"

Rabu, 20 Februari 2013

Ketidak percayaan zaman modern--haruskah pencarian dilanjutkan

Pasal
14

Ketidakpercayaan
Zaman Modern—Haruskah Pencarian Dilanjutkan?
”Allah tidak penting lagi bagi umat manusia. Mereka semakin jarang memikirkan Dia dalam kehidupan sehari-hari atau dalam pengambilan keputusan. . . . Allah telah diganti dengan nilai-nilai lain: penghasilan dan produktivitas. Dia dulu mungkin dianggap sebagai pemberi makna semua kegiatan manusia, tetapi dewasa ini Dia sudah dibuang ke lubang rahasia dalam sejarah. . . . Allah telah lenyap dari kesadaran manusia.”—The Sources of Modern Atheism.

BELUM lama berselang, peranan Allah sangat penting dalam kehidupan orang-orang di dunia Barat. Agar dapat diterima dalam masyarakat, seseorang harus mengaku percaya akan Allah, walaupun belum tentu ia sungguh-sungguh menjalankan kepercayaannya. Ia tidak berani mengungkapkan keraguan atau ketidakpastian apa pun di hadapan umum karena hal itu akan mengagetkan dan mungkin bahkan dapat membuat dirinya dikecam.

2
Akan tetapi, keadaannya terbalik dewasa ini. Orang yang keyakinan keagamaannya kuat dianggap picik, dogmatis, bahkan fanatik. Di banyak negeri, kita menyaksikan semakin maraknya sikap masa bodoh, atau kurangnya minat, akan Allah dan agama. Kebanyakan orang tidak lagi mencari Allah karena mereka tidak percaya bahwa Ia ada atau tidak yakin mengenai hal itu. Bahkan, ada yang menggunakan istilah ”pasca-Kristen” untuk menggambarkan zaman kita. Maka, timbullah beberapa pertanyaan: Bagaimana sampai gagasan mengenai Allah tersisih sedemikian jauh dari kehidupan orang-orang? Kekuatan apa saja yang memicu perubahan ini? Adakah alasan yang kuat untuk melanjutkan pencarian akan Allah?

Imbas

Reformasi

3
Seperti kita lihat dalam Pasal 13, Reformasi Protestan pada abad ke-16 melahirkan perubahan penting dalam cara orang memandang wewenang, agama, ataupun hal-hal lain. Keberanian dan kebebasan mengemukakan pendapat menggantikan sikap mengalah dan ketundukan. Walaupun kebanyakan orang tidak beranjak dari sistem agama tradisional, ada yang menempuh jalur yang lebih radikal, mempertanyakan dogma dan ajaran dasar gereja-gereja yang sudah mapan. Orang lain lagi, yang mengamati peranan agama dalam peperangan, penderitaan, dan ketidakadilan sepanjang sejarah, menjadi benar-benar skeptis terhadap agama.

4
Pada tahun 1572 saja, ada laporan berjudul Discourse on the Present State of England yang menyatakan, ”Dunia dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu Katolik Roma, Ateis, dan Protestan. Ketiga-tiganya disukai: kelompok yang pertama dan kedua, karena jumlah pengikutnya banyak, kita tidak berani membangkitkan amarah mereka.” Di Paris, pada tahun 1623 diperkirakan ada 50.000 orang ateis, walaupun mungkin bukan ateis murni. Maka, jelaslah bahwa Reformasi, dalam upayanya menumbangkan dominasi kepausan, secara tidak sengaja memunculkan juga orang-orang yang menggugat pendirian agama-agama yang mapan. Sebagaimana dinyatakan oleh Will dan Ariel Durant dalam The Story of Civilization: Part VII—The Age of Reason Begins, ”Para cendekiawan Eropa—pelopor pemikiran Eropa—tidak lagi membicarakan wewenang paus; mereka memperdebatkan keberadaan Allah.”

Serangan

dari Ilmu Pengetahuan dan Filsafat

5
Selain perpecahan dalam Susunan Kristen itu sendiri, ada berbagai kekuatan lain yang memperlemah kedudukannya. Ilmu pengetahuan, filsafat, sekularisme, dan materialisme turut membangkitkan keraguan dan mengembangkan skeptisisme terhadap Allah dan agama.

6
Perkembangan sains membuat orang mempertanyakan banyak ajaran gereja yang didasarkan pada penafsiran yang salah atas ayat-ayat Alkitab. Sebagai contoh, temuan astronomis oleh orang-orang seperti Kopernikus dan Galileo, merupakan gugatan langsung terhadap doktrin geosentris gereja bahwa bumi adalah pusat alam semesta. Selain itu, pemahaman akan hukum alam menyebabkan orang tidak lagi menganggap bahwa fenomena yang sampai saat itu dianggap misterius, seperti guntur dan kilat atau bahkan munculnya bintang-bintang dan komet-komet tertentu, adalah perbuatan Allah. ”Mukjizat” dan ”campur tangan Allah” dalam urusan manusia juga disangsikan. Tiba-tiba, Allah dan agama tampak ketinggalan zaman di mata banyak orang, dan sejumlah orang yang merasa dirinya modern segera berpaling dari Allah dan menyembah berhala ilmu pengetahuan.

7
Tidak disangsikan, pukulan yang paling telak terhadap agama adalah teori evolusi. Pada tahun 1859, seorang ahli alam berkebangsaan Inggris, Charles Darwin (1809-82), menerbitkan bukunya Origin of Species dan secara langsung mempertanyakan ajaran Alkitab tentang penciptaan oleh Allah. Apa tanggapan gereja-gereja? Mula-mula, para pemimpin agama di Inggris dan di tempat lain mengecam teori itu. Akan tetapi, kecaman cepat mereda. Tampaknya, spekulasi-spekulasi Darwin justru merupakan dalih yang dicari-cari oleh banyak pemimpin agama yang diam-diam memiliki keraguan. Maka, pada masa hidup Darwin, ”pemimpin agama yang paling banyak berpikir dan pandai berbicara sampai pada kesimpulan bahwa evolusi cocok benar dengan pemahaman yang lebih modern tentang Alkitab”, kata The Encyclopedia of Religion. Bukannya membela Alkitab, Susunan Kristen malah menyerah kepada tekanan pandangan ilmiah dan mengikuti pendapat yang populer. Dengan berbuat demikian, Susunan Kristen melemahkan iman akan Allah.—2 Timotius 4:3, 4.

8
Semakin jauh memasuki abad ke-19, para kritikus agama semakin berani menyerang. Karena sudah tidak puas lagi dengan sekadar menunjukkan kegagalan gereja-gereja, mereka mulai mempertanyakan fondasi agama. Mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti: Apa gerangan Allah itu? Mengapa perlu ada Allah? Bagaimana kepercayaan akan Allah mempengaruhi masyarakat manusia? Orang-orang seperti Ludwig Feuerbach, Karl Marx, Sigmund Freud, dan Friedrich Nietzsche mengajukan argumen-argumen mereka dengan pendekatan filsafat, psikologi, dan sosiologi. Teori-teori seperti ’Allah hanyalah hasil imajinasi manusia’, ’Agama adalah candu masyarakat’, dan ’Allah sudah mati’ kedengaran begitu baru dan mengasyikkan dibandingkan dengan dogma dan tradisi gereja yang membosankan dan tak dapat dipahami. Tampaknya, banyak orang akhirnya menemukan cara yang jitu untuk menyalurkan keraguan dan kecurigaan yang selama ini terpendam. Dengan cepat dan senang hati mereka menerima gagasan-gagasan ini laksana injil kebenaran yang baru.

Kompromi

Besar

9
Ketika diserang dan disidik oleh sains dan filsafat, apa yang dilakukan oleh gereja-gereja? Bukannya mendukung ajaran Alkitab, mereka malah menyerah kepada tekanan dan berkompromi bahkan dalam pokok-pokok dasar iman seperti penciptaan oleh Allah dan keautentikan Alkitab. Akibatnya? Gereja-gereja Susunan Kristen mulai kehilangan kredibilitas, dan banyak orang mulai kehilangan iman. Ketidaksanggupan gereja untuk membela diri menyebabkan orang berbondong-bondong meninggalkannya. Bagi banyak orang, agama sekadar menjadi peninggalan sejarah, hanya untuk menandai saat-saat bersejarah dalam kehidupan seseorang—kelahiran, perkawinan, kematian. Banyak yang nyaris berhenti mencari Allah yang benar.

10
Mengingat semua hal ini, masuk akal jika kita bertanya: Apakah sains dan filsafat benar-benar telah membunuh kepercayaan akan Allah? Apakah ketidakberdayaan gereja berarti Alkitab pun, yang katanya mereka ajarkan, tidak berdaya? Haruskah pencarian akan Allah dilanjutkan? Mari kita periksa pokok ini sejenak.

Dasar

untuk Percaya kepada Allah

11
Konon, ada dua buku yang menjelaskan mengenai keberadaan Allah—”buku” ciptaan, atau alam sekitar, dan Alkitab. Keduanya telah menjadi dasar kepercayaan jutaan orang di masa lalu dan sekarang. Sebagai contoh, seorang raja dari abad ke-11 SM mengagumi apa yang ia amati di langit yang berbintang, lalu ia menyatakan secara puitis, ”Langit menyatakan kemuliaan Allah; dan angkasa menceritakan pekerjaan tangannya.” (Mazmur 19:1) Pada abad ke-20, seorang astronaut, yang menyaksikan pemandangan bumi yang menakjubkan dari pesawat antariksanya seraya pesawat tersebut mengelilingi bulan, tergerak untuk mengulangi kata-kata Alkitab, ”Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.”—Kejadian 1:1.

12
Akan tetapi, kedua buku ini diserang oleh mereka yang mengaku tidak percaya akan Allah. Mereka mengatakan bahwa penelitian ilmiah atas alam sekitar kita telah membuktikan bahwa kehidupan terbentuk bukan melalui penciptaan oleh pribadi yang cerdas melainkan secara kebetulan semata dan melalui proses evolusi yang acak. Jadi, mereka berargumentasi bahwa tidak ada Pencipta sehingga pertanyaan mengenai Allah sia-sia saja. Selain itu, banyak dari mereka percaya bahwa Alkitab sudah ketinggalan zaman dan tidak masuk akal, sehingga tidak layak dipercayai. Akibatnya, bagi mereka, tidak ada lagi dasar apa pun untuk percaya akan keberadaan Allah. Apakah semua ini benar? Apa yang diperlihatkan oleh fakta-fakta?

Secara

Kebetulan atau Dirancang?

13
Andaikan tidak ada Pencipta, kehidupan pasti dimulai secara spontan dan kebetulan. Agar kehidupan terbentuk, zat-zat kimia yang tepat harus bersatu dalam kadar yang tepat, entah bagaimana caranya, pada suhu serta tekanan udara yang tepat dan diatur oleh faktor-faktor lainnya, dan semuanya harus dipertahankan selama jangka waktu yang tepat. Selain itu, agar kehidupan dapat mulai dan terus berlangsung di bumi, berbagai peristiwa kebetulan ini harus diulang-ulang sampai ribuan kali. Akan tetapi, seberapa besar kemungkinan terjadinya bahkan satu peristiwa seperti ini?

14
Para penganut paham evolusi mengakui bahwa kemungkinan menyatunya atom-atom dan molekul-molekul yang tepat untuk membentuk satu molekul protein yang sederhana adalah 1 berbanding 10113 (1 dengan 113 nol). Angka tersebut lebih besar daripada perkiraan jumlah semua atom di alam semesta! Menurut para ahli matematika, segala sesuatu yang kemungkinan terjadinya lebih kecil daripada 1 berbanding 1050, jelas mustahil. Namun, agar terbentuk kehidupan tentu dibutuhkan jauh lebih banyak daripada hanya satu molekul protein yang sederhana. Satu sel saja membutuhkan sekitar 2.000 protein agar dapat tetap berfungsi, dan kemungkinan bahwa semuanya itu terjadi secara acak adalah 1 berbanding 1040.000! ”Seandainya pun seseorang, tanpa dipengaruhi oleh pendapat umum atau oleh pendidikan ilmiah, memiliki keyakinan bahwa kehidupan bermula [secara spontan] di Bumi, perhitungan sederhana ini meruntuhkan sama sekali keyakinan itu,” kata astronom Fred Hoyle.

15
Sebaliknya, dengan mempelajari dunia fisik, dari partikel-partikel subatom hingga galaksi-galaksi raksasa, para ilmuwan telah menemukan bahwa semua fenomena alam yang dikenal tampaknya mengikuti hukum-hukum dasar tertentu. Dengan kata lain, mereka telah menemukan adanya logika dan ketertiban dalam segala sesuatu yang terjadi di alam semesta, dan mereka dapat menuangkan logika dan ketertiban ini dalam bahasa matematika yang sederhana. ”Hanya segelintir ilmuwan yang tidak akan terkesan oleh hukum-hukum yang luar biasa sederhana dan bagus ini,” tulis seorang guru besar fisika, Paul Davies, dalam majalah New Scientist.

16
Akan tetapi, ada suatu fakta yang sangat menarik mengenai hukum-hukum ini, yaitu ada faktor-faktor tertentu dalam hukum-hukum itu yang nilainya sudah ditentukan dengan tepat agar alam semesta, yang kita kenal ini, terbentuk. Faktor-faktor dasar yang nilainya konstan atau tidak berubah tersebut antara lain adalah satuan muatan listrik pada proton, massa partikel-partikel dasar tertentu, dan konstanta gravitasi universal Newton, yang biasanya dilambangkan dengan huruf G. Mengenai hal ini, Profesor Davies melanjutkan, ”Bahkan pergeseran yang sangat kecil pada nilai beberapa faktor tadi akan secara drastis mengubah penampilan Alam Semesta. Sebagai contoh, Freeman Dyson memperlihatkan bahwa jika daya antarnukleon (proton dan neutron) lebih kuat beberapa persen saja, tidak akan ada hidrogen di Alam Semesta. Bintang seperti Matahari, apalagi air, tidak mungkin ada. Kehidupan, setidaknya seperti yang kita kenal, mustahil ada. Brandon Carter memperlihatkan bahwa perubahan-perubahan yang jauh lebih kecil dalam G akan mengubah semua bintang menjadi blue giant [raksasa biru] atau red dwarf [kurcaci merah], dengan akibat buruk yang sama bagi kehidupan.” Jadi, Davies menyimpulkan, ”Oleh karena itu, masuk akal bahwa hanya mungkin ada satu Alam Semesta. Jika memang demikian, benar-benar suatu gagasan yang luar biasa bahwa keberadaan kita sendiri sebagai makhluk yang memiliki kesadaran diri tak dapat dipungkiri adalah hasil logika.”—Cetak miring red.

17
Apa yang dapat kita simpulkan dari semua ini? Pertama-tama, jika alam semesta diatur oleh hukum-hukum, tentu harus ada pribadi pembuat hukum yang cerdas, yang merumuskan atau menetapkan hukum tersebut. Selain itu, karena hukum-hukum yang mengatur bekerjanya alam semesta tampaknya dibuat agar dapat membentuk kehidupan dan kondisi yang menunjang kehidupan, tentu ada tujuan di balik semua itu. Rancangan dan tujuan—ini bukan ciri-ciri peristiwa kebetulan; kedua hal ini justru menunjukkan bahwa ada Pencipta yang cerdas. Dan, itulah yang Alkitab tunjukkan ketika menyatakan, ”Apa yang dapat diketahui tentang Allah nyata di antara mereka, sebab Allah membuatnya nyata kepada mereka. Sebab sifat-sifatnya yang tidak kelihatan, yaitu kuasanya yang kekal dan Keilahiannya, jelas terlihat sejak penciptaan dunia, karena sifat-sifat tersebut dipahami melalui perkara-perkara yang diciptakan.”—Roma 1:19, 20; Yesaya 45:18; Yeremia 10:12.

Berlimpah

Bukti di Sekitar Kita

18
Memang, rancangan dan tujuan tidak hanya terlihat dalam ketertiban alam semesta tetapi juga dalam cara makhluk hidup, baik yang sederhana maupun yang rumit, melakukan kegiatan sehari-hari, serta dalam cara mereka berinteraksi dengan sesama dan dengan lingkungan. Sebagai contoh, hampir setiap bagian tubuh manusia—otak, mata, telinga, tangan—menunjukkan adanya rancangan yang begitu rumit yang tidak dapat sepenuhnya dijelaskan oleh sains modern. Selain itu, ada dunia flora dan fauna. Migrasi tahunan burung-burung tertentu yang melintas sejauh ribuan kilometer di atas daratan dan lautan, proses fotosintesis pada tanaman, dan perkembangan satu sel telur yang dibuahi menjadi organisme kompleks dengan jutaan sel yang memiliki fungsi-fungsi khusus barulah beberapa contoh yang merupakan bukti yang sangat jelas tentang perancangan oleh pribadi yang cerdas.

19
Akan tetapi, ada yang berargumentasi bahwa banyak hal luar biasa ini bisa dijelaskan melalui sains yang semakin berkembang. Memang, sampai taraf tertentu sains telah menyingkapkan banyak hal yang dulu merupakan misteri. Akan tetapi, fakta bahwa seorang anak bisa mengetahui cara kerja jam tidak membuktikan bahwa jam tersebut tidak dirancang dan dibuat oleh seseorang. Demikian pula, fakta bahwa kita bisa memahami betapa luar biasa cara kerja banyak hal dalam dunia fisik tidak membuktikan bahwa tidak ada perancang yang cerdas di balik semua itu. Sebaliknya, semakin banyak pengetahuan kita tentang alam sekitar, semakin banyak bukti yang kita miliki tentang adanya Pencipta yang cerdas, yaitu Allah. Jadi, dengan pikiran terbuka, kita dapat menyetujui pemazmur yang mengakui, ”Betapa banyak pekerjaanmu, oh, Yehuwa! Semuanya itu kaubuat dengan hikmat. Bumi penuh dengan hasil kerjamu.”—Mazmur 104:24.

Alkitab—Dapatkah

Anda Mempercayainya?

20
Akan tetapi, sekadar percaya bahwa Allah itu ada tidaklah cukup untuk menggerakkan orang mencari Dia. Dewasa ini, jutaan orang tidak sepenuhnya menolak keberadaan Allah, tetapi hal itu tidak menggerakkan mereka untuk mencari Allah. George Gallup, Jr., pengorganisasi jajak pendapat berkebangsaan Amerika menyatakan, ”Dalam hal menipu, menghindari pajak, dan mencuri, Anda tidak akan menemukan perbedaan besar antara orang yang pergi ke gereja dan yang tidak, khususnya karena ada banyak agama sosial.” Ia menambahkan, ”Banyak orang sekadar membuat agama sendiri yang nyaman dan menyenangkan serta tidak terlalu menyulitkan mereka. Ada orang yang menyebutnya agama à la carte [sesuai pesanan]. Itulah kelemahan utama Kekristenan di negeri kita [AS] dewasa ini: Tidak ada keyakinan yang teguh.”

21
”Kelemahan utama” itu sebagian besar diakibatkan oleh kurangnya pengetahuan dan iman akan Alkitab. Namun, adakah dasar untuk mempercayai Alkitab? Pertama-tama, patut diperhatikan bahwa selama berabad-abad, Alkitab dapat dikatakan sebagai buku yang paling banyak dikritik secara tidak adil, disalahgunakan, dibenci, dan diserang. Akan tetapi, Alkitab berhasil melewati semua itu dan terbukti sebagai buku yang paling banyak diterjemahkan dan diedarkan. Hal itu sendiri menjadikan Alkitab buku yang luar biasa. Namun, ada bukti yang melimpah serta meyakinkan bahwa Alkitab adalah buku yang diilhamkan Allah dan patut kita percayai.—Lihat kotak, halaman 340-1.

22
Walaupun banyak orang beranggapan bahwa Alkitab tidak ilmiah, isinya saling bertentangan, dan ketinggalan zaman, fakta-fakta memperlihatkan kebalikannya. Penulisannya yang unik, keakuratannya dalam hal sejarah dan sains, dan nubuat-nubuatnya yang tidak pernah meleset, semua menunjuk ke satu kesimpulan yang tidak bisa dipungkiri: Alkitab adalah Firman Allah yang terilham. Seperti yang rasul Paulus katakan, ”Segenap Tulisan Kudus diilhamkan Allah dan bermanfaat.”—2 Timotius 3:16.

Menghadapi

Ketidakpercayaan

23
Setelah membahas bukti dari buku ciptaan dan Alkitab, apa yang dapat kita simpulkan? Ringkasnya, buku-buku itu terbukti benar dari dulu sampai sekarang. Apabila kita mau melihat permasalahannya secara objektif dan tidak terpengaruh oleh gagasan-gagasan yang sudah terbentuk, kita mendapati bahwa bantahan apa pun dapat diatasi dengan cara yang masuk akal. Jawabannya tersedia, asalkan kita mau mencarinya. Yesus mengatakan, ”Teruslah cari, dan kamu akan menemukan.”—Matius 7:7; Kisah 17:11.

24
Pada akhirnya, kebanyakan orang menghentikan pencarian akan Allah bukan karena mereka sudah meneliti sendiri buktinya dengan cermat dan mendapati bahwa Alkitab tidak benar. Banyak dari mereka terpengaruh oleh kegagalan Susunan Kristen untuk memperkenalkan Allah yang benar dari Alkitab. Seperti dikatakan penulis berkebangsaan Prancis, P. Valadier, ”Tradisi Kristen-lah yang membuahkan ateisme; tradisi itulah yang menyebabkan dibunuhnya Allah dalam hati nurani orang-orang karena mereka diperkenalkan dengan Allah yang tidak dapat dipercaya.” Walaupun demikian, kita bisa merasa terhibur oleh kata-kata rasul Paulus, ”Maka, apa persoalannya? Jika ada yang tidak menyatakan iman, apakah ketiadaan iman mereka mungkin akan membuat kesetiaan Allah sia-sia? Jangan sekali-kali itu terjadi! Tetapi biarlah Allah didapati benar, meskipun setiap orang didapati pendusta.” (Roma 3:3, 4) Ya, ada alasan yang kuat untuk terus mencari Allah yang benar. Dalam dua pasal terakhir buku ini, kita akan melihat bagaimana pencarian telah mencapai akhir yang gemilang dan apa masa depan yang terbentang bagi umat manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar