"

Senin, 11 Februari 2013

Agama----Bagaimana Asal Mulanya ?

Pasal
2

Agama—Bagaimana
Asal Mulanya?

SEJARAH agama sudah setua sejarah manusia itu sendiri. Demikianlah kata para arkeolog dan para antropolog. Dalam berbagai peradaban yang paling ”primitif” pun, yaitu yang belum maju, ditemukan bukti adanya ibadat dalam bentuk tertentu. Malahan, The New Encyclopædia Britannica mengatakan bahwa ”sejauh yang telah ditemukan oleh para pakar, tidak pernah ada seorang pun, di mana pun, dan kapan pun, yang sama sekali tidak religius”.

2
Selain sudah ada sejak purbakala, agama juga banyak variasinya. Para pemburu kepala manusia di hutan belantara di Kalimantan, orang Eskimo di Kutub Utara yang dingin membeku, orang nomad di Gurun Sahara, penduduk kota-kota metropolis besar di dunia—setiap orang dan setiap bangsa di bumi mempunyai allah atau dewa-dewi dan cara beribadatnya sendiri. Keanekaragaman agama benar-benar mencengangkan.

3
Maka, timbullah berbagai pertanyaan. Dari mana munculnya semua agama ini? Karena ada perbedaan maupun kesamaan yang mencolok, apakah agama-agama ini muncul sendiri-sendiri, atau mungkin berkembang dari satu sumber? Kita bahkan mungkin bertanya: Mengapa ada agama? Dan, bagaimana asal mulanya? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini benar-benar penting bagi semua orang yang berminat mengetahui kebenaran tentang agama dan kepercayaan agama.

Masalah

Asal Usul

4
Jika kita berbicara tentang asal usul agama, nama-nama seperti Muhammad, Buddha, Konghucu, dan Yesus terlintas dalam benak orang-orang dari berbagai agama. Dalam hampir setiap agama, ada seorang tokoh utama yang diakui sebagai pendiri ’iman yang benar’. Beberapa di antaranya adalah reformis yang menentang penyembahan berhala. Yang lainnya, filsuf moral. Yang lain lagi, pahlawan rakyat yang tidak mementingkan diri. Banyak dari mereka meninggalkan tulisan atau kata-kata mutiara yang menjadi dasar suatu agama baru. Lambat laun, apa yang mereka katakan dan lakukan dikembangkan, dibumbui, dan diberi kesan mistis. Beberapa dari para pemimpin ini bahkan didewakan.

5
Walaupun pribadi-pribadi ini dianggap sebagai pendiri agama-agama besar yang kita kenal, perlu diperhatikan bahwa mereka tidak benar-benar menciptakan agama. Dalam kebanyakan kasus, ajaran mereka berkembang dari gagasan-gagasan keagamaan yang sudah ada, meskipun sebagian besar pendiri mengaku bahwa sumber ajaran mereka terilham. Atau, mereka mengganti dan memodifikasi sistem keagamaan yang sudah ada, yang dalam segi tertentu bisa jadi tidak memuaskan lagi.

6
Sebagai contoh, menurut sejarah yang dapat dikatakan akurat, Buddha dulunya adalah seorang pangeran yang terkejut melihat penderitaan dan keadaan yang memilukan di sekelilingnya dalam masyarakat yang didominasi oleh Hinduisme. Buddhisme adalah hasil pencariannya akan jalan keluar dari problem-problem kehidupan yang menyedihkan. Demikian pula, Muhammad sangat resah melihat penyembahan berhala dan perbuatan amoral dalam ibadat di sekelilingnya. Ia belakangan mengaku menerima wahyu istimewa dari Allah, yang kemudian disusun menjadi Quran serta menjadi dasar suatu gerakan agama baru, Islam. Protestanisme muncul dari Katolikisme sebagai hasil Reformasi yang dimulai pada awal abad ke-16, ketika Martin Luther memprotes penjualan surat pengampunan dosa oleh gereja Katolik pada masa itu.

7
Jadi, sehubungan dengan agama-agama yang ada sekarang, tersedia cukup banyak informasi mengenai asal usul dan perkembangannya, para pendirinya, tulisan-tulisan sucinya, dan sebagainya. Tetapi, bagaimana dengan agama-agama yang ada sebelum itu dan bahkan yang lebih awal lagi? Jika kita mundur cukup jauh dalam sejarah, cepat atau lambat kita akan dihadapkan pada pertanyaan: Bagaimana asal mulanya agama? Jelaslah, untuk mendapatkan jawabannya, kita harus mempertimbangkan faktor-faktor di luar agama-agama itu sendiri.

Banyak

Teori

8
Penelitian mengenai asal usul dan perkembangan agama merupakan bidang yang relatif baru. Selama berabad-abad, orang sedikit banyak telah menganut agama yang diwarisi sejak lahir dan yang diperoleh dari lingkungan mereka. Kebanyakan orang puas dengan penjelasan yang mereka dapatkan dari nenek moyang mereka, merasa bahwa agama merekalah yang benar. Mereka hampir tidak pernah mempunyai alasan untuk bertanya-tanya, atau untuk merasa perlu menyelidiki bagaimana, kapan, atau mengapa sesuatu ada. Bahkan, selama berabad-abad, karena terbatasnya sarana transportasi dan komunikasi, tidak banyak orang yang tahu bahwa ada berbagai sistem keagamaan lain.

9
Namun, pada abad ke-19, keadaan mulai berubah. Teori evolusi cepat menyebar di kalangan cendekiawan. Hal itu, sejalan dengan munculnya penelitian ilmiah, menyebabkan banyak orang mempertanyakan sistem-sistem yang sudah ada, termasuk agama. Menyadari terbatasnya petunjuk yang mereka dapatkan dari agama yang ada, beberapa pakar beralih ke peninggalan-peninggalan peradaban masa awal atau ke ujung-ujung dunia, tempat orang-orang masih hidup dalam masyarakat primitif. Mereka mencoba menerapkan metode-metode psikologi, sosiologi, antropologi, dan sebagainya, dengan harapan mendapatkan petunjuk tentang bagaimana dan mengapa ada agama.

10
Apa hasilnya? Tiba-tiba, muncul banyak teori, tampaknya sebanyak jumlah penelitinya, yang saling bertentangan dan saling berupaya mengalahkan dalam hal kehebatan dan keaslian. Ada yang sampai pada kesimpulan yang berbobot, tetapi ada juga yang hasil penelitiannya dilupakan. Mendapatkan pandangan sekilas mengenai hasil-hasil penelitian ini akan menambah pengetahuan sekaligus membuka mata kita. Dengan demikian, kita dapat dibantu untuk lebih mengerti perilaku religius orang-orang yang kita jumpai.

11
Sebuah teori, yang umumnya disebut teori animisme, dikemukakan oleh seorang antropolog asal Inggris, Edward Tylor (1832-1917). Ia mengemukakan bahwa pengalaman seperti mimpi, penglihatan, halusinasi, ditambah dengan fakta bahwa mayat tidak bernyawa lagi menyebabkan orang-orang primitif menyimpulkan bahwa tubuh dihuni oleh suatu jiwa (Latin, anima). Menurut teori ini, karena orang sering bermimpi tentang orang-orang tercinta yang sudah meninggal, mereka menyimpulkan bahwa jiwa tetap hidup setelah kematian, bahwa jiwa meninggalkan tubuh dan mendiami pohon, batu karang, sungai, dan sebagainya. Akhirnya, orang mati dan benda-benda yang konon dihuni oleh jiwa disembah sebagai dewa-dewi. Maka, kata Tylor, lahirlah agama.

12
Seorang antropolog lain asal Inggris, R. R. Marett (1866-1943), mengajukan perbaikan atas teori animisme, yang ia sebut teori animatisme. Setelah meneliti berbagai kepercayaan orang Melanesia di Kepulauan Pasifik serta penduduk asli Afrika dan Amerika, Marett menyimpulkan bahwa orang-orang primitif tidak menganggap jiwa itu suatu pribadi, tetapi bahwa ada suatu kekuatan abstrak atau tenaga gaib yang menghidupkan segala sesuatu; kepercayaan itu membangkitkan perasaan hormat dan takut dalam diri manusia, yang menjadi dasar untuk agama primitif mereka. Menurut Marett, agama pada dasarnya merupakan tanggapan emosional manusia terhadap apa yang tidak diketahui. Pernyataannya yang terkenal ialah bahwa agama ”sebenarnya bukan hasil pemikiran melainkan luapan batin”.

13
Pada tahun 1890, pakar cerita rakyat kuno asal Skotlandia, James Frazer (1854-1941), menerbitkan buku yang berpengaruh, The Golden Bough. Di dalam buku itu, ia mengemukakan bahwa agama berasal dari ilmu gaib. Menurut Frazer, manusia mula-mula mencoba mengendalikan kehidupannya sendiri dan lingkungannya dengan meniru apa yang ia lihat terjadi di alam. Sebagai contoh, orang berpikir bahwa ia dapat mendatangkan hujan dengan memercikkan air ke tanah diiringi pukulan gendang yang seperti bunyi guntur atau bahwa ia dapat melukai musuhnya dengan menusuk-nusukkan jarum ke orang-orangan. Hasilnya, mereka mulai menggunakan upacara keagamaan, mantra, dan benda-benda bertuah dalam banyak segi kehidupan. Jika hal ini tidak manjur, ia kemudian akan menenangkan tenaga-tenaga gaib serta meminta bantuan mereka, ketimbang mencoba mengendalikan mereka. Dari upacara keagamaan serta pelantunan mantra berkembanglah korban-korban dan doa-doa, sehingga lahirlah agama. Mengutip kata-kata Frazer, agama adalah ”tindakan berdamai atau rujuk dengan kuasa-kuasa yang lebih tinggi daripada manusia”.

14
Bahkan psikoanalis terkemuka asal Austria, Sigmund Freud (1856-1939), dalam bukunya Totem and Taboo, mencoba menjelaskan asal usul agama. Berdasarkan ilmu yang ditekuninya, Freud menjelaskan bahwa agama yang paling awal berasal dari kelainan yang ia sebut neurosis figur ayah. Ia berteori bahwa, sebagaimana kuda liar dan kawanan ternak, dalam masyarakat primitif sang bapak menguasai suatu kaum. Anak laki-laki, yang membenci sekaligus mengagumi sang bapak, memberontak dan membunuhnya. Untuk mendapatkan kekuatan sang bapak, menurut Freud, ’orang-orang biadab kanibal ini memakan korban mereka’. Kemudian, karena menyesal, mereka membuat ritus untuk menebus kesalahan mereka. Menurut teori Freud, sosok bapak menjadi Allah, ritus menjadi agama yang paling awal, dan memakan bapak yang terbunuh menjadi tradisi komuni dalam banyak agama.

15
Ada banyak teori lain yang mencoba menjelaskan asal usul agama. Namun, kebanyakan sudah dilupakan, dan tak satu pun benar-benar kelihatan lebih dapat dipercaya atau berterima daripada yang lainnya. Mengapa? Karena tidak pernah ada bukti sejarah bahwa teori-teori ini benar. Teori-teori ini murni hasil imajinasi atau karangan para peneliti, yang tak lama kemudian diganti dengan teori baru berikutnya.

Dasar

yang Salah

16
Setelah bertahun-tahun bergumul dengan persoalan ini, sekarang banyak orang berkesimpulan bahwa tampaknya mustahil akan ada terobosan untuk menemukan jawaban atas pertanyaan tentang asal usul agama. Pertama-tama, alasannya adalah tulang-tulang dan peninggalan bangsa-bangsa kuno tidak memberi tahu kita tentang cara berpikir orang-orang tersebut, apa yang mereka takuti, atau mengapa mereka menyembah sesuatu. Kesimpulan apa pun yang ditarik berdasarkan temuan-temuan arkeologis ini paling-paling merupakan perkiraan ilmiah belaka. Kedua, kebiasaan agama orang-orang dewasa ini yang disebut primitif, seperti orang Aborigin Australia, tidak selalu menjadi tolok ukur yang dapat diandalkan untuk memperkirakan apa yang dilakukan dan dipikirkan orang-orang zaman dulu. Tidak seorang pun mengetahui dengan pasti apakah atau bagaimana caranya kebudayaan mereka berubah dari abad ke abad.

17
Karena semua ketidakpastian ini, buku World Religions—From Ancient History to the Present menyimpulkan bahwa ”para sejarawan agama dewasa ini tahu bahwa mereka tidak mungkin mengetahui asal usul agama”. Namun, sehubungan dengan upaya para sejarawan, buku itu menyatakan, ”Di masa lalu, terlalu banyak teoretikus tidak sekadar ingin melukiskan atau menjelaskan agama tetapi mendiskreditkannya, dengan anggapan bahwa jika bentuk-bentuk awalnya ternyata didasarkan atas khayalan, agama-agama yang belakangan dan lebih maju dapat dianggap tidak penting.”

18
Komentar terakhir tadi memberi kita petunjuk tentang mengapa berbagai peneliti ”ilmiah” mengenai asal usul agama tidak dapat menemukan penjelasan yang dapat dipertahankan. Secara masuk akal, kesimpulan yang benar hanya dapat diperoleh berdasarkan asumsi yang benar. Jika seseorang memulai dengan asumsi yang salah, ia tidak mungkin akan mencapai kesimpulan yang benar. Kegagalan yang terus-menerus dialami para peneliti ”ilmiah” untuk memperoleh penjelasan yang masuk akal menimbulkan keraguan yang besar terhadap asumsi yang mendasari pandangan mereka. Dengan mengikuti konsep yang sudah mereka miliki, dalam upaya ’mendiskreditkan agama’ mereka mencoba mendiskreditkan Allah.

19
Keadaan ini dapat disamakan dengan berbagai cara yang digunakan oleh para astronom sebelum abad ke-16 untuk mencoba menjelaskan peredaran planet-planet. Ada banyak teori, tetapi tidak satu pun benar-benar memuaskan. Mengapa? Karena teori-teori tersebut didasarkan atas asumsi bahwa bumi adalah pusat alam semesta yang dikitari oleh bintang-bintang serta planet-planet. Kemajuan yang nyata baru dihasilkan setelah para ilmuwan—dan Gereja Katolik—mau menerima fakta bahwa bumi bukanlah pusat alam semesta tetapi berputar mengelilingi matahari, pusat tata surya. Karena banyak teori gagal menjelaskan fakta-fakta tersebut, pribadi-pribadi yang berpikiran terbuka tidak berupaya menyodorkan teori-teori baru, tetapi menguji kembali asumsi yang mendasari penelitian mereka. Dan, hal ini mendatangkan sukses.

20
Prinsip yang sama dapat diterapkan untuk meneliti asal usul agama. Karena munculnya ateisme dan diterimanya teori evolusi secara luas, banyak orang beranggapan bahwa Allah tidak ada. Berdasarkan asumsi ini, mereka merasa bahwa penjelasan mengenai keberadaan agama harus dicari dalam diri manusia itu sendiri—dalam proses berpikirnya, kebutuhannya, ketakutannya, ”kelainan mental”-nya. Voltaire mengatakan, ”Jika Allah tidak ada, kita perlu menciptakan dia.” Jadi, mereka berpendapat bahwa manusia telah menciptakan Allah.—Lihat kotak, halaman 28.

21
Karena banyak teori gagal memberikan jawaban yang benar-benar memuaskan, bukankah sekarang sudah waktunya untuk menguji kembali asumsi yang mendasari penelitian-penelitian ini? Sebaliknya dari mengerahkan upaya tanpa hasil dalam alur yang itu-itu terus, tidakkah masuk akal untuk mencari jawabannya di tempat lain? Jika kita mau berpikiran terbuka, kita akan setuju bahwa tindakan itu masuk akal dan ilmiah. Malah, ada contoh yang membantu kita melihat mengapa tindakan tersebut perlu.

Penelitian

sejak Zaman Dulu

22
Pada abad pertama tarikh Masehi, kota Athena, Yunani, menjadi pusat ilmu pengetahuan yang terkemuka. Namun, di kalangan orang Athena, ada banyak aliran, seperti dari orang Epikuros dan orang Stoa, masing-masing dengan gagasannya sendiri mengenai dewa-dewi. Berdasarkan berbagai gagasan ini, banyak dewa dipuja, dan berkembanglah berbagai tata cara ibadat. Hasilnya, kota itu penuh dengan berhala dan kuil buatan manusia.—Kisah 17:16.

23
Kira-kira pada tahun 50 M, rasul Kristen Paulus mengunjungi Athena dan mengemukakan sudut pandangan yang sama sekali berbeda kepada orang Athena. Ia berkata kepada mereka, ”Allah yang menjadikan dunia dan segala sesuatu di dalamnya, Pribadi yang adalah Tuan atas langit dan bumi, tidak tinggal di kuil-kuil buatan tangan, juga tidak dilayani oleh tangan manusia seolah-olah ia membutuhkan sesuatu, karena dialah yang memberikan kehidupan dan napas dan segala sesuatu kepada semua orang.”—Kisah 17:24, 25.

24
Dengan kata lain, Paulus memberi tahu orang Athena bahwa Allah yang benar, yang ”menjadikan dunia dan segala sesuatu di dalamnya”, bukanlah karya imajinasi manusia, dan Ia pun tidak dilayani dengan cara-cara yang mungkin dirancang manusia. Agama yang sejati bukan sekadar upaya sepihak dari manusia yang mencoba memenuhi kebutuhan psikologis atau menyingkirkan perasaan takut tertentu. Sebaliknya, karena Allah yang benar adalah Pencipta, yang memberi manusia kesanggupan berpikir dan daya nalar, tentu masuk akal jika Ia akan memberi tahu manusia cara menjalin hubungan yang memuaskan dengan-Nya. Menurut Paulus, itulah tepatnya yang Allah lakukan. ”Dari satu orang ia menjadikan setiap bangsa manusia, untuk tinggal di atas seluruh permukaan bumi, . . . agar mereka mencari Allah, jika mereka mungkin mencari-cari dia dan benar-benar menemukan dia, meskipun dia sebenarnya tidak jauh dari kita masing-masing.”—Kisah 17:26, 27.

25
Perhatikan gagasan utama Paulus, ”Dari satu orang [Allah] menjadikan setiap bangsa manusia.” Walaupun dewasa ini ada banyak bangsa manusia di seluruh bumi, para ilmuwan tahu bahwa sebenarnya semua manusia berasal dari satu leluhur. Konsep ini sangat penting karena apabila kita mengatakan bahwa semua manusia berasal dari satu leluhur, berarti hubungan antarmanusia lebih dari sekadar hubungan biologis dan genetis. Mereka juga berkerabat dalam bidang-bidang lain.

26
Sebagai contoh, perhatikan apa yang dikatakan buku Story of the World’s Worship mengenai bahasa manusia. ”Orang-orang yang telah meneliti bahasa-bahasa dunia dan membanding-bandingkannya mencapai satu kesimpulan, yaitu: Semua bahasa dapat dikelompokkan ke dalam berbagai keluarga atau rumpun bahasa, dan nyata bahwa semua rumpun bahasa ini berasal dari satu sumber.” Dengan kata lain, bahasa-bahasa dunia tidak muncul sendiri-sendiri, sebagaimana yang selama ini digembar-gemborkan oleh para ahli teori evolusi. Mereka berteori bahwa manusia yang menghuni gua-gua di Afrika, Eropa, dan Asia mula-mula berkomunikasi dengan mendengkus serta menggeram dan akhirnya menciptakan bahasa mereka sendiri. Tetapi, kenyataannya tidak demikian. Faktanya ialah bahasa-bahasa ”berasal dari satu sumber”.

27
Jika memang demikian halnya dengan sesuatu yang merupakan ciri khas manusia, seperti bahasa, tidakkah masuk akal bahwa gagasan manusia mengenai Allah dan agama seharusnya juga berasal dari satu sumber? Faktanya ialah agama berkaitan dengan pikiran, dan pikiran berkaitan dengan kesanggupan manusia untuk berbahasa. Tidak berarti bahwa semua agama benar-benar berasal dari satu agama, tetapi seandainya gagasan dan pemikirannya ditelusuri kita seharusnya sampai pada satu sumber atau pangkal. Apakah ada bukti yang mendukung hal ini? Dan, jika agama-agama manusia memang berpangkal dari satu sumber, apa gerangan sumber itu? Bagaimana kita dapat mengetahuinya?

Berbeda

namun Serupa

28
Kita dapat memperoleh jawaban dengan cara yang sama seperti cara para ahli bahasa memperoleh jawaban mengenai asal usul bahasa. Dengan membandingkan bahasa-bahasa dan memperhatikan kesamaannya, seorang ahli etimologi dapat menelusuri pangkal berbagai bahasa itu. Demikian pula, dengan membandingkan agama-agama, kita dapat memeriksa doktrin, legenda, ritus, upacara, lembaganya, dan sebagainya, dan melihat apakah ada kesamaan yang mendasar dan, jika ya, di manakah awalnya.

29
Sekilas, banyak agama yang ada dewasa ini tampaknya sangat berbeda satu sama lain. Namun, jika kita melucuti embel-embelnya dan hal-hal yang ditambahkan di kemudian hari, atau jika kita menyingkirkan perbedaan-perbedaan akibat pengaruh iklim, bahasa, kekhasan negeri asalnya, dan faktor-faktor lain, sungguh menakjubkan bahwa ternyata kebanyakan agama sangat serupa.

30
Sebagai contoh, kebanyakan orang berpikir bahwa Gereja Katolik Roma dari Barat sangat jauh berbeda dengan Buddhisme dari Timur. Namun, apa yang kita lihat apabila kita menyingkirkan perbedaan-perbedaan yang mungkin disebabkan oleh bahasa dan kebudayaan? Jika kita bersikap objektif mengenai hal ini, kita harus mengakui bahwa ada banyak kesamaan di antara keduanya. Katolikisme maupun Buddhisme sarat dengan ritus dan upacara, antara lain penggunaan lilin, dupa, air suci, rosario (tasbih), patung orang-orang suci, nyanyian yang diulang-ulang dan buku doa, bahkan tanda salib. Kedua-duanya mengorganisasi biarawan serta biarawati dan terkenal dengan imam-imam yang hidup selibat, jubah khusus, hari-hari suci, makanan khusus. Daftar ini bisa lebih panjang, tetapi apa yang disebutkan sudah cukup untuk melukiskan duduk perkaranya. Maka, timbul pertanyaan, Mengapa dua agama yang kelihatannya begitu berbeda mempunyai begitu banyak kesamaan?

31
Karena pembandingan kedua agama ini ternyata benar-benar membuka mata kita, hal serupa dapat dilakukan terhadap agama-agama lain. Dengan melakukan hal itu, kita akan mendapati bahwa ajaran dan kepercayaan tertentu hampir selalu ada dalam agama-agama tersebut. Kebanyakan di antara kita mengenal doktrin seperti jiwa manusia yang tidak berkematian, pahala surgawi bagi semua orang baik, siksaan kekal bagi orang fasik di alam baka, api penyucian, allah tiga serangkai atau dewa-dewi yang memiliki kodrat allah, dan bunda allah atau dewi ratu surga. Selain itu, agama-agama tersebut memiliki banyak legenda dan mitos yang sama. Misalnya, ada legenda-legenda mengenai hilangnya perkenan ilahi atas manusia karena upayanya yang terlarang untuk mendapatkan peri tidak berkematian, perlunya mempersembahkan korban untuk menebus dosa, pencarian pohon kehidupan atau mata air awet muda, dewa-dewi dan manusia-manusia setengah dewa yang tinggal di antara manusia dan menghasilkan keturunan adimanusiawi, serta bencana banjir besar yang membinasakan hampir semua manusia.

32
Apa yang dapat kita simpulkan dari semua ini? Kita melihat bahwa orang-orang yang mempercayai mitos-mitos dan legenda-legenda ini tinggal di negeri-negeri yang berjauhan. Kebudayaan dan tradisi mereka berbeda dan khas. Adat istiadat mereka tidak ada hubungannya satu sama lain. Meskipun demikian, dalam hal agama, mereka mempercayai gagasan-gagasan yang sangat serupa. Walaupun tidak setiap orang mempercayai semua hal yang disebutkan tadi, mereka semua mempercayai beberapa dari antaranya. Maka, pasti timbul pertanyaan, Mengapa hal itu bisa terjadi? Sepertinya, setiap agama mengambil kepercayaan dasarnya dari satu sumber, ada yang mengambil banyak, ada yang sedikit. Seraya waktu berlalu, gagasan dasar ini dibumbui dan diubah di sana sini, dan ajaran-ajaran lain berkembang darinya. Tetapi, garis besarnya jelas.

33
Secara masuk akal, kesamaan konsep dasar banyak agama dunia merupakan bukti yang kuat bahwa agama-agama tidak bermula sendiri-sendiri. Sebaliknya, apabila kita menelusurinya cukup jauh ke masa lampau, gagasan-gagasannya pasti berasal dari sumber yang sama. Apa gerangan sumber itu?

Zaman

Keemasan pada Masa Awal

34
Yang menarik, salah satu legenda yang terdapat dalam banyak agama adalah legenda yang menceritakan bahwa kehidupan manusia dimulai pada suatu zaman keemasan saat manusia tidak mempunyai kesalahan, hidup bahagia nan damai dalam hubungan yang akrab dengan Allah, dan bebas dari penyakit serta kematian. Walaupun perinciannya mungkin berbeda, konsep yang sama mengenai adanya firdaus yang sempurna di masa lampau terdapat dalam tulisan dan legenda banyak agama.

35
Avesta, kitab suci agama Zoroaster dari Persia kuno, berkisah tentang ”Yima yang tampan, gembala yang baik”, manusia pertama yang diajak berbicara oleh Ahura Mazda (sang pencipta). Ia diperintahkan oleh Ahura Mazda ”untuk memelihara, memerintah, dan menjaga duniaku”. Untuk itu, ia harus membangun ”sebuah Vara”, tempat tinggal bawah tanah bagi semua makhluk hidup. Di dalamnya, ”tidak ada kesombongan ataupun semangat yang jahat, kebodohan ataupun kekerasan, kemiskinan ataupun tipu daya, kelemahan ataupun cacat, gigi yang sangat besar ataupun tubuh yang ukurannya tidak normal. Penduduknya tidak dicemari oleh roh jahat. Mereka tinggal di antara pepohonan yang harum semerbak dan pilar-pilar emas; ini adalah yang terbesar, terbaik, dan terindah di atas bumi; mereka sendiri adalah ras berperawakan tinggi dan tampan”.

36
Di antara orang Yunani kuno, Hesiodus, dalam puisinya Works and Days berbicara mengenai Lima Zaman Manusia; zaman yang pertama adalah ”Zaman Keemasan” ketika manusia menikmati kebahagiaan sepenuhnya. Ia menulis,
”Dewa-dewi abadi, yang berjalan-jalan di taman surgawi,
Mula-mula membuat ras manusia emas.
Bak dewa mereka hidup, dengan jiwa yang bahagia, tanpa rasa khawatir,
Bebas dari kerja keras dan rasa sakit; usia tua yang celaka juga tidak menggerogoti mereka, tetapi seluruh kehidupan mereka dihabiskan
Dalam pesta pora, dan tubuh mereka tidak mengenal perubahan.”

Menurut mitos Yunani, zaman keemasan yang legendaris itu hilang ketika Epimeteus memperistri si cantik Pandora, pemberian dewa Zeus dari Olimpus. Pada suatu hari, Pandora membuka tutup vasnya yang besar, dan tiba-tiba dari dalamnya keluarlah kesulitan, kesengsaraan, dan penyakit yang tidak akan pernah dapat dielakkan oleh manusia.

37
Legenda-legenda Cina kuno juga menceritakan zaman keemasan pada masa Huangdi (Kaisar Kuning), yang konon telah memerintah selama seratus tahun pada abad ke-26 SM. Ia dianggap sebagai penemu segala sesuatu yang berkaitan dengan peradaban—pakaian dan penaungan, kendaraan, senjata dan peperangan, manajemen tanah, sistem kerja massal, pembudidayaan ulat sutera, musik, bahasa, matematika, penanggalan, dan sebagainya. Selama pemerintahannya, kata orang, ”tidak ada pencurian atau perkelahian di Cina, dan orang-orang hidup dengan rendah hati dan damai. Hujan dan cuaca yang tepat waktu menyebabkan panenan berlimpah tahun demi tahun. Yang paling menakjubkan, bahkan binatang buas tidak membunuh, dan burung-burung pemangsa tidak mencelakakan. Singkatnya, sejarah Cina berawal dengan suatu firdaus”. Sampai sekarang, orang Cina masih mengaku sebagai keturunan Kaisar Kuning.

38
Legenda-legenda yang serupa mengenai zaman kebahagiaan dan kesempurnaan pada awal sejarah manusia dapat ditemukan dalam agama-agama banyak bangsa lain—Mesir, Tibet, Peru, Meksiko, dan lain-lain. Apakah kebetulan saja bahwa semua bangsa ini, yang tinggal berjauhan dan yang budaya, bahasa, serta adat istiadatnya sama sekali berbeda, mempunyai gagasan yang sama mengenai asal usul mereka? Apakah kebetulan saja bahwa semuanya menjelaskan asal usul mereka dengan cara yang sama? Menurut akal sehat dan pengalaman, hal ini mustahil. Sebaliknya, dalam semua legenda ini, pasti ada unsur-unsur kebenaran yang sama tentang asal mula manusia dan agamanya.

39
Sebenarnya, ada banyak unsur serupa yang terlihat dalam semua legenda mengenai asal mula manusia. Jika kita menggabungkannya, gambaran yang lebih utuh mulai tampak. Gambaran itu adalah tentang diciptakannya pria serta wanita pertama oleh Allah dan ditempatkannya mereka dalam suatu firdaus. Pada mulanya, mereka sangat puas dan sangat bahagia, tetapi tidak lama kemudian mereka memberontak. Pemberontakan itu menyebabkan hilangnya firdaus yang sempurna, dan sebagai gantinya adalah kerja keras, rasa sakit, dan penderitaan. Akhirnya, manusia menjadi begitu jahat sampai-sampai Allah menghukum mereka dengan mendatangkan banjir besar yang menghancurkan semua orang, kecuali satu keluarga. Seraya keluarga ini berlipat ganda, beberapa dari keturunannya bersatu dan mulai membangun menara yang sangat besar untuk menentang Allah. Allah menggagalkan rencana itu dengan mengacaukan bahasa mereka dan mencerai-beraikan mereka ke ujung-ujung bumi.

40
Apakah gambaran utuh itu semata-mata adalah hasil imajinasi seseorang? Tidak. Pada dasarnya, itulah gambaran yang disajikan dalam Alkitab, di ke-11 pasal pertama buku Kejadian. Walaupun kita tidak akan membahas keautentikan Alkitab di sini, perlu diperhatikan bahwa kisah Alkitab mengenai sejarah awal manusia terlihat pada unsur-unsur utama dalam banyak legenda. Catatan Alkitab memperlihatkan bahwa ketika umat manusia mulai berpencar dari Mesopotamia, mereka membawa serta kenangan, pengalaman, dan gagasan mereka ke mana pun mereka pergi. Seraya waktu berlalu, apa yang mereka bawa itu ditambahi perincian lain, diubah, dan menjadi dasar bagi agama di setiap penjuru dunia. Dengan kata lain, jika kita kembali ke analogi tadi, kisah dalam buku Kejadian berisi gagasan dasar yang asli dan murni mengenai asal mula manusia dan asal mula ibadat dalam berbagai agama dunia. Gagasan dasar ini kemudian ditambahi doktrin-doktrin dan praktek-praktek tertentu, tetapi kaitannya dengan pangkal itu sangat jelas.

41
Dalam pasal-pasal berikut dari buku ini, kita akan membahas dengan lebih terperinci bagaimana agama-agama tertentu bermula dan berkembang. Maka, Anda akan dengan jelas melihat perbedaan setiap agama dan juga kesamaannya. Anda juga dapat melihat kecocokan setiap agama dengan urutan waktu dalam sejarah manusia dan sejarah agama, keterkaitan setiap kitab suci atau tulisan suci, pengaruh gagasan agama lain atas pendiri atau pemimpinnya, dan pengaruh setiap agama terhadap tingkah laku dan sejarah manusia. Dengan meneliti pencarian manusia yang panjang akan Allah sambil mengingat pokok-pokok ini, Anda akan melihat dengan lebih jelas kebenaran mengenai agama dan ajaran-ajaran agama.

1 komentar:

  1. gak disebut manusia pertama menurut Islam ? sebagai agama yang masih mempunyai kitab suci otentik? jujur sekalian dong terhadap ilmu biar kebenaran tampak. jangan takut insya Allah, Allah akan memberi hidayah kepada kita.

    BalasHapus