang dimasyhurkan oleh Mao Zedong dari Republik Rakyat Cina dalam sebuah pidato pada tahun 1956, sebenarnya disadur dari ungkapan para pakar Tionghoa untuk melukiskan zaman di Cina dari abad kelima sampai abad ketiga SM, yang disebut zaman Peperangan Antarnegara. Pada waktu itu, dinasti Zhou yang perkasa (

± 1122-256 SM) sudah merosot dan kerajaan-kerajaan kecilnya tidak kompak dan terus saling berperang sehingga rakyat jelata sangat menderita.


2
Kekacauan dan penderitaan akibat peperangan tersebut sangat melemahkan wewenang golongan penguasa tradisional. Rakyat jelata tidak tahan lagi untuk terus tunduk kepada kaum bangsawan yang sewenang-wenang dan untuk pasrah menanggung derita yang diakibatkannya. Alhasil, gagasan dan aspirasi yang sudah lama terpendam merebak bagaikan ”seratus kuntum bunga”. Berbagai aliran pemikiran mengemukakan gagasan mereka mengenai pemerintahan, hukum, ketertiban masyarakat, budi pekerti, dan etika, juga mengenai soal-soal seperti pertanian, musik, dan sastra, sebagai sarana untuk memulihkan kehidupan yang normal. Ini semua kemudian dikenal sebagai ”seratus aliran”. Kebanyakan aliran itu tidak menghasilkan pengaruh yang bertahan lama. Namun, ada dua aliran yang menjadi sangat terkemuka sehingga mempengaruhi kehidupan di Cina selama 2.000 tahun lebih. Kedua aliran ini kemudian dikenal sebagai Taoisme dan Konfusianisme.

Tao—Apa

Itu?

3
Untuk memahami mengapa Taoisme dan Konfusianisme sampai mempunyai pengaruh yang begitu dalam dan bertahan lama atas bangsa Cina, juga atas orang Jepang, Korea, dan bangsa-bangsa lain di sekitarnya, kita perlu sedikitnya memahami konsep dasar bangsa Cina mengenai Tao. Kata itu sendiri berarti ”jalan, atau jalur”. Dalam makna yang lebih luas, kata itu bisa juga berarti ”cara, prinsip, atau doktrin”. Bagi bangsa Cina, keserasian dan ketertiban yang mereka amati di alam semesta merupakan perwujudan dari Tao, semacam kehendak ilahi atau undang-undang yang ada di dan yang mengatur alam semesta. Dengan kata lain, ketimbang mempercayai Allah Pencipta yang mengendalikan alam semesta, mereka mempercayai suatu kekuatan pemelihara, suatu kehendak di langit, atau langit itu sendiri sebagai penyebab segala sesuatu.

4
Berdasarkan penerapan konsep Tao pada kehidupan manusia, bangsa Cina percaya bahwa ada cara yang alami dan benar untuk melakukan segala sesuatu dan bahwa setiap hal serta setiap orang mempunyai tempat dan fungsinya masing-masing. Misalnya, mereka percaya bahwa jika seorang penguasa melakukan tugasnya dengan berlaku adil terhadap rakyat serta menjalankan upacara persembahan bagi langit, bangsanya pun akan damai dan makmur. Begitu juga, jika rakyat mau mencari jalan itu, atau Tao, dan mengikutinya, segala sesuatu akan serasi, damai, dan berhasil. Tetapi, jika mereka menentang atau menolak jalan itu, akibatnya adalah kekacauan dan bencana.

5
Gagasan untuk bertindak sejalan dengan Tao dan tidak menghalangi alirannya merupakan unsur utama pemikiran filosofis dan religius orang Tionghoa. Dapat dikatakan bahwa Taoisme dan Konfusianisme merupakan dua pengungkapan yang berbeda untuk konsep yang sama. Taoisme mengambil pendekatan yang mistis dan, dalam bentuknya yang semula, menganjurkan sikap tidak aktif, berdiam diri, serta pasif, menjauhi masyarakat dan kembali ke alam. Gagasan dasarnya adalah bahwa segala sesuatu akan menjadi benar jika orang mau duduk tenang, tidak berbuat apa-apa, dan membiarkan alam berjalan dengan sendirinya. Di pihak lain, Konfusianisme mengambil pendekatan yang pragmatis (praktis dan berguna). Paham ini mengajarkan bahwa ketertiban masyarakat akan terjaga apabila setiap orang memainkan peranannya dan melaksanakan kewajibannya. Untuk maksud itu, Konfusianisme mengatur semua hubungan manusia dan masyarakat—penguasa-rakyat, ayah-anak, suami-istri, dan seterusnya—dan menyediakan pedoman yang membimbing mereka semua. Maka, wajarlah apabila timbul pertanyaan: Bagaimana kedua sistem ini muncul? Siapa pendirinya? Bagaimana kedua paham tersebut dipraktekkan dewasa ini? Dan, apa peranannya dalam pencarian manusia akan Allah?

Taoisme—Awalnya

Adalah Filsafat

6
Pada tahap awalnya, Taoisme lebih cocok disebut filsafat daripada agama. Pendirinya, Laozi (Lao-tzu), tidak tahan melihat kekacauan dan kerusuhan pada zamannya dan mencari ketenangan dengan menjauhi masyarakat dan kembali ke alam. Tidak banyak yang diketahui tentang pria itu, yang kabarnya hidup pada abad keenam SM, meski ini pun tidak pasti. Ia biasa dipanggil Laozi, yang berarti ”Guru Tua” atau ”Orang Tua”, karena, menurut legenda, ia berada di kandungan ibunya begitu lama sehingga rambutnya sudah memutih ketika dilahirkan.

7
Satu-satunya catatan resmi mengenai Laozi terdapat dalam Shi Ji (Catatan Sejarah), karya Sima Qian, seorang sejarawan istana yang terhormat pada abad kedua dan pertama SM. Menurut sumber ini, nama Laozi yang sebenarnya adalah Li Er. Ia bekerja sebagai pengurus arsip kekaisaran di Luoyang, Cina Tengah. Tetapi yang lebih penting, sumber itu memberi keterangan ini mengenai Laozi:
”Laozi menghabiskan sebagian besar kehidupannya di Zhou. Ketika ia melihat gelagat kemunduran Zhou, ia pergi dan sampai ke daerah perbatasan. Pejabat pabean Yin Xi berkata, ’Tuan, karena tuan senang menyendiri, saya mohon agar tuan menulis sebuah buku untuk saya.’ Maka, Laozi menulis sebuah buku yang terdiri dari dua bagian, berisi kira-kira lima ribu kata yang tidak jelas, yang membahas konsep tentang Jalan [Tao, atau Dao] dan Kekuatan [De]. Lalu ia pergi. Tak seorang pun tahu di mana ia meninggal.”

8
Banyak pakar meragukan keautentikan kisah ini. Bagaimanapun juga, buku yang dihasilkan itu dikenal sebagai Dao De Jing (umumnya diterjemahkan ”Buku Klasik tentang Jalan dan Kekuatan”) dan dipandang sebagai buku pelajaran utama Taoisme. Buku ini ditulis dengan kalimat-kalimat yang singkat dan maknanya tersembunyi, bahkan ada yang hanya terdiri dari tiga atau empat kata. Selain itu, arti beberapa huruf sudah banyak berubah sejak zaman Laozi, itu sebabnya buku tersebut dapat ditafsirkan dengan beragam cara.

Sekilas

tentang ”Dao De Jing”

9
Dalam Dao De Jing, Laozi menjabarkan Tao, jalan alam yang tertinggi, dan menerapkannya pada setiap tingkat kegiatan manusia. Berikut ini kutipan dari terjemahan modern karya Giafu Feng dan Jane English untuk mendapatkan sedikit gambaran tentang Dao De Jing. Mengenai Tao dikatakan,
”[Ada] sesuatu yang terbentuk secara misterius,
Yang lahir sebelum langit dan bumi. . . .
Barangkali itu ibu dari sepuluh ribu hal.
Aku tidak tahu namanya.
Sebut saja itu Tao.”—Pasal 25.
”Segala sesuatu timbul dari Tao.
Segalanya dipelihara oleh Kebajikan [De].
Segalanya dibentuk dari zat.
Segalanya dibentuk oleh lingkungan.
Maka kesepuluh ribu hal itu semuanya merespek Tao

dan menghormati Kebajikan [De].”—Pasal 51.

10
Apa yang dapat kita simpulkan dari kalimat-kalimat yang penuh misteri ini? Bahwa bagi umat Taois (penganut Taoisme), Tao adalah semacam kekuatan kosmis misterius yang menyebabkan adanya alam semesta fisik. Tujuan Taoisme adalah mencari Tao, meninggalkan dunia, dan menyatu dengan alam. Konsep ini juga dicerminkan dalam pandangan Taois mengenai tingkah laku manusia. Berikut ini pernyataan tentang tujuan tersebut dalam Dao De Jing:
”Lebih baik berhenti dalam keadaan kurang daripada mengisi sampai penuh.
Asahlah pisau sampai berlebihan, maka matanya akan segera tumpul.
Timbunlah banyak emas dan batu giok, maka tak seorang pun dapat melindunginya.
Carilah kekayaan dan gelar, maka bencana akan menyusul.
Beristirahatlah apabila pekerjaan sudah selesai.
Inilah jalan langit.”—Pasal 9.

11
Beberapa contoh ini menunjukkan bahwa paling tidak pada mulanya, Taoisme sebenarnya adalah suatu aliran filsafat. Sebagai reaksi terhadap kelaliman, penderitaan, perusakan, dan kesia-siaan yang timbul akibat pemerintahan yang kejam oleh sistem feodal pada waktu itu, kaum Taois percaya bahwa jalan untuk mendapatkan perdamaian dan keserasian adalah kembali ke tradisi orang-orang dahulu kala sebelum adanya raja-raja dan menteri-menteri yang menguasai rakyat jelata. Mereka bercita-cita untuk hidup tenang di desa, menyatu dengan alam.—Amsal 28:15; 29:2.

Cendekiawan

Kedua dalam Taoisme

12
Filsafat Laozi dibawa satu langkah lebih maju oleh Zhuang Zhou, atau Zhuangzi, artinya ”Guru Zhuang” (369-286 SM), yang dianggap penerus Laozi yang paling terkemuka. Dalam bukunya, Zhuang Zi, ia tidak saja menguraikan Tao tetapi juga menjelaskan secara terperinci gagasan tentang yin dan yang, yang awalnya dikembangkan dalam buku Yi Jing. (Lihat halaman 83.) Menurut pandangannya, tidak ada yang benar-benar permanen atau mutlak, tetapi segala sesuatu terus berubah di antara dua kutub yang berlawanan. Dalam pasal ”Banjir Musim Gugur”, ia menulis,
”Tiada yang permanen di alam semesta, sebab segala sesuatu hanya hidup secukupnya lalu mati. Hanya Tao, yang tidak berawal atau berakhir, yang kekal selama-lamanya. . . . Hidup dapat diibaratkan seekor kuda tangkas yang berpacu dengan kecepatan penuh—ia selalu dan senantiasa berubah, tiap sepersekian detik. Apa yang seharusnya Anda lakukan? Apa yang tidak boleh Anda lakukan? Sebenarnya tidak menjadi soal.”

13
Karena filsafat inersia (kelembaman) ini, Taoisme berpandangan bahwa tidak ada gunanya seseorang berbuat sesuatu untuk mencampuri apa yang telah digerakkan oleh alam. Cepat atau lambat, segala sesuatu akan kembali pada kebalikannya. Tidak soal seberapa buruk suatu situasi, itu akan segera membaik. Seberapa menyenangkannya suatu keadaan, itu akan segera memudar. (Sebagai kontras, lihat Pengkhotbah 5:18, 19.) Pandangan filosofis mengenai kehidupan ini diperlihatkan dalam mimpi Zhuangzi. Karena mimpi inilah ia terutama dikenang oleh rakyat jelata:
”Suatu waktu, Zhuang Zhou bermimpi bahwa dirinya adalah seekor kupu-kupu, yang terbang kian ke mari, merasa bahagia dan dapat berbuat sesuka hati. Ia tidak tahu bahwa ia adalah Zhuang Zhou. Tiba-tiba ia terjaga, dan ternyata ia adalah, tak salah lagi, Zhuang Zhou. Akan tetapi, ia tidak tahu apakah ia Zhuang Zhou yang bermimpi menjadi kupu-kupu, atau ia seekor kupu-kupu yang bermimpi bahwa dirinya adalah Zhuang Zhou.”

14
Pengaruh filsafat ini terlihat dalam gaya puisi dan lukisan yang dikembangkan oleh para seniman Tionghoa dari generasi-generasi belakangan. (Lihat halaman 171.) Akan tetapi, Taoisme tidak berlama-lama menjadi filsafat yang pasif.

Dari

Filsafat Menjadi Agama

15
Dalam upaya menyatu dengan alam, para Taois terobsesi oleh keabadian dan ketangguhan alam. Mereka berspekulasi bahwa barangkali bila seseorang hidup serasi dengan Tao, atau jalan alam, ia akan dapat memanfaatkan rahasia alam sehingga kebal terhadap celaka fisik, penyakit, bahkan maut. Walaupun Laozi tidak mempersoalkannya, suatu bagian dalam Dao De Jing tampaknya menyiratkan gagasan ini. Misalnya, pasal 16 berkata, ”Menyatu dengan Tao berarti kekal. Dan walaupun tubuh mati, Tao sekali-kali tidak akan lenyap.”

16
Zhuangzi juga turut mendukung spekulasi demikian. Misalnya, buku Zhuang Zi memuat percakapan seorang tokoh dongeng yang bertanya kepada tokoh yang lain, ”Usiamu sudah lanjut, tetapi wajahmu masih seperti anak-anak. Mengapa demikian?” Yang ditanya menjawab, ”Aku telah mempelajari Tao.” Mengenai seorang filsuf Taois lainnya, Zhuangzi menulis, ”Lieze kini dapat mengendarai angin. Ia melayang bahagia di angin sejuk sampai lima belas hari sebelum ia kembali. Di antara insan fana yang mencapai kebahagiaan, jarang ada orang seperti itu.”

17
Cerita-cerita semacam ini menghidupkan imajinasi kaum Taois, dan mereka mulai mencoba-coba meditasi, diet, serta latihan pernapasan yang dianggap dapat memperlambat kemunduran jasmani dan kematian. Tak lama kemudian, beredarlah legenda tentang manusia abadi, yang dapat terbang di atas awan, bisa muncul dan menghilang sesukanya, dan tinggal di gunung keramat atau pulau terpencil selama waktu yang tak terhitung lamanya, hidup dari embun atau buah-buah ajaib. Sejarah Cina melaporkan bahwa pada tahun 219 SM, Kaisar Shi Huangdi dari dinasti Qin mengirimkan sebuah armada kapal dengan 3.000 anak lelaki dan perempuan untuk mencari Pulau Penglai yang menurut legenda adalah tempat tinggal para manusia abadi, guna membawa kembali tanaman yang berkhasiat mendatangkan kehidupan abadi. Tentu saja, mereka tidak kembali membawa eliksir itu, tetapi menurut kisah turun-temurun, mereka mendiami kepulauan yang kemudian dikenal sebagai Jepang.

18
Selama dinasti Han (206 SM–220 M), praktek-praktek gaib Taois mencapai kejayaan. Konon Kaisar Wudi, walaupun mendukung Konfusianisme sebagai ajaran resmi Negara, sangat tertarik pada gagasan Taois tentang kekekalan jasmani. Ia khususnya tertarik pada pembuatan ’pil keabadian’ secara alkimia. Menurut pandangan Taois, kehidupan terjadi apabila dua kekuatan yang berlawanan, yin dan yang (perempuan dan lelaki), bergabung. Jadi, dengan meleburkan timah hitam (gelap, atau yin) dan merkuri (terang, atau yang), para ahli alkimia meniru proses alam, dan hasilnya, menurut mereka, adalah pil keabadian. Para Taois juga mengembangkan latihan yang mirip Yoga, teknik mengatur pernapasan, pantangan makan, dan kebiasaan seksual yang dianggap akan menguatkan tenaga vital seseorang dan memperpanjang kehidupannya. Perlengkapan mereka antara lain adalah jimat gaib yang konon bisa membuat seseorang tidak terlihat dan kebal terhadap senjata atau bisa berjalan di atas air atau terbang di angkasa. Mereka juga mempunyai meterai gaib, yang biasanya memuat lambang yin-yang, yang ditempel pada gedung-gedung dan di atas pintu untuk menolak roh jahat serta binatang buas.

19
Pada abad kedua M, Taoisme diorganisasi. Ada seseorang bernama Zhang Ling, atau Zhang Daoling, yang mendirikan perkumpulan rahasia Taois di bagian barat Cina dan melakukan penyembuhan gaib serta praktek alkimia. Karena setiap anggota dikenakan iuran sebanyak lima takar beras, gerakannya dikenal sebagai Taoisme Lima-Takar-Beras (wudoumi dao). Zhang mengaku mendapat wahyu langsung dari Laozi, dan ia menjadi ”penguasa langit” yang pertama. Akhirnya, konon ia berhasil membuat eliksir kehidupan dan naik ke langit hidup-hidup dengan menunggangi seekor harimau dari Gunung Longhu (Gunung Harimau-Naga) di Provinsi Jiangxi. Berawal dari Zhang Daoling, dimulailah suatu rentetan panjang ”penguasa langit” Taois yang masing-masing mengaku sebagai reinkarnasi Zhang.

Menjawab

Tantangan Buddhisme

20
Pada abad ketujuh, selama dinasti Tang (618-907 M), Buddhisme mulai mempengaruhi kehidupan religius bangsa Cina. Untuk menandinginya, Taoisme menyatakan diri sebagai agama asli Cina. Laozi didewakan, dan tulisan-tulisan Taois dinyatakan sebagai naskah resmi. Kelenteng dan biara untuk laki-laki serta perempuan dibangun, dan golongan biksu serta biksuni dibentuk, serupa dengan yang ada dalam Buddhisme. Selain itu, Taoisme juga menambahkan banyak dewa, dewi, peri, dan manusia abadi dari cerita rakyat Cina, seperti Delapan Manusia Abadi (Ba Xian), dewa perapian (Zao Shen), dewa kota (Cheng Huang), dan penjaga pintu (Men Shen), ke dalam jajaran dewa-dewinya. Hasilnya ialah campuran yang mengandung unsur-unsur Buddhisme, takhayul turun-temurun, spiritisme, dan penyembahan leluhur.—1 Korintus 8:5.

21
Seraya waktu berlalu, Taoisme perlahan-lahan merosot menjadi suatu sistem pemujaan berhala dan takhayul. Setiap orang memuja dewa-dewi yang disukainya di kelenteng setempat, memohonkan perlindungan terhadap yang jahat dan bantuan untuk mengumpulkan kekayaan di bumi. Para pendeta dapat disewa untuk memimpin upacara penguburan; memilih tempat yang baik untuk kuburan, rumah, dan bisnis; berkomunikasi dengan orang mati; mengusir roh jahat dan hantu; menyelenggarakan hari raya; dan melakukan berbagai upacara lain. Jadi, apa yang semula adalah aliran filsafat yang mistis telah berubah menjadi agama yang sangat dipengaruhi oleh kepercayaan kepada roh-roh yang abadi, api neraka, dan manusia setengah dewa—gagasan yang diambil dari sekumpulan kepercayaan palsu Babilon kuno.

Cendekiawan

Cina yang Terkemuka Lainnya

22
Sementara kita menyelidiki pemunculan, perkembangan, dan kemerosotan Taoisme, kita hendaknya ingat bahwa ini hanyalah satu dari ”seratus aliran” yang berkembang di Cina selama zaman Peperangan Antarnegara. Aliran lain yang akhirnya mencuat, bahkan dominan, adalah Konfusianisme. Tetapi, mengapa Konfusianisme sampai begitu terkemuka? Dari semua cendekiawan di Cina, Konghucu memang yang paling terkenal di luar Cina, tetapi siapakah dia sebenarnya? Dan, apa yang ia ajarkan?

23
Mengenai Konghucu, kita sekali lagi melihat buku Shi Ji (Catatan Sejarah) karangan Sima Qian. Berbeda dengan uraian singkat mengenai Laozi, kita bisa memperoleh banyak informasi tentang riwayat hidup Konghucu. Berikut adalah data pribadinya yang dikutip dari terjemahan Lin Youdang, seorang pakar Tionghoa,
”Konghucu dilahirkan di kota Zou, di provinsi Changbing, di wilayah Lu. . . . [Ibunya] berdoa di bukit Niqiu dan sebagai jawaban atas doanya, ia melahirkan Konghucu pada tahun kedua puluh dua pemerintahan Pangeran Xiang dari Lu (551 SM). Ada suatu benjolan yang mencolok di kepalanya ketika ia dilahirkan, dan itu sebabnya ia disebut ’Qiu’ (yang berarti ”bukit”). Dalam kesusastraan, namanya dikenal sebagai Zhongni, dan nama panggilannya adalah Kong.”

24
Ayahnya meninggal tak lama setelah ia lahir, tetapi ibunya, walaupun miskin, berusaha memberinya pendidikan yang baik. Anak itu sangat berminat pada sejarah, puisi, dan musik. Menurut kitab Sabda Suci, salah satu dari Kitab Suci yang Empat dalam Konfusianisme, ia mengabdikan kehidupannya untuk melakukan penelitian ilmiah ketika berusia 15 tahun. Pada usia 17 tahun, ia diberi jabatan rendah dalam pemerintahan di wilayah asalnya, Lu.

25
Keadaan keuangannya tampak membaik, sehingga ia menikah pada usia 19 tahun dan mendapatkan seorang anak lelaki pada tahun berikutnya. Akan tetapi, ketika ia berusia kira-kira 25 tahun, ibunya meninggal. Kejadian ini rupanya sangat berpengaruh atas dirinya. Karena ia orang yang teliti menjalankan tradisi kuno, Konghucu mengundurkan diri dari kegiatan bermasyarakat dan meratap di makam ibunya selama 27 bulan. Bagi orang Tionghoa, hal itu menjadi teladan klasik bakti anak kepada orang tua.

Konghucu

sang Guru

26
Sesudah itu, ia meninggalkan keluarganya dan bekerja sebagai guru keliling. Hal-hal yang ia ajarkan antara lain ialah musik, puisi, sastra, tata negara, etika, dan sains, atau apa pun yang disebut sains pada waktu itu. Ia tentu memiliki reputasi yang baik, sebab konon ia pernah mempunyai murid sampai 3.000 orang.

27
Di negeri-negeri Timur, Konghucu dihormati terutama sebagai guru besar. Sesungguhnya, batu nisannya di Qufu, Provinsi Shandong, menyebut dia ”Guru yang Mahasuci di Masa Lampau”. Seorang penulis Barat melukiskan metode pengajarannya sebagai berikut, ”Ia berjalan dari ’satu tempat ke tempat lain ditemani oleh orang-orang yang menyerap pandangannya mengenai kehidupan’. Apabila perjalanannya jauh, ia naik pedati sapi. Karena hewan itu lambat jalannya, murid-muridnya dapat mengikuti dia dengan berjalan kaki, dan jelas bahwa bahan ceramahnya sering diambil dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di jalan.” Menarik bahwa Yesus belakangan, tanpa meniru, menggunakan metode serupa.

28
Tidak diragukan, yang menjadikan Konghucu guru yang dihormati di kalangan orang Timur ialah fakta bahwa ia sendiri seorang pelajar yang baik, teristimewa di bidang sejarah dan etika. ”Orang-orang tertarik pada Konghucu, bukan karena ia orang yang paling bijak pada zamannya, melainkan karena ia seorang pakar yang amat terpelajar, satu-satunya orang pada zamannya yang dapat mengajarkan buku-buku kuno dan ilmu pengetahuan kuno,” tulis Lin Youdang. Ketika memperlihatkan bahwa kegemaran belajar itulah yang mungkin menjadi alasan kunci unggulnya Konfusianisme atas aliran-aliran filsafat lainnya, Lin meringkaskannya sebagai berikut, ”Para guru Konfusianis mempunyai sesuatu yang pasti untuk diajarkan dan murid-murid Konfusianis mempunyai sesuatu yang pasti untuk dipelajari, yakni ilmu sejarah, sedangkan aliran-aliran lain terpaksa mengemukakan pendapat mereka sendiri saja.”

”Langitlah

yang Mengenal Aku!”

29
Walaupun ia berhasil sebagai guru, Konghucu tidak menganggapnya sebagai pekerjaan seumur hidupnya. Ia merasa bahwa gagasannya tentang etika dan moral dapat menyelamatkan dunia yang kacau pada zamannya asalkan para penguasa mau menerapkannya dengan mempekerjakan dia atau para muridnya dalam pemerintahan. Untuk maksud itu, ia dan sekelompok kecil muridnya yang paling akrab meninggalkan Lu, wilayah asal mereka, dan pergi mengembara dari satu wilayah ke wilayah lain untuk mencari penguasa bijak yang mau menerima gagasannya tentang pemerintahan dan ketertiban masyarakat. Apa hasilnya? Kitab Shi Ji menyatakan, ”Akhirnya ia pergi dari Lu, ditinggalkan di Qi, diusir dari Song dan Wei, hidup berkekurangan di antara Chen dan Cai.” Setelah 14 tahun mengembara, ia kembali ke Lu, kecewa tetapi tidak patah semangat.

30
Selama sisa hidupnya, ia mencurahkan perhatiannya untuk menulis karya sastra dan mengajar. (Lihat kotak di halaman 177.) Walaupun ia pasti meratapi keadaannya yang kurang dikenal, ia berkata, ”Aku tidak bersungut-sungut terhadap Langit. Aku tidak menggerutu terhadap manusia. Aku melakukan pengkajianku di bumi di sini, dan aku berhubungan dengan Langit di atas. Langitlah yang mengenal aku!” Akhirnya, pada tahun 479 SM, ia meninggal di usia 73 tahun.

Intisari

Gagasan Konfusianis

31
Walaupun Konghucu unggul sebagai cendekiawan maupun guru, pengaruhnya tidak terbatas pada kalangan terpelajar. Sesungguhnya, tujuan Konghucu tidak hanya untuk mengajarkan patokan tingkah laku atau moral, tetapi juga untuk memulihkan perdamaian dan ketertiban dalam masyarakat yang pada waktu itu telah diporak-porandakan oleh perang antarpenguasa feodal yang tak henti-hentinya. Agar tujuan itu tercapai, Konghucu mengajarkan bahwa setiap orang, mulai dari kaisar hingga rakyat jelata, harus belajar tentang peranannya dalam masyarakat dan hidup sesuai dengan itu.

32
Dalam Konfusianisme, konsep ini dikenal sebagai li, yang berarti kepantasan, kesopanan, ketertiban dan, dalam arti yang lebih luas, tata cara, upacara, serta penghormatan. Sebagai jawaban atas pertanyaan, ”Apakah li yang mulia ini?” Konghucu memberikan penjelasan berikut,
”Dari semua pedoman hidup, li adalah yang paling mulia. Tanpa li, kita tidak tahu cara yang benar untuk memuja roh-roh alam semesta; atau cara yang benar untuk menetapkan status raja dan para menteri, penguasa dan yang dikuasai, kaum lanjut usia dan kaum muda; atau cara menetapkan hubungan moral di antara orang-orang yang berlainan jenis, di antara orang tua dan anak-anak, serta di antara kakak dan adik; atau cara untuk membedakan berbagai tingkatan dalam ikatan keluarga. Itu sebabnya orang yang berbudi luhur akan menjunjung tinggi li.”

33
Jadi, li adalah aturan tingkah laku yang diterapkan oleh orang yang benar-benar berbudi luhur (junzi, kadang-kadang diterjemahkan sebagai ”orang yang unggul”) dalam semua hubungan bermasyarakat. Apabila setiap orang berupaya berbuat demikian, ”segala sesuatu menjadi benar dalam keluarga, negara, dan dunia”, kata Konghucu, dan pada saat itulah Tao, atau jalan langit, terlaksana. Akan tetapi, bagaimana li diterapkan? Untuk itu, kita akan membahas konsep penting lain dalam Konfusianisme—ren, yaitu kemanusiaan.

34
Bila li menekankan pengekangan oleh aturan eksternal, ren berkaitan dengan perangai, atau batin, manusia. Konsep Konfusianis, khususnya yang diungkapkan oleh murid utama Konghucu, Mensius, adalah bahwa perangai manusia pada dasarnya baik. Jadi, pemecahan untuk segala masalah sosial terletak pada pembinaan diri sendiri, dan ini dimulai dengan pendidikan dan pengetahuan. Pasal pembukaan kitab Ajaran Besar mengatakan,
”Apabila pengetahuan sejati diperoleh, kemauan pun menjadi tulus; apabila kemauan tulus, hati pun akan diluruskan . . . ; apabila hati lurus, kehidupan seseorang pun terbina; apabila kehidupan seseorang terbina, kehidupan keluarga pun teratur; apabila kehidupan keluarga teratur, kehidupan negara pun tertib; dan apabila kehidupan negara tertib, akan ada perdamaian di dunia ini. Dari kaisar hingga orang biasa, semua harus memandang pembinaan kehidupan perorangan sebagai akar atau fondasi.”

35
Jadi, menurut Konghucu, orang yang menjalankan li akan dapat bertingkah laku baik dalam setiap situasi, dan orang yang mengembangkan ren akan dapat memperlakukan semua orang lain dengan baik hati. Hasilnya, secara teoretis, ialah perdamaian dan keserasian dalam masyarakat. Cita-cita Konfusianis, yang didasarkan atas prinsip li dan ren, dapat diringkaskan sebagai berikut:
”Kebaikan hati seorang bapak, bakti anak laki-laki
Budi bahasa yang halus kakak tertua, kerendahan hati dan hormat

adik-adiknya
Tingkah laku yang lurus seorang suami, ketaatan seorang istri
Timbang rasa para tua-tua, respek dan hormat di pihak kaum muda
Kebajikan seorang penguasa, keloyalan di pihak para menteri dan rakyat.”

Ini semua turut menjelaskan mengapa kebanyakan orang Tionghoa, bahkan orang-orang Timur lainnya, begitu menjunjung ikatan kekeluargaan, kerajinan, pendidikan, dan sikap tahu diri serta tindakan yang sesuai dengan kedudukan seseorang. Entah hasilnya lebih baik atau lebih buruk, konsep Konfusianis telah meresap ke dalam sanubari orang Tionghoa karena terus-menerus ditanamkan selama berabad-abad.

Konfusianisme

Menjadi Sistem Ibadat Negara

36
Dengan bangkitnya Konfusianisme, berakhirlah masa ”seratus aliran”. Para kaisar dari dinasti Han menganggap ajaran Konfusianis mengenai keloyalan kepada penguasa sebagai resep yang justru mereka butuhkan untuk memperkuat kekuasaan kaisar. Di bawah pemerintahan Kaisar Wudi, yang sudah kita sebutkan dalam pembahasan tentang Taoisme, Konfusianisme dinaikkan statusnya menjadi sistem ibadat Negara. Hanya orang-orang yang benar-benar menguasai kitab-kitab klasik Konfusianis yang dipilih sebagai pejabat Negara, dan siapa pun yang ingin menjadi pegawai negeri harus lulus ujian nasional yang didasarkan atas kitab-kitab klasik Konfusianis. Tata cara dan upacara Konfusianis menjadi agama keluarga kekaisaran.

37
Perubahan ini sangat meninggikan kedudukan Konghucu di kalangan masyarakat Tionghoa. Kaisar-kaisar Han memulai tradisi memberikan persembahan di makam Konghucu. Beberapa gelar kehormatan dianugerahkan kepadanya. Kemudian, pada tahun 630 M, kaisar Tang, Tai Zong, memerintahkan agar sebuah kuil Negara untuk menghormati Konghucu dibangun di setiap provinsi dan kabupaten di seluruh kekaisaran dan agar persembahan diberikan secara teratur. Untuk kepraktisan, Konghucu dinaikkan statusnya menjadi dewa, dan Konfusianisme menjadi agama yang sulit dibedakan dari Taoisme atau Buddhisme.—Lihat kotak, halaman 175.

Warisan

Hikmat dari Timur

38
Sejak berakhirnya kekaisaran di Cina pada tahun 1911, Konfusianisme dan Taoisme menerima banyak kritik pedas, bahkan penindasan. Taoisme dicela karena praktek gaib dan takhayulnya. Dan, Konfusianisme dicap feodalistis karena menganjurkan mentalitas budak agar rakyat, teristimewa kaum wanita, tetap tunduk. Akan tetapi, meskipun dikecam secara resmi, konsep dasar kedua agama ini begitu berakar dalam pikiran orang Tionghoa sehingga masih sangat berpengaruh atas banyak orang.

39
Misalnya, di bawah kepala berita ”Upacara Keagamaan Cina Jarang Ada di Beijing tetapi Berkembang di Daerah Pesisir”, surat kabar Kanada Globe and Mail pada tahun 1987 melaporkan bahwa setelah hampir 40 tahun pemerintahan ateis di Cina, upacara penguburan, kebaktian di kelenteng, dan banyak praktek takhayul masih umum di daerah-daerah pedesaan. ”Kebanyakan kampung mempunyai seorang ahli fengshui, yang biasanya adalah seorang warga yang sudah berumur yang tahu caranya membaca kekuatan angin (feng) dan air (shui) guna menentukan lokasi yang paling baik untuk segala sesuatu mulai dari kuburan nenek moyang, rumah baru, atau perabot dalam ruang keluarga,” demikian bunyi laporan itu.

40
Di tempat lain, Taoisme dan Konfusianisme dianut oleh orang-orang di tempat mana pun yang masih mempertahankan kebudayaan tradisional Cina. Di Taiwan, seorang pria yang mengaku keturunan Zhang Daoling memegang wewenang sebagai ”penguasa langit” untuk melantik pendeta Tao (Dao Shi). Dewi Mazu yang populer, yang disebut ”Bunda Suci di Langit”, dipuja sebagai dewi pelindung pulau, pelaut, dan nelayan. Sedangkan rakyat jelata, mereka kebanyakan sibuk memberikan persembahan dan korban untuk roh sungai, roh gunung, dan roh bintang; dewa-dewa pelindung semua profesi; dan dewa kesehatan, dewa keberuntungan, serta dewa kekayaan.

41
Bagaimana dengan Konfusianisme? Peranannya sebagai agama telah diperkecil sebatas monumen nasional saja. Di Qufu, Cina, tempat kelahiran Konghucu, Negara mempertahankan Kuil Konghucu dan tanah keluarganya sebagai objek wisata. Di sana, menurut majalah China Reconstructs, diadakan pertunjukan yang ”memperagakan upacara pemujaan Konghucu”. Dan di Singapura, Taiwan, Hong Kong, serta tempat-tempat lain di Asia Timur, orang masih merayakan hari lahir Konghucu.

42
Dari Konfusianisme dan Taoisme, kita mengerti bagaimana sebuah sistem yang berlandaskan hikmat dan penalaran manusia, sekalipun masuk akal dan penuh itikad baik, pada akhirnya tidak berhasil dalam pencarian akan Allah yang benar. Mengapa? Karena ada satu unsur penting yang diabaikan, yakni kehendak dan tuntutan dari Allah yang adalah suatu pribadi. Konfusianisme berfokus pada perangai manusia sebagai tenaga penggerak untuk berbuat baik, dan Taoisme berfokus pada alam itu sendiri. Tetapi, ini adalah kepercayaan yang salah tempat karena sama saja dengan menyembah benda-benda ciptaan dan bukannya sang Pencipta.—Mazmur 62:9; 146:3, 4; Yeremia 17:5.

43
Di pihak lain, tradisi penyembahan leluhur dan berhala, penghormatan kepada langit, dan pemujaan roh-roh di alam, maupun tata cara dan upacara keagamaan yang berkaitan dengan hal-hal itu, sudah sedemikian berurat berakar dalam cara berpikir orang Tionghoa sehingga diyakini sebagai kebenaran. Sering kali, sangatlah sulit untuk berbicara dengan orang Tionghoa tentang Allah atau Pencipta sebagai suatu pribadi karena konsep itu amat asing baginya.—Roma 1:20-25.

44
Tak dapat disangkal bahwa alam penuh dengan keajaiban serta hikmat yang menakjubkan dan bahwa kita manusia dikaruniai nalar dan hati nurani yang luar biasa. sebagaimana dikemukakan dalam pasal tentang Buddhisme, keajaiban yang kita lihat di alam ini telah membuat orang-orang yang suka berpikir menyimpulkan bahwa pasti ada Perancang atau Pencipta. (Lihat halaman 151-2.) Karena itu, tidakkah masuk akal bahwa kita seharusnya berupaya mencari sang Pencipta? Sesungguhnya, sang Pencipta mengundang kita untuk berbuat demikian, ”Layangkanlah pandanganmu ke tempat tinggi dan lihatlah. Siapa yang menciptakan hal-hal ini? Ini adalah Pribadi yang membawa keluar pasukan mereka menurut jumlahnya, yang semuanya ia panggil dengan namanya.” (Yesaya 40:26) Dengan berbuat demikian, kita tidak hanya akan mengenal siapa sang Pencipta, yakni Allah Yehuwa, tetapi juga mengetahui apa yang Ia sediakan bagi kita di masa depan.

45
Bersama Buddhisme, Konfusianisme, dan Taoisme, yang telah memainkan peranan penting dalam kehidupan agama orang-orang Timur, ada satu agama lagi, yang hanya dianut oleh bangsa Jepang—Shinto. Apa bedanya? Dari mana asalnya? Sudahkah agama itu membimbing manusia kepada Allah yang benar? Hal ini akan kita bahas dalam pasal berikut.
[Catatan
Kaki]
Terjemahan Lin Youdang untuk bagian tadi berbunyi, ”Karena selaras dengan Tao, ia kekal, dan seluruh hidupnya terlindung dari celaka.”
Satu takar hampir setara dengan 9 liter.
Kata ”Konghucu” adalah transliterasi dari bahasa Cina Kongfuzi, yang berarti ”Guru Kong”. Para pastor Yesuit yang datang ke Cina pada abad ke-16 melatinkan nama itu ketika mereka menyarankan kepada paus di Roma agar Konghucu diangkat menjadi ”santo” Gereja Katolik Roma.
Satu kelompok Taois di Taiwan, yang disebut Tian Dao (Jalan Langit) mengaku sebagai pembauran lima agama dunia—Taoisme, Konfusianisme, Buddhisme, Kekristenan, dan Islam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar