"

Kamis, 14 Februari 2013

Yudaisme-Upaya mencari Allahmelalui kitab sucii dan tradisi.

Pasal
9

Yudaisme—Upaya
Mencari Allah melalui Kitab Suci dan Tradisi

MUSA, Yesus, Mahler, Marx, Freud, dan Einstein—apa kesamaan mereka? Semuanya adalah orang Yahudi, dan dengan berbagai cara mereka telah mempengaruhi sejarah serta kebudayaan manusia. Selama ribuan tahun, orang Yahudi memang memiliki peranan yang mencolok. Alkitab sendiri adalah buktinya.

2
Tidak seperti agama dan kebudayaan kuno lainnya, Yudaisme berakar pada sejarah, bukan pada mitos. Namun, mungkin ada yang bertanya: Orang Yahudi hanyalah minoritas kecil, kira-kira 14,5 juta di antara penduduk dunia yang berjumlah lebih dari 6 miliar orang, jadi untuk apa kita berminat pada agama mereka, Yudaisme?

Mengapa

Yudaisme Seharusnya Menarik Minat Kita?

3
Satu alasannya ialah karena akar agama Yahudi sudah ada kira-kira 4.000 tahun yang lalu dalam sejarah, dan agama-agama besar lainnya sedikit banyak berutang budi pada Kitab-kitabnya. (Lihat kotak, halaman 220.) Kekristenan, yang didirikan oleh Yesus (bahasa Ibrani, Ye·syu

a‛), seorang Yahudi abad pertama, berakar pada Kitab-Kitab Ibrani. Dan sebagaimana diperlihatkan dalam ayat-ayat Quran, Islam pun banyak berutang budi pada kitab-kitab itu. (Quran, surat 2:49-57; 32:23, 24) Jadi, apabila kita meneliti agama Yahudi, berarti kita juga meneliti akar dari ratusan agama dan sekte lainnya.

4
Alasan kedua yang sangat penting ialah karena agama Yahudi adalah mata rantai yang mutlak diperlukan dalam pencarian manusia akan Allah yang benar. Menurut Kitab-Kitab Ibrani, Abram, leluhur orang Yahudi, sudah menyembah Allah yang benar sejak hampir 4.000 tahun yang lalu. Maka, masuk akal jika kita bertanya: Bagaimana orang Yahudi dan kepercayaannya berkembang?—Kejadian 17:18.

Dari

Mana Orang Yahudi Berasal?

5
Secara umum, orang Yahudi adalah keturunan salah satu cabang ras Semitik kuno yang berbahasa Ibrani. (Kejadian 10:1, 21-32; 1 Tawarikh 1:17-28, 34; 2:1, 2) Hampir 4.000 tahun yang lalu, Abram, leluhur mereka, beremigrasi ke negeri Kanaan dari Ur, kota metropolitan orang Khaldea yang sangat makmur di Sumer. Tentang Kanaan, Allah telah mengatakan, ”Aku akan memberikan negeri ini kepada keturunanmu.” (Kejadian 11:31–12:7) Ia disebut sebagai ”Abram, orang Ibrani” di Kejadian 14:13, meskipun belakangan namanya diubah menjadi Abraham. (Kejadian 17:4-6) Dari Abraham-lah silsilah orang Yahudi bermula yang kemudian diteruskan melalui Ishak putranya serta Yakub cucunya, yang namanya diubah menjadi Israel. (Kejadian 32:27-29) Israel mempunyai 12 putra, yang menjadi leluhur 12 suku. Salah satunya adalah suku Yehuda, dan dari nama itulah kata ”Yahudi” berasal.—2 Raja 16:6, JP.

6
Belakangan, istilah ”Yahudi” digunakan untuk semua orang Israel, bukan keturunan Yehuda saja. (Ester 3:6; 9:20) Karena catatan silsilah orang Yahudi dimusnahkan pada tahun 70 M ketika orang Romawi menghancurkan Yerusalem, orang Yahudi dewasa ini tidak dapat dengan akurat menentukan dari suku mana dirinya berasal. Akan tetapi, selama ribuan tahun, agama Yahudi kuno telah berkembang dan berubah. Dewasa ini, Yudaisme dianut oleh jutaan orang Yahudi di Republik Israel dan orang Yahudi dari masyarakat Diaspora (yang tersebar di seluruh dunia). Apa dasar agama ini?

Musa,

Taurat, dan Suatu Bangsa

7
Pada tahun 1943 SM, Allah memilih Abram menjadi hamba-Nya yang istimewa dan belakangan dengan penuh kesungguhan bersumpah kepadanya karena terbukti setia sewaktu ia rela mempersembahkan Ishak anaknya sebagai korban, meskipun Ishak akhirnya tidak jadi dikorbankan. (Kejadian 12:1-3; 22:1-14) Dalam sumpah-Nya Allah berkata, ”Demi diri-Ku sendiri Aku bersumpah, TUHAN [bahasa Ibrani:

יהוה, YHWH] menyatakan: Karena engkau telah berbuat demikian dan tidak menahan putramu, yang engkau kasihi, Aku akan memberikan berkat-Ku kepadamu dan membuat keturunanmu sama banyaknya seperti bintang di langit . . . Semua bangsa di bumi akan memperoleh berkat melalui keturunanmu [”benih”, JP], karena engkau telah menaati perintah-Ku.” Sumpah ini diulangi kepada putra dan cucu Abraham, dan kemudian diteruskan kepada suku Yehuda dan garis keturunan Daud. Di dunia kuno kala itu, hanya orang Yahudi-lah yang memiliki konsep yang sepenuhnya monoteistis tentang satu pribadi Allah yang berhubungan langsung dengan manusia, dan konsep itu menjadi dasar agama Yahudi.—Kejadian 22:15-18; 26:3-5; 28:13-15; Mazmur 89:4, 5, 29, 30, 36, 37 (Mazmur 89:3, 4, 28, 29, 35, 36, NW).

8
Untuk melaksanakan janji-Nya kepada Abraham, Allah meletakkan fondasi bagi suatu bangsa melalui perjanjian khusus yang diadakan dengan keturunan Abraham. Perjanjian ini diadakan melalui Musa, pemimpin besar Ibrani dan perantara antara Allah dan Israel. Siapakah Musa, dan mengapa ia begitu penting bagi orang Yahudi? Catatan tentang Eksodus dalam Alkitab memberi tahu kita bahwa ia lahir di Mesir (1593 SM) dari orang tua berkebangsaan Israel yang ditawan dalam perbudakan bersama orang-orang Israel lainnya. Ia adalah orang ”yang TUHAN pilih” untuk membebaskan umat-Nya dan membimbing mereka ke Kanaan, Tanah Perjanjian. (Ulangan 6:23; 34:10) Musa memenuhi peranan penting sebagai perantara perjanjian Taurat (Hukum) yang Allah berikan kepada Israel, juga sebagai nabi, hakim, pemimpin, dan sejarawan.—Keluaran 2:1–3:22.

9
Taurat yang Israel terima terdiri atas Sepuluh Firman, atau Perintah, dan lebih dari 600 hukum yang merupakan daftar petunjuk dan bimbingan yang komprehensif untuk tingkah laku sehari-hari. (Lihat kotak, halaman 211.) Taurat itu mencakup tuntutan-tuntutan untuk kehidupan sehari-hari, secara jasmani serta moral, dan juga untuk hal-hal suci, yakni ibadat kepada Allah.

10
Perjanjian Taurat ini, atau undang-undang keagamaan, membentuk dan menjadi dasar iman para patriark. Hasilnya, keturunan Abraham menjadi bangsa yang dibaktikan untuk melayani Allah. Demikianlah agama Yahudi mulai memiliki bentuk yang jelas, dan orang Yahudi menjadi bangsa yang diorganisasi untuk menyembah dan melayani Allah mereka. Di Keluaran 19:5, 6, Allah berjanji kepada mereka, ”Jika kamu dengan setia menaati Aku dan berpegang pada perjanjian-Ku, . . . kamu akan menjadi kerajaan imam dan bangsa yang kudus bagi-Ku.” Jadi, bangsa Israel akan menjadi ’umat pilihan’ untuk melaksanakan maksud-tujuan Allah. Akan tetapi, penggenapan janji-janji tersebut bergantung pada syarat ’Jika kamu taat’. Bangsa yang dibaktikan itu kini bertanggung jawab kepada Allahnya. Karena itu, belakangan (abad kedelapan SM), Allah dapat berkata kepada orang Yahudi, ”Kamulah saksi-saksi-Ku—kata TUHAN [bahasa Ibrani:

יהוה, YHWH]—hamba-Ku, yang telah Kupilih.”—Yesaya 43:10, 12.

Bangsa

yang Mempunyai Imam, Nabi, dan Raja

11
Ketika bangsa Israel masih berada di padang gurun menuju Tanah Perjanjian, keimaman ditetapkan dalam garis keturunan Harun, kakak Musa. Bagi bangsa Israel, tabernakel (kemah besar yang portabel) menjadi pusat ibadat dan persembahan korban. (Keluaran, pasal 26-28) Pada waktunya, bangsa Israel tiba di Tanah Perjanjian itu, Kanaan, dan menaklukkannya, tepat seperti yang Allah perintahkan. (Yosua 1:2-6) Akhirnya, mereka mempunyai raja di bumi, dan pada tahun 1077 SM, Daud, dari suku Yehuda, menjadi raja. Selama pemerintahannya, kerajaan maupun keimaman diteguhkan di ibu kota yang baru, Yerusalem.—1 Samuel 8:7.

12
Setelah kematian Daud, Salomo putranya membangun bait yang megah di Yerusalem, yang menggantikan tabernakel. Karena Allah telah mengadakan perjanjian dengan Daud bahwa kerajaan itu akan dipegang oleh garis keturunannya selama-lamanya, Mesias, Raja yang diurapi, suatu saat akan datang dari garis keturunan Daud. Nubuat menyatakan bahwa melalui Raja Mesianik, atau ’benih’, inilah Israel dan semua bangsa akan menikmati pemerintahan yang sempurna. (Kejadian 22:18, JP) Harapan ini mulai berakar, dan agama Yahudi yang berpusat pada Mesias mulai terbentuk.—2 Samuel 7:8-16; Mazmur 72:1-20; Yesaya 11:1-10; Zakharia 9:9, 10.

13
Akan tetapi, orang Yahudi membiarkan diri dipengaruhi oleh agama palsu orang Kanaan dan bangsa-bangsa lain di sekitarnya. Akibatnya, mereka mengingkari hubungan perjanjian mereka dengan Allah. Untuk mengoreksi dan membimbing mereka supaya kembali, Yehuwa mengutus sederetan nabi sebagai penyampai berita. Maka, nubuat menjadi corak unik lain dalam agama Yahudi dan membentuk banyak bagian Kitab-Kitab Ibrani. Malah, 18 buku dalam Kitab-Kitab Ibrani menyandang nama para nabi.—Yesaya 1:4-17.

14
Beberapa nabi yang terkemuka ialah Yesaya, Yeremia, dan Yehezkiel. Ketiganya menyampaikan peringatan bahwa Yehuwa akan segera menghukum bangsa itu karena menyembah berhala. Karena kemurtadan Israel ini, hukuman dilaksanakan pada tahun 607 SM ketika Yehuwa membiarkan Babilon, kuasa dunia yang dominan pada waktu itu, merobohkan Yerusalem dan baitnya serta menawan bangsa itu. Nubuat para nabi itu terbukti benar, dan 70 tahun masa pembuangan Israel, hampir sepanjang abad keenam SM, menjadi catatan sejarah.—2 Tawarikh 36:20, 21; Yeremia 25:11, 12; Daniel 9:2.

15
Pada tahun 539 SM, Kores dari Persia menaklukkan Babilonia dan mengizinkan orang Yahudi menghuni kembali negeri mereka serta membangun bait di Yerusalem. Namun, hanya sedikit orang Yahudi yang menyambut kesempatan itu, karena sebagian besar dari mereka tetap tinggal di bawah pengaruh masyarakat Babilonia. Belakangan, orang Yahudi dipengaruhi oleh kebudayaan Persia. Akibatnya, permukiman Yahudi bermunculan di Timur Tengah dan di sekitar Laut Tengah. Di setiap komunitas, berkembanglah suatu bentuk ibadat baru yang dilakukan di sinagoga, tempat orang Yahudi berjemaat di tiap kota. Tentu saja, penyelenggaraan ini mengurangi arti penting bait yang telah dibangun kembali di Yerusalem. Orang Yahudi yang sudah tersebar luas benar-benar menjadi suatu masyarakat Diaspora.—Ezra 2:64, 65.

Yudaisme

Muncul dengan Jubah Yunani

16
Pada abad keempat SM, masyarakat Yahudi berada dalam keadaan yang tidak stabil sehingga diombang-ambingkan oleh gelombang kebudayaan non-Yahudi yang melanda daerah Laut Tengah dan sekitarnya. Banjir kebudayaan itu berasal dari Yunani, dan muncullah Yudaisme dengan penampilan barunya yang Helenistik (berbau Yunani).

17
Pada tahun 332 SM, jenderal Yunani Aleksander Agung dengan secepat kilat menaklukkan Timur Tengah dan disambut oleh orang Yahudi setibanya di Yerusalem. Para pengganti Aleksander meneruskan rencana Helenisasinya, sehingga seluruh wilayah imperium itu dipenuhi dengan bahasa, kebudayaan, dan filsafat Yunani. Akibatnya, kebudayaan Yunani dan Yahudi bercampur dengan hasil yang mengejutkan.

18
Orang Yahudi Diaspora tidak lagi menggunakan bahasa Ibrani tetapi bahasa Yunani. Jadi, menjelang permulaan abad ketiga SM, terjemahan pertama Kitab-Kitab Ibrani dalam bahasa Yunani, yang disebut Septuaginta, mulai dibuat sehingga banyak orang non-Yahudi mulai menghormati dan mengenal agama Yahudi, bahkan ada yang mulai menganutnya. Sebaliknya, orang Yahudi menjadi terbiasa dengan pemikiran Yunani dan bahkan ada yang menjadi filsuf, sesuatu yang sama sekali baru bagi orang Yahudi. Contohnya adalah Filo asal Aleksandria dari abad pertama M, yang berupaya menerangkan Yudaisme menurut filsafat Yunani, seolah-olah keduanya menyatakan kebenaran-kebenaran dasar yang sama.

19
Ketika meringkaskan masa pertukaran kebudayaan Yunani dan Yahudi ini, penulis Yahudi Max Dimont berkata, ”Diperkaya dengan pemikiran Plato, logika Aristoteles, dan ilmu pengetahuan Euklides, para pakar Yahudi mulai menelaah Taurat dengan alat-alat baru. . . . Kemudian, mereka menambahkan penalaran Yunani pada apa yang disingkapkan Allah kepada orang Yahudi.” Peristiwa-peristiwa yang akan terjadi di bawah pemerintahan Romawi, yang mengambil alih Imperium Yunani dan kemudian Yerusalem pada tahun 63 SM, membuka jalan bagi perubahan-perubahan yang bahkan lebih penting.

Yudaisme

di bawah Pemerintahan Romawi

20
Yudaisme selama abad pertama tarikh Masehi berada pada tahap yang unik. Max Dimont menyatakan bahwa Yudaisme berada di antara ”pemikiran Yunani dan pedang Roma”. Harapan orang Yahudi membubung karena tekanan politik dan penafsiran nubuat-nubuat tentang Mesias, terutama yang ada dalam buku Daniel. Agama Yahudi terbagi-bagi ke dalam banyak golongan. Kaum Farisi lebih menekankan hukum lisan (lihat kotak, halaman 221) daripada korban di bait. Kaum Saduki menekankan pentingnya bait dan keimaman. Selain itu, ada kaum Eseni, kaum Zealot, dan pengikut Herodes. Dari segi agama dan filsafat, semuanya berbeda. Para pemimpin Yahudi disebut rabi (guru), dan karena pengetahuan Taurat mereka, prestise mereka semakin melambung dan mereka pun menjadi suatu golongan baru pemimpin spiritual.

21
Akan tetapi, perpecahan di dalam dan di luar Yudaisme terus berlanjut, khususnya di negeri Israel. Akhirnya, pecahlah pemberontakan terbuka melawan Roma, dan pada tahun 70 M, tentara Romawi mengepung Yerusalem, memorak-porandakan kota, membakar habis baitnya, dan mencerai-beraikan penduduknya. Belakangan, Yerusalem resmi dinyatakan terlarang bagi orang Yahudi. Dengan tidak adanya bait, tidak adanya negeri, dan terpencarnya bangsa itu di seluruh Imperium Romawi, Yudaisme perlu menyesuaikan cara beribadat mereka agar dapat bertahan.

22
Dengan hancurnya bait, kaum Saduki pun lenyap, dan hukum lisan yang telah dijunjung oleh kaum Farisi kini menjadi bagian terpenting Yudaisme baru yang menonjolkan golongan rabi. Pemelajaran yang lebih giat, doa, dan amal saleh menggantikan korban-korban di bait dan ziarah. Jadi, Yudaisme dapat dipraktekkan di mana saja, kapan saja, dan di lingkungan kebudayaan mana saja. Para rabi menuliskan hukum lisan ini, serta membuat ulasannya, selanjutnya ulasan mengenai ulasan itu, yang kesemuanya dikenal sebagai Talmud.—Lihat kotak, halaman 220-1.

23
Apa dampak berbagai pengaruh ini? Max Dimont berkata dalam bukunya Jews, God and History bahwa meskipun orang Farisi membawa obor ideologi dan agama Yahudi, ”obor itu sendiri telah dinyalakan oleh para filsuf Yunani”. Walaupun kebanyakan isi Talmud berkaitan erat dengan hukum, perumpamaan dan ulasannya jelas-jelas mencerminkan pengaruh filsafat Yunani. Contohnya, konsep agama Yunani tentang jiwa yang tak berkematian dinyatakan dengan istilah-istilah Yahudi. Memang, pada zaman baru para Rabi itu, orang Yahudi semakin mengagungkan Talmud—yang pada waktu itu merupakan campuran antara filsafat hukum dan filsafat Yunani—sampai-sampai, pada Abad Pertengahan, mereka menyanjung Talmud lebih daripada Alkitab itu sendiri.

Yudaisme

selama Abad Pertengahan

24
Selama Abad Pertengahan (dari kira-kira tahun 500 sampai 1500 M), muncullah dua komunitas Yahudi yang menonjol—kaum Sefardi, yang berkembang di bawah pemerintahan Islam di Spanyol, dan kaum Askenazi di Eropa Tengah dan Timur. Kedua komunitas ini menghasilkan golongan Rabi terpelajar yang tulisan dan pemikirannya menjadi dasar penafsiran agama Yahudi sampai sekarang. Menarik bahwa banyak kebiasaan dan praktek keagamaan Yudaisme yang ada dewasa ini sebenarnya lahir selama Abad Pertengahan.—Lihat kotak, halaman 231.

25
Pada abad ke-12, mulailah gelombang pengusiran orang Yahudi dari berbagai negara. Seperti dijelaskan oleh penulis asal Israel Abba Eban dalam My People—The Story of the Jews, ”Di setiap negara . . . yang berada di bawah pengaruh unilateral Gereja Katolik, ceritanya sama: penghinaan yang mengerikan, siksaan, pembunuhan massal, dan pengusiran.” Akhirnya pada tahun 1492, Spanyol, yang sekali lagi berada di bawah pemerintahan Katolik, melakukan hal yang sama dan mengusir semua orang Yahudi dari wilayahnya. Maka pada akhir abad ke-15, orang Yahudi telah dipaksa keluar dari hampir seluruh Eropa Barat, sehingga melarikan diri ke Eropa Timur dan negeri-negeri di sekitar Laut Tengah.

26
Selama abad-abad penindasan dan penganiayaan itu, banyak orang yang mengaku Mesias muncul dari antara orang Yahudi di berbagai bagian dunia, dan semuanya sedikit banyak mendapat sambutan, meski berakhir dengan kekecewaan. Pada abad ke-17, langkah-langkah baru diperlukan untuk mengobarkan kembali semangat orang Yahudi dan menarik mereka keluar dari masa kegelapan ini. Pada pertengahan abad ke-18, muncullah suatu solusi bagi keputusasaan orang Yahudi. Ini adalah aliran Hasidim (lihat kotak, halaman 226), campuran antara mistisisme dan luapan emosi keagamaan yang dinyatakan dalam pengabdian dan kegiatan sehari-hari. Sebaliknya, pada waktu yang sama, filsuf Moses Mendelssohn, seorang Yahudi asal Jerman, menawarkan jalan keluar lain, yakni cara Haskala, atau pencerahan, yang mengarah pada apa yang dalam sejarah dianggap sebagai ”Yudaisme Modern”.

Dari

”Pencerahan” sampai Zionisme

27
Menurut Moses Mendelssohn (1729-86), orang Yahudi akan diterima asalkan mereka keluar dari kungkungan Talmud dan menyesuaikan diri dengan kebudayaan Barat. Pada zamannya, ia menjadi salah seorang Yahudi yang paling dihormati oleh kalangan non-Yahudi. Akan tetapi, ledakan kekerasan anti-Semitisme yang berulang pada abad ke-19, khususnya di Rusia yang ”Kristen”, membuat para pengikut gerakan ini kecewa, dan banyak yang selanjutnya memusatkan perhatian untuk mencari suaka politik bagi orang Yahudi. Mereka menolak gagasan tentang seorang Mesias yang akan memimpin orang Yahudi kembali ke Israel dan mulai berusaha mendirikan Negara Yahudi dengan cara lain. Ini kemudian menjadi konsep Zionisme, yang menurut sebuah sumber adalah ”sekularisasi . . . mesianisme Yahudi”.

28
Karena pembantaian massal (Holocaust) atas kira-kira enam juta orang Yahudi di Eropa oleh Nazi (1935-45), Zionisme mendapat banyak dukungan dan simpati dari seluruh dunia. Impian Zionisme menjadi kenyataan pada tahun 1948 dengan didirikannya Negara Israel, sehingga muncullah Yudaisme modern dan pertanyaan: Apa yang dipercayai oleh orang Yahudi modern?

Allah

Itu Esa

29
Secara sederhana, Yudaisme merupakan agama suatu bangsa. Karena itu, seorang penganut baru Yudaisme akan menjadi bagian dari bangsa Yahudi maupun agama Yahudi. Yudaisme adalah agama yang sepenuhnya monoteistis dan menganggap bahwa Allah campur tangan dalam sejarah manusia, khususnya yang berkaitan dengan orang Yahudi. Dalam ibadat Yahudi, ada beberapa perayaan tahunan dan berbagai kebiasaan. (Lihat kotak, halaman 230-1.) Meskipun tidak ada kredo atau dogma yang diterima oleh semua orang Yahudi, pengakuan keesaan Allah yang dinyatakan dalam Syema, yaitu doa berdasarkan Ulangan 6:4 (JP), menjadi bagian penting dalam ibadat di sinagoga, ”DENGARLAH, HAI ISRAEL: TUHAN ITU ALLAH KITA, TUHAN ITU ESA.”

30
Kepercayaan akan Allah yang esa ini diteruskan kepada Kekristenan dan Islam. Menurut Dr. J. H. Hertz, seorang rabi, ”Pernyataan luhur mengenai monoteisme yang mutlak ini adalah pernyataan perang melawan semua politeisme . . . Dengan cara yang sama, Syema menolak tritunggal dalam kredo Kristen karena dianggap sebagai pelanggaran atas Keesaan Allah.” Namun sekarang, mari kita arahkan perhatian pada kepercayaan Yahudi mengenai akhirat.

Kematian,

Jiwa, dan Kebangkitan

31
Salah satu kepercayaan dasar Yudaisme modern adalah bahwa manusia mempunyai jiwa yang tak berkematian yang terus hidup setelah tubuhnya mati. Tetapi, apakah kepercayaan ini berasal dari Alkitab? Encyclopaedia Judaica terus terang mengakui, ”Bisa jadi, doktrin jiwa yang tak berkematian memasuki Yudaisme karena pengaruh Yunani.” Akan tetapi, doktrin ini menciptakan dilema, sebab sumber yang sama menyatakan, ”Pada dasarnya, kepercayaan mengenai kebangkitan bertentangan dengan kepercayaan mengenai jiwa yang tak berkematian. Yang satu menunjuk pada kebangkitan kolektif pada akhir zaman, yaitu bahwa orang mati yang tidur di dalam tanah akan bangun dari kuburan, sedangkan yang lain menunjuk pada keadaan jiwa setelah tubuh mati.” Bagaimana dilema ini diatasi dalam teologi Yahudi? ”Ada anggapan bahwa ketika seseorang mati, jiwanya masih hidup di alam lain (sehingga muncullah semua kepercayaan yang berkaitan dengan surga dan neraka) sedangkan tubuhnya terbaring dalam kuburan menunggu kebangkitan jasmani semua orang mati di bumi ini.”

32
Seorang dosen bernama Arthur Hertzberg menulis, ”Dalam Alkitab [Ibrani] itu sendiri arena kehidupan manusia adalah dunia ini. Tidak ada doktrin mengenai surga dan neraka, yang ada hanyalah konsep yang berkembang mengenai kebangkitan orang mati yang akan terjadi pada akhir zaman.” Ini merupakan penjelasan yang sederhana dan saksama tentang konsep Alkitab, yaitu bahwa ”orang yang mati tak tahu apa-apa . . . Karena tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan, hikmat dalam Syeol [kuburan umum umat manusia], ke mana engkau akan pergi”.—Pengkhotbah 9:5, 10; Daniel 12:1, 2; Yesaya 26:19.

33
Menurut Encyclopaedia Judaica, ”Pada zaman para rabi, doktrin kebangkitan orang mati dianggap sebagai salah satu doktrin utama Yudaisme” dan ”harus dibedakan dari kepercayaan akan . . . jiwa yang tak berkematian.” Akan tetapi, dewasa ini, meski doktrin jiwa yang tak berkematian diterima oleh semua golongan Yudaisme, tidaklah demikian halnya dengan doktrin kebangkitan orang mati.

34
Berbeda dengan Alkitab, Talmud, yang dipengaruhi oleh Helenisme, sarat dengan penjelasan, cerita, bahkan gambaran mengenai jiwa yang tak berkematian. Belakangan, bacaan mistis Yahudi, Kabbala, bahkan berani mengajarkan reinkarnasi (perpindahan jiwa), yang pada dasarnya adalah ajaran Hindu kuno. (Lihat Pasal 5.) Di Israel dewasa ini, ajaran itu secara luas diterima sebagai ajaran Yahudi, dan juga memainkan peranan penting dalam kepercayaan dan kitab-kitab Hasidim. Sebagai contoh, dalam bukunya Tales of the Hasidim—The Later Masters, Martin Buber memasukkan sebuah cerita tentang jiwa menurut aliran Elimelekh, seorang rabi dari Lizhensk, ”Pada Hari Pendamaian, sewaktu Rabi Abraham Yehosyua mengucapkan Avodah, doa yang menceritakan dinas imam besar di Bait Yerusalem, dan tiba pada bagian, ’Dan demikianlah ia berkata,’ ia tidak akan sekali-kali mengucapkan kata-kata itu, tetapi mengucapkan, ’Dan demikianlah saya berkata.’ Karena ia tidak lupa saat jiwanya berada dalam tubuh seorang imam besar di Yerusalem.”

35
Yudaisme Reformasi bahkan tidak mau mempercayai kebangkitan. Golongan ini menyingkirkan kata kebangkitan dari buku-buku doa Reformasi, dan hanya mengakui kepercayaan tentang jiwa yang tak berkematian. Betapa jauh lebih jelas gagasan Alkitab yang dinyatakan di Kejadian 2:7, ”TUHAN Allah membentuk manusia dari debu tanah, dan mengembuskan ke dalam lubang hidungnya napas kehidupan; dan manusia menjadi jiwa yang hidup.” ( JP) Gabungan tubuh dan roh, atau daya hidup, menjadi ”jiwa yang hidup”. (Kejadian 2:7; 7:22; Mazmur 146:4) Sebaliknya, bila manusia yang berdosa mati, jiwa pun mati. (Yehezkiel 18:4, 20) Jadi, pada waktu manusia mati, ia tidak memiliki kesadaran lagi. Daya kehidupannya kembali kepada Allah yang memberikannya. (Pengkhotbah 3:19; 9:5, 10; 12:7) Harapan sejati yang dijanjikan Alkitab bagi orang mati adalah kebangkitan—bahasa Ibrani: tekhi·yath

ham·me·thim, atau ”orang mati hidup kembali”.

36
Walaupun kesimpulan ini mungkin mengejutkan bahkan bagi banyak orang Yahudi, kebangkitan merupakan harapan yang pasti bagi para penyembah Allah yang benar selama ribuan tahun. Kira-kira 3.500 tahun yang lalu, dalam penderitaannya, Ayub yang setia berbicara tentang masa depan ketika Allah akan membangkitkannya dari Syeol, atau kuburan. (Ayub 14:14, 15) Nabi Daniel juga diyakinkan bahwa ia akan dibangkitkan ”pada akhir masa itu”.—Daniel 12:2, 12 (13, JP; NW).

37
Tidak ada dasar Alkitab untuk mengatakan bahwa orang-orang Ibrani yang setia itu percaya mereka memiliki jiwa tak berkematian yang akan terus hidup di suatu alam baka. Mereka jelas memiliki cukup alasan untuk percaya bahwa Tuan yang Berdaulat, yang menghitung dan mengendalikan bintang-bintang di alam semesta, akan mengingat mereka juga pada saat kebangkitan. Mereka telah setia kepada Dia dan nama-Nya. Ia akan setia kepada mereka.—Mazmur 18:26 (25, NW); 147:4; Yesaya 25:7, 8; 40:25, 26.

Yudaisme

dan Nama Allah

38
Yudaisme mengajarkan bahwa walaupun nama Allah ada dalam bentuk tertulis, nama itu terlalu suci untuk diucapkan. Akibatnya, selama 2.000 tahun terakhir ini, pengucapannya yang tepat tidak diketahui lagi. Namun, orang Yahudi tidak selalu berpendirian demikian. Kira-kira 3.500 tahun yang lalu, Allah berbicara kepada Musa, demikian, ”Beginilah hendaknya kaukatakan kepada bangsa Israel: TUHAN (bahasa Ibrani:

יהוה, YHWH], Allah bapak-bapak leluhurmu, Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub, telah mengutus aku kepadamu: Inilah nama-Ku selama-lamanya, inilah sebutan-Ku kekal selama-lamanya.” (Keluaran 3:15; Mazmur 135:13) Apa nama dan sebutan itu? Catatan kaki dalam Tanakh menyatakan, ”Nama YHWH (secara turun-temurun dibaca Adonai ”TUHAN”) di sini dihubungkan dengan kata dasar hayah, yang artinya ’menjadi’.” Dengan demikian, inilah nama kudus Allah, Tetragramaton, empat konsonan Ibrani YHWH (Yahweh) yang bentuk Latinnya telah dikenal selama berabad-abad dalam bahasa Indonesia sebagai YEHUWA.

39
Sepanjang sejarah, orang Yahudi selalu menganggap penting nama pribadi Allah, meskipun penandasan untuk menggunakan nama itu telah berubah drastis dibandingkan dengan zaman dahulu. Sebagaimana dikatakan oleh Dr. A. Cohen dalam Everyman’s Talmud, ”Penghormatan istimewa diberikan kepada ’Nama khas’ (Syem Hameforas) Allah, yang telah Ia beri tahukan kepada orang Israel, yaitu tetragramaton, YHWH.” Nama Allah dihormati karena mewakili dan mencirikan pribadi Allah sendiri. Lagi pula, Allah sendirilah yang mengumumkan nama-Nya dan menyuruh para penyembah-Nya untuk menggunakannya. Ini ditandaskan dengan munculnya nama itu sebanyak 6.828 kali dalam Alkitab Ibrani. Akan tetapi, orang Yahudi yang saleh merasa bahwa tidaklah sopan untuk mengucapkan nama pribadi Allah.

40
Mengenai perintah para rabi zaman dahulu (yang tidak berdasarkan Alkitab) agar tidak mengucapkan nama itu, A. Marmorstein, seorang rabi, menulis dalam bukunya The Old Rabbinic Doctrine of God, ”Ada masanya ketika larangan [menggunakan nama Allah] ini sama sekali tidak dikenal oleh orang Yahudi . . . Baik di Mesir maupun di Babilonia, orang Yahudi tidak mengetahui ataupun menjalankan hukum yang melarangkan penggunaan nama Allah, Tetragramaton, dalam percakapan atau salam sehari-hari. Tetapi, dari abad ketiga SM sampai abad ketiga M, larangan tersebut mulai dikenal dan dipatuhi oleh sebagian orang.” Penggunaan nama itu tidak saja diizinkan pada masa-masa permulaan tetapi, seperti dikatakan oleh Dr. Cohen, ”Ada masanya ketika orang awam sekalipun dianjurkan untuk menggunakan Nama itu secara bebas dan terbuka . . . Terdapat petunjuk bahwa anjuran itu didasarkan atas keinginan untuk membedakan orang Israel dari orang [non-Yahudi].”

41
Jadi, apa yang menyebabkan timbulnya larangan untuk menggunakan nama Allah? Dr. Marmorstein menjawab, ”Tentangan Helenistik [pengaruh Yunani] terhadap agama Yahudi dan kemurtadan para imam serta bangsawan menghasilkan dan mengukuhkan aturan untuk tidak mengucapkan Tetragramaton di Tempat Suci [bait di Yerusalem].” Karena terlalu bersemangat untuk tidak menyebut nama Allah dengan sia-sia, mereka akhirnya sama sekali tidak menggunakannya dalam percakapan sehingga merusak serta mengaburkan identitas Allah yang benar. Di bawah tekanan gabungan berupa tentangan agama dan kemurtadan, nama Allah tidak digunakan lagi oleh orang Yahudi.

42
Akan tetapi, sebagaimana dikatakan Dr. Cohen, ”Pada zaman Alkitab, orang tampaknya tidak ragu-ragu menggunakan [nama Allah] dalam percakapan sehari-hari.” Abraham sang patriark ”memanggil nama TUHAN”. (Kejadian 12:8) Kebanyakan penulis Alkitab Ibrani dengan leluasa tetapi penuh respek menggunakan nama itu sampai ditulisnya buku Maleakhi pada abad kelima SM.—Rut 1:8, 9, 17.

43
Jelas sekali bahwa orang Ibrani zaman dahulu menggunakan dan mengucapkan nama Allah. Mengenai perubahan yang kemudian terjadi, Marmorstein mengakui, ”Pada masa itu, yakni pada paruh pertama abad ketiga [SM], perubahan besar dalam penggunaan nama Allah nyata terlihat, yang menghasilkan banyak perubahan dalam pengetahuan teologi serta filsafat Yahudi, yang pengaruhnya masih dirasakan sampai hari ini.” Salah satu dampak hilangnya nama itu adalah bahwa konsep Allah tanpa nama telah turut menciptakan kekosongan teologis sehingga doktrin Tritunggal Susunan Kristen lebih mudah berkembang.—Keluaran 15:1-3.

44
Tidak digunakannya nama Allah melemahkan ibadat kepada Allah yang benar. Sebagaimana dikatakan oleh seorang komentator, ”Sangat disayangkan, apabila Allah disebut sebagai ’Tuhan’, meskipun memang tepat, ungkapan ini dingin dan hambar . . . Perlu diingat bahwa dengan menerjemahkan YHWH atau Adonai sebagai ’Tuhan’, banyak bagian Perjanjian Lama akan bernada umum, formal, dan tidak akrab, yang jauh berbeda dengan teks aslinya.” (The Knowledge of God in Ancient Israel) Betapa menyedihkan melihat nama Yahweh, atau Yehuwa, yang agung dan penuh arti itu hilang dari banyak terjemahan Alkitab meski sebenarnya nama itu muncul ribuan kali dalam teks Ibrani asli!—Yesaya 43:10-12.

Apakah

Orang Yahudi Masih Menantikan Mesias?

45
Sejak lebih dari 2.000 tahun yang lalu, orang Yahudi mengharapkan Mesias berdasarkan banyak nubuat dalam Kitab-Kitab Ibrani. Dua Samuel 7:11-16 menunjukkan bahwa Mesias akan muncul dari garis keturunan Daud. Yesaya 11:1-10 menubuatkan bahwa ia akan mendatangkan keadilan dan perdamaian untuk umat manusia. Daniel 9:24-27 memberikan kronologi mengenai saatnya Mesias akan muncul dan dibunuh.

46
Sebagaimana dijelaskan oleh Encyclopaedia Judaica, Mesias sangat dinanti-nantikan pada abad pertama. Mereka menantikan Mesias sebagai ”keturunan Daud yang berkarisma yang menurut keyakinan orang Yahudi zaman Romawi akan dibangkitkan oleh Allah untuk mematahkan kuk kafir dan memerintah atas kerajaan Israel yang dipulihkan”. Akan tetapi, Mesias yang penuh semangat tempur sebagaimana dinantikan orang Yahudi itu tak kunjung datang.

47
Meskipun demikian, harapan akan Mesias ini penting untuk mempersatukan bangsa Yahudi melewati banyak cobaan berat, seperti dinyatakan oleh The New Encyclopædia Britannica, ”Tidak diragukan, Yudaisme dapat bertahan, terutama sekali, karena keteguhan imannya pada janji dan masa depan yang berkaitan dengan mesias.” Namun, dengan munculnya Yudaisme modern antara abad ke-18 dan ke-19, banyak orang Yahudi tidak lagi menantikan Mesias secara pasif. Akhirnya, dengan terjadinya Pembantaian Massal (Holocaust) oleh Nazi, banyak orang Yahudi kehilangan kesabaran dan harapan mereka. Mereka mulai memandang berita tentang Mesias sebagai sumber masalah sehingga mereka mulai menafsir ulang berita tersebut semata-mata sebagai suatu zaman baru penuh kemakmuran dan perdamaian. Sejak saat itu, meskipun ada perkecualian, dapat dikatakan bahwa orang Yahudi pada umumnya tidak menantikan suatu pribadi Mesias.

48
Berubahnya Yudaisme menjadi agama yang tidak mempercayai Mesias menimbulkan pertanyaan yang serius. Apakah dengan mempercayai Mesias sebagai suatu pribadi, Yudaisme telah keliru selama ribuan tahun? Bentuk Yudaisme manakah yang akan membantu seseorang mencari Allah? Apakah Yudaisme kuno dengan berbagai atribut filsafat Yunaninya? Atau, salah satu bentuk Yudaisme yang tidak lagi mempercayai Mesias, yang berkembang selama 200 tahun terakhir ini? Atau masih adakah jalur lain yang dengan setia dan benar mempertahankan harapan akan Mesias?

49
Sambil mengingat pertanyaan-pertanyaan ini, kami menyarankan agar orang Yahudi yang tulus memeriksa kembali pokok mengenai Mesias dengan menyelidiki pernyataan-pernyataan tentang Yesus dari Nazaret, bukan seperti yang digambarkan oleh Susunan Kristen, melainkan seperti yang digambarkan oleh orang-orang Yahudi yang menulis Kitab-Kitab Yunani. Ada perbedaan besar di antara keduanya. Agama-agama Susunan Kristen telah ikut menyebabkan orang Yahudi menolak Yesus melalui doktrin Tritunggal mereka yang tidak berdasarkan Alkitab, yang tentu tidak dapat diterima oleh setiap orang Yahudi yang sangat menghargai ajaran murni bahwa ”TUHAN ITU ALLAH KITA, TUHAN ITU ESA”. (Ulangan 6:4, JP) Karena itu, kami mengundang Anda untuk membaca pasal berikut dengan pikiran terbuka agar dapat mengenal Yesus yang disebutkan dalam Kitab-Kitab Yunani.
[Catatan
Kaki]
Bandingkan Kejadian 5:22-24, New World Translation of the Holy Scriptures—With References, catatan kaki kedua untuk ayat 22.
Semua kutipan dalam pasal ini, kecuali disebutkan lain, diterjemahkan dari Tanakh, A New Translation of the Holy Scriptures modern (1985) karya para pakar dari Jewish Publication Society.
Kronologi yang disajikan di sini didasarkan atas teks Alkitab sebagai sumbernya. (Lihat buku ”Segenap Alkitab Diilhamkan Allah dan Bermanfaat”, yang diterbitkan oleh Saksi-Saksi Yehuwa, Pelajaran 3, ”Menetapkan Tanggal Peristiwa-Peristiwa dalam Arus Waktu”.)
Sejarawan Yahudi abad pertama Yusuf ben Matityahu (Flavius Yosefus) menceritakan bahwa setibanya Aleksander di Yerusalem, orang Yahudi membukakan gerbang baginya dan memperlihatkan kepadanya nubuat dari buku Daniel yang ditulis lebih dari 200 tahun sebelumnya yang secara jelas menggambarkan penaklukan oleh Aleksander sebagai ’Raja Yunani’.—Jewish Antiquities, Buku XI, Pasal VIII 5; Daniel 8:5-8, 21.
Selama zaman Makabe (kaum Hasmon, dari tahun 165 sampai 63 SM), para pemimpin Yahudi seperti Yohanes Hirkanus bahkan melakukan pemaksaan besar-besaran terhadap orang-orang yang ia taklukkan untuk menganut Yudaisme. Menarik bahwa pada permulaan tarikh Masehi, 10 persen daerah Laut Tengah beragama Yahudi. Angka tersebut jelas memperlihatkan pengaruh proselitisme Yahudi.
Menurut The New Encyclopædia Britannica, ”Kredo tritunggal dalam Kekristenan . . . memisahkannya dari dua agama klasik monoteistis lainnya [Yudaisme dan Islam].” Tritunggal dikembangkan oleh gereja sekalipun ”dalam Alkitab orang Kristen, tidak ada pernyataan yang secara spesifik menyebutkan bahwa Allah itu tritunggal”.
Selain terdapat dalam Alkitab, doktrin kebangkitan diajarkan sebagai sesuatu yang harus dipercayai dalam Misnah (Sanhedrin 10:1) dan dicantumkan sebagai dalil terakhir dari 13 dalil iman Maimonides. Sampai abad ke-20, menyangkal kebangkitan dipandang sebagai bidah.
”Alkitab tidak mengatakan bahwa kita mempunyai jiwa. ’Nefes’ adalah orang itu sendiri, kebutuhannya untuk makan, darah dalam pembuluhnya, dirinya.”—Dr. H. M. Orlinsky dari Hebrew Union College.
Lihat Keluaran 6:3 dalam terjemahan Alkitab Tanakh, yang mencantumkan Tetragramaton Ibrani dalam teks Inggris.
Encyclopaedia
Judaica berkata, ”Pengucapan nama YHWH dihindari . . . karena Perintah Ketiga (Kel. 20:7; Ul. 5:11) disalahartikan menjadi ’Jangan menyebut nama YHWH Allahmu dengan sia-sia’, padahal sebenarnya berarti ’Jangan bersumpah palsu demi nama YHWH Allahmu’.”
George Howard, lektor kepala madya bidang agama dan bahasa Ibrani di University of Georgia, menyatakan, ”Seraya waktu berlalu, kedua pribadi ini [Allah dan Kristus] semakin dipersatukan sampai-sampai sering kali mustahil untuk membedakan mereka. Maka, disingkirkannya Tetragramaton mungkin menjadi faktor penting yang memicu perdebatan yang terjadi belakangan mengenai Kristologi dan Tritunggal yang merongrong gereja pada abad-abad permulaan. Bagaimanapun, disingkirkannya Tetragramaton mungkin telah menciptakan iklim teologis yang berbeda dengan iklim yang ada pada masa Perjanjian Baru di abad pertama.”—Biblical Archaeology Review, Maret 1978.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar