"

Kamis, 14 Februari 2013

Budhisme---Pencarian akan pencerahan tanpa Allah.

Pasal
6

Buddhisme—Pencarian
akan Pencerahan tanpa Allah

BUDDHISME, yang hampir tidak dikenal di luar Asia pada awal abad ke-20, sekarang dianggap sebagai agama dunia. Bahkan, banyak orang di negeri-negeri Barat tidak menduga bahwa agama tersebut bisa tumbuh subur di lingkungan mereka. Hal ini terutama disebabkan oleh gelombang pengungsi internasional. Banyak orang Asia menetap di Eropa Barat, Amerika Utara, Australia, dan tempat-tempat lain. Seraya makin banyak imigran bermukim di negeri yang baru, mereka membawa serta agama mereka. Dengan sendirinya, semakin banyak orang di negeri-negeri Barat berkenalan dengan Buddhisme. Hal tersebut, ditambah dengan sikap serba boleh dan kemunduran rohani dalam gereja-gereja tradisional, menyebabkan sejumlah orang berpindah ke agama yang ”baru” ini.—2 Timotius 3:1, 5.

2
Hasilnya, menurut The World Almanac and Book of Facts 2001, Buddhisme mengaku mempunyai kira-kira 356 juta penganut di seluruh dunia, sekitar 1,5 juta di Eropa, 2,6 juta di Amerika Utara, dan 635.000 di Amerika Latin. Akan tetapi, sebagian besar pengikut Buddhisme tetaplah terdapat di negeri-negeri Asia, seperti Sri Lanka, Myanmar, Thailand, Jepang, Korea, dan Cina. Sebenarnya, siapakah Buddha? Bagaimana Buddhisme terbentuk? Apa ajaran dan tata cara ibadat Buddhisme?

Masalah

Sumber yang Tepercaya

3
”Apa yang diketahui tentang kehidupan Buddha terutama didasarkan pada teks-teks kanonis; yang paling banyak dan lengkap di antaranya adalah yang ditulis dalam bahasa Pali, sebuah bahasa India kuno,” kata buku World Religions—From Ancient History to the Present. Dengan kata lain, sebenarnya tidak ada keterangan yang berasal dari zaman Siddharta Gautama sendiri, pendiri Buddhisme, yang hidup di India bagian utara pada abad keenam SM. Hal ini tentu menimbulkan masalah. Namun, masalah yang lebih serius adalah bilamana dan bagaimana ”teks-teks kanonis” itu dibuat.

4
Menurut ajaran turun-temurun Buddhis, tidak lama setelah kematian Gautama suatu dewan yang terdiri dari 500 biarawan bersidang untuk memutuskan apa sebenarnya ajaran asli sang Guru. Entah persidangan seperti itu pernah ada atau tidak sering diperdebatkan di kalangan para cendekiawan dan sejarawan Buddhis. Namun, pokok penting yang patut diperhatikan adalah teks-teks Buddhis pun mengakui bahwa ajaran asli yang disepakati itu tidak dicatat tetapi dihafalkan oleh murid-muridnya. Teks-teks suci baru ditulis lama setelah itu.

5
Menurut buku-buku sejarah Sri Lanka dari abad keempat dan keenam M, ”teks-teks kanonis” berbahasa Pali yang tertua ini ditulis selama pemerintahan Raja Vatagamani Abhaya pada abad pertama SM. Kisah tertulis lain tentang kehidupan Buddha baru ada sekitar abad pertama atau bahkan abad kelima M, hampir seribu tahun setelah masa hidupnya.

6
Maka, menurut Abingdon Dictionary of Living Religions, ”’Riwayat hidupnya’, dibuat jauh setelah masa hidupnya dan penuh dengan legenda serta mitos, sedangkan teks-teks kanonis yang tertua didasarkan atas cerita dari mulut ke mulut dalam kurun waktu yang panjang dan tampaknya sudah direvisi di sana sini serta banyak ditambahi.” Bahkan, seorang pakar ”berpendapat bahwa tidak ada satu kata pun dari ajaran yang tertulis itu yang dapat dipastikan berasal dari Gautama sendiri”. Apakah kritik ini beralasan?

Pembuahan

dan Kelahiran sang Buddha

7
Pertimbangkan kutipan berikut dari Jataka, bagian dari kanon Pali, dan dari Buddha-charita, sebuah teks Sanskerta abad kedua M tentang kehidupan Buddha. Pertama, kisah tentang bagaimana ibunya, Ratu Maha-Maya, sampai mengandung dia dalam suatu mimpi.
”Keempat malaikat pelindung datang dan mengangkat [sang Ratu], beserta pembaringannya, dan membawanya ke Pegunungan Himalaya. . . . Kemudian, datanglah istri-istri para malaikat pelindung ini, dan mengantarnya ke Danau Anotata, serta memandikannya, untuk membersihkan segala noda insani. . . . Tidak jauh dari situ terdapat Bukit Perak, dan di atasnya ada sebuah rumah mewah dari emas. Di sana mereka menyiapkan sebuah pembaringan dewi dengan bagian kepalanya menghadap ke timur, lalu membaringkan [sang Ratu] di atasnya. Sementara itu, calon Buddha telah menjadi seekor gajah putih yang sangat gagah . . . Ia [calon Buddha] mendaki Bukit Perak, dan . . . tiga kali ia berjalan mengelilingi pembaringan ibunya, dengan sisi kanan tubuhnya mengarah ke pembaringan itu, dan setelah memukul sisi kanan tubuh ibunya, ia tampaknya memasuki rahim ibunya. Demikianlah terjadinya pembuahan itu pada perayaan pertengahan musim panas.”

8
Ketika ratu menceritakan mimpi tersebut kepada suaminya, sang raja kemudian memanggil 64 pendeta Hindu yang terkemuka, dan setelah menjamu serta mendandani mereka, ia menanyakan tafsiran mimpi itu. Inilah jawaban mereka:
”Jangan cemas, baginda raja! . . . Baginda akan mendapat seorang putra. Dan, seandainya ia terus menempuh kehidupan berumah tangga, ia akan menjadi raja jagat raya; tetapi jika ia berhenti berumah tangga dan mengundurkan diri dari dunia, ia akan menjadi seorang Buddha, dan menggulung awan dosa serta kebodohan dunia ini.”

9
Sesudah itu konon terjadi 32 mukjizat:
”Kesepuluh ribu dunia tiba-tiba bergoyang, bergetar, dan berguncang. . . . Api padam di semua neraka; . . . penyakit hilang dari antara manusia; . . . semua alat musik mengalunkan nadanya tanpa dimainkan; . . . di samudra raya, air menjadi manis; . . . kesepuluh ribu dunia menjadi sekumpulan rangkaian bunga yang luar biasa indah.”

10
Kemudian, tibalah saat kelahiran Buddha secara tidak lazim di Taman Lumbini yang ditumbuhi pohon sal. Ketika sang ratu hendak memegang salah satu cabang pohon sal yang tertinggi di taman itu, pohon tersebut dengan baik hati melengkungkan diri sampai dapat teraih. Sambil berdiri dan terus memegangi cabang itu, sang ratu melahirkan.
”Ia keluar dari rahim ibunya bak seorang pengkhotbah turun dari mimbar, atau seorang pria menuruni tangga, sambil menjulurkan kedua tangan dan kakinya, tak ternoda oleh segala kecemaran dari rahim ibunya. . . . ”
”Segera setelah ia lahir, [calon Buddha] dengan kukuh menjejakkan kedua kakinya di tanah, berjalan tujuh langkah ke arah utara, bertudung putih, dan mengamat-amati setiap penjuru dunia, sambil berseru dengan suara yang dahsyat: Di segenap dunia akulah kepala, yang terbaik dan yang terkemuka; inilah kelahiranku yang terakhir kali; aku tidak akan dilahirkan lagi.”

11
Ada juga kisah-kisah yang sama rumitnya tentang masa kanak-kanaknya, perjumpaannya dengan gadis-gadis pengagumnya, pengembaraannya, dan tentang segala kejadian dalam hidupnya. Tidaklah mengherankan jika mungkin kebanyakan pakar menganggap semua kisah ini sebagai legenda dan mitos. Seorang staf British Museum bahkan berpendapat bahwa karena ”banyaknya legenda dan keajaiban, . . . riwayat hidup Buddha yang sebenarnya mustahil diketahui lagi”.

12
Walaupun ada mitos-mitos tersebut, terdapat sebuah kisah turun-temurun yang sangat umum tentang kehidupan Buddha. Sebuah teks modern, A Manual of Buddhism, yang diterbitkan di Kolombo, Sri Lanka, memuat kisah yang disederhanakan berikut ini.
”Pada suatu hari bulan purnama di bulan Mei tahun 623 SM, lahirlah di distrik Nepal seorang pangeran India dari suku Sakya bernama Sidhatha Gotama. Ayahandanya adalah Raja Sudhodana, dan ibundanya, Ratu Maha Maya. Sang ibu meninggal beberapa hari setelah sang anak lahir, lalu Maha Pajapati Gotami menjadi ibu angkatnya.
”Pada umur enam belas tahun, ia menikahi sepupunya, si jelita Putri Yasodhara.
”Selama hampir tiga belas tahun usia perkawinannya yang bahagia, ia hidup mewah, sama sekali tidak tahu-menahu tentang penderitaan di luar gerbang istana.
”Seraya waktu berlalu, kebenaran perlahan-lahan meneranginya. Ketika ia berumur 29 tahun, yang merupakan titik balik dalam kariernya, lahirlah putranya, Rahula. Ia menganggap putranya sebagai penghalang, sebab ia menyadari bahwa semua orang tanpa terkecuali harus mengalami kelahiran, penyakit, dan kematian. Setelah memahami bahwa duka ada di mana-mana, ia memutuskan untuk mencari obat mujarab bagi penyakit umat manusia tersebut.
”Maka, ia meninggalkan kenikmatan di istananya, ia pergi dari rumah pada suatu malam . . . mencukur rambutnya, mengenakan pakaian sederhana seorang petapa, dan mengembara sebagai Pencari Kebenaran.”

13
Jelaslah, kisah hidup yang ringkas ini sangat berbeda dengan kisah fantastis yang terdapat dalam ”teks-teks kanonis”. Dan, kecuali tahun kelahirannya, kisah ini diakui oleh umum.

Pencerahan—Bagaimana

Terjadinya

14
Apa yang menjadi ”titik balik dalam kariernya” seperti disebutkan sebelumnya? Titik baliknya adalah ketika untuk pertama kali dalam hidupnya, ia melihat orang sakit, orang tua, dan orang mati. Pengalaman ini membuat hatinya tersiksa karena memikirkan arti kehidupan—Mengapa manusia dilahirkan jika akhirnya hanya menderita, menjadi tua, dan mati? Konon, ia kemudian melihat orang suci, yang telah meninggalkan dunia guna mencari kebenaran. Hal ini mendorong Gautama untuk meninggalkan keluarga, harta benda, serta kepangeranannya dan menghabiskan enam tahun berikutnya untuk mencari jawaban dari para begawan dan guru Hindu, tetapi tanpa hasil. Kisah itu mengatakan bahwa ia terus bermeditasi, berpuasa, beryoga, dan menyangkal diri secara ekstrem, namun ia tidak kunjung menemukan ketenteraman rohani atau pencerahan.

15
Akhirnya, Gautama sadar bahwa penyangkalan diri ekstrem yang ia tempuh sama sia-sianya dengan kehidupan pemuasan diri yang dulu dijalaninya. Ia sekarang menempuh haluan yang disebutnya Jalan Tengah, tidak lagi menempuh dua jalan hidup ekstrem sebelumnya. Setelah yakin bahwa jawabannya terdapat dalam kesadarannya sendiri, ia duduk bermeditasi di bawah sebuah pohon pipal, atau pohon ara India. Sambil melawan serangan maupun godaan Mara si iblis, ia terus bermeditasi selama empat minggu (ada yang mengatakan tujuh minggu) sampai ia konon sudah sangat menguasai semua pengetahuan serta pengertian dan mencapai pencerahan.

16
Menurut peristilahan Buddhis, melalui proses inilah Gautama menjadi Buddha—Yang Telah Sadar, atau Yang Telah Mencapai Pencerahan. Ia telah mencapai tujuan akhir, Nirwana, yakni ketenteraman dan pencerahan yang sempurna, bebas dari nafsu dan penderitaan. Ia kemudian juga dikenal sebagai Sakyamuni (begawan dari suku Sakya), dan ia sering menyebut dirinya sebagai Tathagata (orang yang datang [untuk mengajar]). Namun, berbagai sekte Buddhis memiliki berbagai pendapat tentang pokok ini. Ada yang menganggap dia semata-mata sebagai manusia yang telah menemukan jalan menuju pencerahan bagi dirinya lalu mengajarkannya kepada para pengikutnya. Ada juga yang menganggapnya sebagai yang terakhir dari serangkaian Buddha yang datang ke dunia untuk memberitakan atau menghidupkan kembali dharma (bahasa Pali, Dhamma), yaitu ajaran atau jalan Buddha. Yang lain lagi menganggapnya sebagai bodhisatwa, orang yang telah mencapai pencerahan, tetapi menunda memasuki Nirwana guna membantu orang lain yang sedang mencari pencerahan. Apa pun pendapat mereka, peristiwa ini, yakni Pencerahan, amat penting bagi semua aliran dalam Buddhisme.

Apakah

Pencerahan Itu?

17
Setelah mencapai pencerahan, dan setelah mengatasi keragu-raguan yang semula ia miliki, Buddha mulai mengajarkan kebenaran yang baru ditemukannya, yaitu dharmanya, kepada orang-orang lain. Khotbahnya yang pertama dan barangkali yang paling penting disampaikannya di kota Benares, di sebuah taman rusa, kepada lima biksu—murid atau biarawan. Dalam khotbahnya itu, ia mengajarkan bahwa supaya selamat, orang harus menjauhi jalan pemuasan hawa nafsu maupun jalan sebagai petapa dan mengikuti Jalan Tengah. Kemudian, orang harus mengerti dan mengikuti Empat Kesunyataan Mulia (lihat kotak, halaman sebelah), yang dapat diringkaskan sebagai berikut:
(1) Seluruh kehidupan adalah penderitaan.
(2) Penderitaan timbul dari nafsu atau keinginan.
(3) Berhentinya nafsu berarti berakhirnya penderitaan.
(4) Berhentinya nafsu dicapai dengan mengikuti Jalan Beruas Delapan, yang mengendalikan tingkah laku, pikiran, dan kepercayaan seseorang.

18
Khotbah mengenai Jalan Tengah dan mengenai Empat Kesunyataan Mulia ini merupakan inti Pencerahan dan dianggap sebagai ringkasan seluruh ajaran Buddha. (Sebagai kontras, bandingkan Matius 6:25-34; 1 Timotius 6:17-19; Yakobus 4:1-3; 1 Yohanes 2:15-17.) Menurut Gautama, khotbah tersebut bukan bersumber dari ilham ilahi, melainkan ”ditemukan oleh Tathagata”, yaitu dirinya sendiri. Kabarnya, menjelang wafat, Buddha berpesan kepada para muridnya, ”Carilah keselamatan hanya dalam kebenaran; jangan mencari bantuan siapa pun selain dirimu sendiri.” Jadi, menurut Buddha, pencerahan bukan berasal dari Allah melainkan dari upaya sendiri dengan cara mengembangkan pikiran yang benar dan perbuatan yang baik.

19
Tidaklah sulit untuk memahami mengapa ajaran ini disambut oleh masyarakat India pada zaman itu. Di satu pihak, ajaran ini mengutuk praktek-praktek keagamaan yang tamak dan bejat yang dipropagandakan oleh para pendeta Hindu dari kasta Brahmana, dan di pihak lain mengutuk jalan hidup penyangkalan diri yang keras yang ditempuh kaum Jain dan kultus mistis lainnya. Ajaran ini juga menghapus korban dan ritus, ribuan dewa-dewi, serta sistem kasta yang membebani, yang selama ini mendominasi dan mengendalikan setiap aspek kehidupan rakyat. Singkatnya, ajaran ini menjanjikan kebebasan kepada setiap orang yang bersedia mengikuti jalan Buddha.

Penyebaran

Pengaruh Buddhisme

20
Sewaktu kelima biksu menerima ajaran Buddha, mereka menjadi sangha, atau kelompok biksu, yang pertama. Maka, lengkaplah ”Tiga Permata” (Triratna, atau Trimestika) Buddhisme, yakni Buddha, dharma, dan sangha, yang diharapkan membantu orang-orang menempuh jalan menuju pencerahan. Setelah siap, Buddha Gautama menyebarkan ajarannya di seluruh Lembah Gangga. Orang-orang dari segala lapisan masyarakat datang untuk mendengarkannya, lalu menjadi muridnya. Menjelang kematiannya pada usia 80 tahun, ia sudah terkenal dan sangat dihormati. Konon, pesan terakhirnya kepada murid-muridnya adalah, ”Semua unsur mau tidak mau mengalami pembusukan. Upayakan keselamatanmu sendiri dengan sungguh-sungguh.”

21
Pada abad ketiga SM, kira-kira 200 tahun setelah kematian Buddha, muncullah pendukung terkuat Buddhisme, Raja Asoka, yang berhasil menguasai sebagian besar India. Karena sedih melihat pembantaian dan kekacauan akibat penaklukannya, ia memeluk Buddhisme dan memberikan dukungan kenegaraan kepadanya. Ia mendirikan monumen-monumen keagamaan, mengadakan persidangan, dan mendesak rakyat untuk hidup menurut ajaran Buddha. Asoka juga mengutus para penyebar Buddhisme ke seluruh India dan juga ke Sri Lanka, Siria, Mesir, dan Yunani. Terutama berkat upaya Asoka inilah Buddhisme berkembang dari sebuah sekte di India menjadi agama dunia. Sudah sepantasnyalah jika ada yang menganggapnya sebagai pendiri kedua Buddhisme.

22
Dari Sri Lanka, Buddhisme menyebar ke timur ke Myanmar, Thailand, dan bagian-bagian lain Indocina. Di utara, Buddhisme menyebar ke Kashmir dan Asia Tengah. Dari daerah-daerah inilah sejak abad pertama M para biksu Buddhis membawa agama mereka ke Cina melewati pegunungan serta padang pasir yang angker. Dari Cina, Buddhisme segera menyebar ke Korea dan Jepang. Buddhisme juga diperkenalkan di Tibet, tetangga India di sebelah utara. Berbaur dengan kepercayaan setempat, Buddhisme muncul sebagai Lamaisme, yang mendominasi kehidupan agama dan politik di sana. Pada abad keenam atau ketujuh M, Buddhisme sudah mapan di seluruh Asia Tenggara dan Timur Jauh. Tetapi, apa yang terjadi di India?

23
Sementara pengaruhnya meluas ke negeri-negeri lain, Buddhisme perlahan-lahan mengalami kemunduran di India. Karena asyik mendalami filsafat dan metafisika, para biksu mulai kehilangan kontak dengan para pengikut mereka. Selain itu, hilangnya dukungan kerajaan dan diterimanya gagasan serta tata cara ibadat Hinduisme mempercepat kejatuhan Buddhisme di India. Bahkan, tempat-tempat suci Buddhis, seperti Lumbini, tempat Gautama lahir, dan Boddh Gaya, tempat ia mengalami ”pencerahan”, menjadi telantar. Pada abad ke-13, Buddhisme bisa dikatakan telah lenyap dari India, negeri asalnya.

24
Pada abad ke-20, Buddhisme mengalami perubahan wajah lagi. Pergolakan politik di Cina, Mongolia, Tibet, dan negeri-negeri di Asia Tenggara merupakan pukulan maut bagi Buddhisme. Ribuan biara serta kuil dihancurkan dan ratusan ribu biksu serta biksuni diusir, dipenjarakan, atau bahkan dibunuh. Namun demikian, pengaruh Buddhisme masih terasa kuat dalam cara berpikir dan kebiasaan rakyat di negeri-negeri tersebut.

25
Di Eropa dan Amerika Utara, gagasan Buddhisme tentang mencari ”kebenaran” dalam diri sendiri tampaknya menarik bagi banyak orang, dan kebiasaan bermeditasi menjadi pelarian dari hiruk pikuk kehidupan Barat. Sungguh menarik, dalam kata pengantar buku Living Buddhism, Tenzin Gyatso sang Dalai Lama Tibet yang berada di pengasingan menulis, ”Barangkali dewasa ini Buddhisme dapat berperan sebagai pengingat bagi orang-orang Barat akan segi rohani kehidupan mereka.”

Berbagai

Jalur Buddhisme

26
Walaupun umumnya disebut sebagai satu agama, dalam kenyataannya Buddhisme terbagi menjadi beberapa aliran. Berbagai penafsiran mengenai sifat Buddha dan ajarannya menghasilkan banyak aliran yang mempunyai doktrin, tata cara ibadat, dan kitabnya sendiri. Aliran-aliran ini selanjutnya terbagi menjadi sejumlah kelompok dan sekte, banyak di antaranya sangat dipengaruhi oleh kebudayaan dan tradisi setempat.

27
Aliran Therawada (Jalan para Tua-Tua), atau Hinayana (Kereta Kecil), berkembang di Sri Lanka, Myanmar, Thailand, Kamboja, dan Laos. Ada yang menganggap aliran ini konservatif. Aliran ini menandaskan perlunya memperoleh kebijaksanaan dan mengusahakan keselamatan diri sendiri dengan meninggalkan dunia dan hidup sebagai biksu, terus bermeditasi dan belajar di biara.

28
Di beberapa negeri tadi, sering terlihat kelompok-kelompok pemuda berkepala gundul, berjubah kuning-jingga, bertelanjang kaki, dan membawa mangkok sedekah untuk makanan sehari-hari yang wajib disumbangkan oleh para penganut. Ada kebiasaan bagi pria-pria untuk masuk biara, walaupun hanya untuk suatu waktu. Tujuan utama kehidupan di biara adalah untuk menjadi seorang arahat, yaitu orang yang telah mencapai kesempurnaan rohani dan kelepasan dari rasa sakit serta penderitaan dalam siklus kelahiran kembali. Buddha telah menunjukkan jalannya; terserah apakah seseorang mau mengikutinya atau tidak.

29
Aliran Mahayana (Kereta Besar) umumnya terdapat di Cina, Korea, Jepang, dan Vietnam. Aliran ini dinamai demikian karena menandaskan ajaran Buddha bahwa ”kebenaran dan jalan keselamatan terbuka bagi siapa saja, tidak soal ia tinggal di gua, biara, atau rumah . . . Jalan ini bukan hanya bagi mereka yang meninggalkan dunia”. Konsep dasar Mahayana adalah bahwa kasih dan belas kasihan Buddha begitu besar sehingga siapa pun dapat memperoleh keselamatan. Mahayana mengajarkan bahwa karena sifat Buddha ada dalam diri kita semua, siapa pun dapat menjadi Buddha, yaitu orang yang telah mencapai pencerahan, atau bodhisatwa (calon Buddha). Pencerahan tidak dicapai melalui disiplin diri yang keras, tetapi melalui kepercayaan akan Buddha dan belas kasihan terhadap semua makhluk hidup. Jelaslah, aliran ini lebih menarik bagi orang-orang yang berpikiran praktis atau pragmatis. Akan tetapi, sikap yang lebih liberal ini melahirkan banyak kelompok dan kultus.

30
Di antara begitu banyak sekte Mahayana yang berkembang di Cina dan Jepang terdapat aliran Negeri Murni dan Zen. Kepercayaan aliran Negeri Murni berkisar pada iman akan kuasa penyelamatan dari Amida Buddha, yang menjanjikan para pengikutnya kelahiran kembali di Negeri Murni, atau Firdaus Barat, yakni negeri sukacita dan kesenangan yang didiami oleh dewa-dewi dan manusia. Dari sana, Nirwana tinggal selangkah lagi. Dengan mengulang-ulang doa, ”Saya percaya kepada Amida Buddha,” kadang-kadang ribuan kali sehari, penganut saleh aliran ini memurnikan dirinya untuk mencapai pencerahan atau memperoleh kelahiran kembali dalam Firdaus Barat.

31
Aliran Zen (aliran Chan di Cina) namanya berasal dari chan (bahasa Cina) dan zen (bahasa Jepang), yang merupakan variasi dari kata Sanskerta dhyana dan berarti ”meditasi”. Aliran ini mengajarkan bahwa belajar, berbuat baik, dan melakukan ritus hanya sedikit manfaatnya. Seseorang dapat mencapai pencerahan hanya dengan memikirkan teka-teki yang sulit seperti, ’Bagaimana bunyi tepukan sebelah tangan?’ dan ’Apa yang kita temukan di tempat yang kosong?’ Sifat mistis aliran Zen ini diwujudkan dalam kesenian yang halus berupa merangkai bunga, kaligrafi, melukis dengan tinta, berpuisi, berkebun, dan lain-lain, dan hal-hal ini diterima dengan baik di negeri-negeri Barat. Dewasa ini, pusat meditasi Zen terdapat di banyak negeri Barat.

32
Akhirnya, masih ada Buddhisme Tibet atau Lamaisme. Bentuk Buddhisme ini kadang-kadang disebut Mantrayana (Kereta Mantra) karena banyak menggunakan mantra, yaitu rangkaian suku kata dengan atau tanpa makna, dalam pembacaan yang panjang. Sebaliknya dari menandaskan kebijaksanaan atau belas kasihan, bentuk Buddhisme ini menandaskan ritus, doa, ilmu gaib, dan spiritisme dalam ibadat. Doa diulang-ulang ribuan kali sehari menggunakan tasbih dan roda doa. Ritus-ritus yang rumit dapat dipelajari hanya dengan pengarahan lisan para lama, atau pemimpin biara, dan yang paling terkenal di antaranya adalah Dalai Lama serta Panchen Lama. Setelah kematian seorang lama, dicarilah seorang anak yang konon adalah reinkarnasi lama yang mati itu untuk menjadi pemimpin rohani berikutnya. Tetapi, istilah lama juga umum dipakai untuk semua biksu yang menurut perkiraan pernah berjumlah sekitar seperlima seluruh penduduk Tibet. Para lama itu juga bekerja sebagai guru, dokter, tuan tanah, dan tokoh politik.

33
Bagian-bagian utama Buddhisme ini seterusnya terbagi lagi menjadi banyak kelompok atau sekte. Ada yang mengikuti satu pemimpin, seperti Nichiren di Jepang, yang mengajarkan bahwa hanya Lotus Sutra dari aliran Mahayana yang memuat ajaran yang pasti dari Buddha, dan Biksuni Qin Hai di Taiwan, yang mempunyai banyak pengikut. Dalam hal ini, Buddhisme tidak jauh berbeda dengan Susunan Kristen yang memiliki bermacam-macam denominasi dan sekte. Malah, sudah umum jika orang yang mengaku Buddhis mengikuti tata cara ibadat Taoisme, Shinto, penyembahan leluhur, dan bahkan Susunan Kristen. Semua sekte Buddhis ini mengaku mendasarkan kepercayaan dan tata cara ibadat mereka pada ajaran Buddha.

Tiga

Keranjang dan Tulisan Buddhis Lainnya

34
Ajaran yang dikatakan berasal dari Buddha, diteruskan secara lisan dan baru mulai ditulis berabad-abad setelah ia wafat. Jadi, sebenarnya, tulisan-tulisan itu menyajikan apa yang dianggap sebagai ucapan dan perbuatan Buddha oleh para pengikutnya beberapa generasi kemudian. Hal ini diperumit lagi karena, pada waktu itu, Buddhisme sudah terpecah menjadi banyak aliran. Maka, ada bermacam-macam teks yang memuat banyak versi Buddhisme.

35
Teks Buddhis tertua ditulis dalam bahasa Pali, yang konon serumpun dengan bahasa yang Buddha gunakan, kira-kira pada abad pertama SM. Menurut aliran Therawada, teks inilah yang autentik. Teks ini terdiri dari 31 tulisan yang disusun menjadi tiga kumpulan yang disebut Tipitaka (bahasa Sanskerta, Tripitaka), artinya ”Tiga Keranjang”, atau ”Tiga Kumpulan”. Vinaya Pitaka (Keranjang Disiplin) terutama memuat kaidah dan peraturan bagi biarawan dan biksuni. Sutta Pitaka (Keranjang Wacana) berisi khotbah, perumpamaan, dan peribahasa yang diucapkan oleh Buddha dan murid-muridnya yang menonjol. Yang terakhir, Abhidhamma Pitaka (Keranjang Ajaran Tertinggi) memuat komentar-komentar mengenai doktrin Buddhis.

36
Sebaliknya, tulisan-tulisan aliran Mahayana sebagian besar berbahasa Sanskerta, Cina, dan Tibet, dan jumlahnya amat banyak. Teks bahasa Cina saja jumlahnya lebih dari 5.000 jilid. Teks-teks ini berisi banyak gagasan yang tidak terdapat dalam tulisan-tulisan yang lebih tua, seperti kisah tentang para Buddha yang jumlahnya seperti pasir di Sungai Gangga, yang konon hidup berjuta-juta tahun, masing-masing memimpin dunia Buddha-nya sendiri. Tidaklah berlebihan apabila seorang penulis mengemukakan bahwa teks-teks ini ”bercirikan keanekaragaman, khayalan yang berlebihan, berbagai watak, dan pengulangan yang tidak pada tempatnya”.

37
Dengan sendirinya hanya sedikit orang yang dapat memahami uraian yang sangat abstrak dalam tulisan-tulisan ini. Akibatnya, perkembangan yang belakangan ini telah sangat menyimpangkan Buddhisme dari tujuan semula Buddha. Menurut Vinaya Pitaka, Buddha ingin agar ajarannya tidak hanya dimengerti oleh golongan terpelajar tetapi juga oleh segala macam orang. Untuk itu, ia berkeras agar buah-buah pikirannya diajarkan dalam bahasa rakyat jelata, bukan dalam bahasa suci Hinduisme yang sudah tidak dipakai lagi. Jadi, ketika kaum Buddhis Therawada menyatakan bahwa tulisan-tulisan Mahayana itu tidak kanonis, kaum Mahayana membantah dengan mengatakan bahwa Buddha Gautama pada mulanya memang mengajar orang-orang yang sederhana dan bodoh, tetapi ia juga mengajar orang-orang yang terpelajar dan bijaksana, dan belakangan ajarannya ini terdapat dalam tulisan-tulisan Mahayana.

Siklus

Karma dan Samsara

38
Meskipun Buddhisme sampai taraf tertentu membebaskan orang dari belenggu Hinduisme, ajaran Hindu mengenai Karma dan samsara masih tetap menjadi gagasan dasar Buddhis. Buddhisme, seperti yang semula diajarkan oleh Buddha, berbeda dengan Hinduisme karena menolak adanya jiwa yang tak berkematian tetapi mengajarkan bahwa setiap individu adalah ”perpaduan berbagai daya atau energi fisik dan mental”. Tetapi, ajarannya masih berpusat pada gagasan bahwa semua manusia mengembara dari satu kehidupan ke kehidupan lain melalui tak terhitung banyaknya kelahiran kembali (samsara) dan menderita akibat perbuatan di masa lalu dan sekarang (Karma). Walaupun ajarannya tentang pencerahan dan kelepasan dari siklus itu mungkin kelihatannya menarik, ada yang bertanya: Seberapa kuatkah fondasinya? Apa buktinya bahwa semua penderitaan diakibatkan oleh perbuatan seseorang dalam kehidupan sebelumnya? Dan, apa buktinya bahwa memang ada kehidupan sebelumnya?

39
Satu penjelasan yang diberikan mengenai hukum Karma adalah,
”Kamma [bahasa Pali, Karma] sendiri adalah suatu hukum. Tetapi, tidak harus ada seorang pembuat hukum. Hukum alam biasa, seperti hukum gaya berat, tidak harus ada pembuatnya. Hukum Kamma juga tidak mengharuskan ada pembuatnya. Hukum ini bekerja dalam medannya sendiri tanpa campur tangan pihak luar yang independen dan berkuasa.”—A Manual of Buddhism.

40
Apakah ini kedengarannya masuk akal? Apakah hukum alam memang tidak harus ada pembuatnya? Seorang ahli roket, Dr. Wernher von Braun, pernah berkata, ”Hukum-hukum alam di jagat raya begitu cermat sehingga tidak sulit bagi kami untuk membuat pesawat ruang angkasa guna pergi ke bulan serta mengatur waktu penerbangan dengan sangat teliti sampai hitungan sepersekian detik. Pastilah ada yang menetapkan hukum-hukum ini.” Alkitab juga berbicara tentang hukum sebab-akibat, yaitu, ”Allah tidak dapat dicemoohkan. Sebab apa pun yang ditabur orang, ini juga yang akan dituainya.” (Galatia 6:7) Alkitab tidak mengatakan bahwa hukum ini ada dengan sendirinya, tetapi mengatakan bahwa ”Allah tidak dapat dicemoohkan”, yang menyiratkan bahwa hukum ini diberlakukan oleh Pembuatnya, Yehuwa.

41
Selain itu, Alkitab mengajarkan bahwa ”upah yang dibayarkan oleh dosa adalah kematian”, dan ”ia yang mati telah dibebaskan dari dosanya”. Bahkan dalam pengadilan manusia, tidak ada tindak pidana dengan dua ancaman hukuman. Maka, mengapa orang yang sudah membayar dosanya dengan kematiannya harus dilahirkan kembali hanya untuk menderita lagi akibat perbuatannya di masa lalu? Selanjutnya, bagaimana mungkin ia dapat bertobat dan memperbaiki diri jika ia tidak tahu untuk perbuatan apa di masa lalu ia kini dihukum? Dapatkah ini dianggap adil? Apakah ini konsisten dengan belas kasihan, yang konon adalah sifat Buddha yang paling menonjol? Sebagai kontras, sesudah menyatakan bahwa ”upah yang dibayarkan oleh dosa adalah kematian”, Alkitab berkata, ”Tetapi karunia yang Allah berikan adalah kehidupan abadi melalui Kristus Yesus, Tuan kita.” Ya, Alkitab berjanji bahwa Allah akan melenyapkan segala kebejatan, dosa, serta kematian dan akan mendatangkan kebebasan serta kesempurnaan bagi seluruh umat manusia.—Roma 6:7, 23; 8:21; Yesaya 25:8.

42
Mengenai kelahiran kembali, berikut ini penjelasan seorang cendekiawan Buddhis, Dr. Walpola Rahula,
”Suatu makhluk hanyalah perpaduan berbagai daya atau energi fisik dan mental. Apa yang kita sebut kematian adalah tidak berfungsinya tubuh jasmani secara total. Apakah semua daya dan energi ini berhenti sama sekali pada saat tubuh tidak berfungsi lagi? Menurut Buddhisme, ’Tidak.’ Kehendak, kemauan, keinginan, hasrat untuk hidup, untuk terus ada, untuk bertambah-tambah, adalah suatu daya yang hebat yang menggerakkan seluruh kehidupan, seluruh eksistensi, yang bahkan menggerakkan seluruh dunia. Inilah daya terbesar, energi terbesar di dunia. Menurut ajaran Buddhis, daya ini tidak berhenti bekerja ketika tubuh tidak berfungsi lagi, yakni ketika mati; tetapi terus mewujudkan dirinya dalam bentuk lain, menghasilkan kehidupan kembali yang disebut kelahiran kembali.”

43
Pada saat pembuahan, 50 persen gen seseorang diperoleh dari ayahnya dan 50 persen dari ibunya. Karena itu, ia tidak mungkin 100 persen menyerupai seseorang dalam kehidupan sebelumnya. Jadi, proses kelahiran kembali sampai saat ini tidak dapat didukung oleh prinsip ilmiah mana pun. Kerap kali, orang yang mempercayai doktrin kelahiran kembali menggunakan bukti berupa pengalaman orang-orang yang mengaku mengingat wajah, peristiwa, dan tempat yang belum pernah mereka kenal sebelumnya. Apakah ini masuk akal? Andaikata seseorang yang dapat menceritakan hal-hal di masa silam sudah pasti pernah hidup di masa itu, tentulah seseorang yang dapat meramal masa depan—dan banyak orang mengaku bisa melakukannya—sudah pasti pernah hidup di masa depan. Dan, hal ini jelas tidak mungkin.

44
Lebih dari 400 tahun sebelum Buddha, Alkitab menyebutkan tentang suatu daya kehidupan. Mengenai apa yang terjadi pada saat seseorang mati, Alkitab mengatakan, ”Debu kembali ke tanah seperti semula dan roh kembali kepada Allah yang benar yang telah memberikannya.” (Pengkhotbah 12:7) Kata ”roh” diterjemahkan dari bahasa Ibrani ru

akh, yang berarti daya hidup yang menggerakkan semua makhluk hidup, baik manusia maupun binatang. (Pengkhotbah 3:18-22) Akan tetapi, perbedaan yang penting ialah bahwa ruakh adalah daya yang abstrak, atau yang bukan suatu pribadi; daya ini tidak mempunyai kehendak sendiri atau memiliki kepribadian, atau ciri, dari orang yang sudah meninggal. Daya ini tidak berpindah ke orang lain pada waktu kematian tetapi ”kembali kepada Allah yang benar yang telah memberikannya”. Dengan kata lain, kemungkinan untuk hidup lagi di masa depan—harapan kebangkitan—sepenuhnya berada di tangan Allah.—Yohanes 5:28, 29; Kisah 17:31.

Nirwana—Mencapai

Apa yang Mustahil Dicapai?

45
Sekarang kita akan membahas ajaran Buddha tentang pencerahan dan keselamatan. Menurut Buddhisme, gagasan dasar tentang keselamatan adalah kelepasan dari hukum Karma dan hukum samsara, serta mencapai Nirwana. Lalu, apakah Nirwana itu? Teks-teks Buddhis menyatakan bahwa Nirwana mustahil dilukiskan atau dijelaskan, tetapi hanya bisa dialami. Nirwana bukanlah surga, yakni tempat yang dituju setelah seseorang mati, melainkan sesuatu yang dapat dicapai oleh semua orang, di sini dan saat ini juga. Kata itu sendiri konon berarti ”meniup, memadamkan”. Karena itu, ada yang mendefinisikan Nirwana sebagai berhentinya semua nafsu dan keinginan; kehidupan yang bebas dari segala perasaan yang berhubungan dengan indra, seperti rasa sakit, takut, ingin, cinta, atau benci; keadaan tenteram, tenang, dan mapan yang abadi. Pada hakikatnya, Nirwana konon adalah berhentinya keberadaan seseorang sebagai individu.

46
Buddha mengajarkan bahwa pencerahan dan keselamatan—kesempurnaan Nirwana—tidak berasal dari suatu Allah atau kekuatan luar, tetapi dari dalam diri seseorang melalui upayanya sendiri dengan perbuatan yang baik dan pikiran yang benar. Hal ini menimbulkan pertanyaan: Dapatkah sesuatu yang sempurna dihasilkan dari sesuatu yang tidak sempurna? Bukankah pengalaman kita sehari-hari menunjukkan, seperti yang diperlihatkan oleh seorang nabi Ibrani, Yeremia, bahwa ”manusia tidak mempunyai kuasa untuk menentukan jalannya sendiri. Manusia, yang berjalan, tidak mempunyai kuasa untuk mengarahkan langkahnya”? (Yeremia 10:23) Jika tidak seorang pun dapat mengendalikan sepenuhnya tindak tanduknya bahkan dalam masalah sehari-hari yang sederhana, apakah masuk akal bahwa seseorang dapat memperoleh keselamatan kekal dengan upayanya sendiri?—Mazmur 146:3, 4.

47
Sebagaimana seseorang yang terjebak dalam pasir isap tidak mungkin keluar dari pasir itu dengan kekuatannya sendiri, segenap umat manusia telah terjebak dalam dosa dan kematian, dan tidak seorang pun sanggup membebaskan dirinya sendiri. (Roma 5:12) Namun, Buddha mengajarkan bahwa keselamatan semata-mata bergantung pada upaya sendiri. Nasihat perpisahannya kepada murid-muridnya adalah, ”Bersandarlah pada dirimu sendiri dan jangan bersandar pada bantuan dari luar; peganglah teguh kebenaran bagaikan sebuah pelita; carilah keselamatan hanya dalam kebenaran; jangan mencari bantuan siapa pun selain dirimu sendiri.”

Pencerahan

atau Kekecewaan?

48
Apa hasil doktrin tersebut? Apakah ajaran itu menggerakkan para penganutnya untuk memiliki iman sejati dan pengabdian? Buku Living Buddhism melaporkan bahwa di beberapa negeri Buddhis, bahkan ”para biksu tidak terlalu menghiraukan unggul tidaknya agama mereka. Banyak yang menganggap upaya mencapai Nirwana sebagai ambisi yang sangat tidak realistis, dan meditasi jarang dilakukan. Selain hanya sesekali mempelajari Tipitaka, mereka lebih senang menjadi orang yang memberikan pengaruh yang bermanfaat dan mengharmoniskan bagi masyarakat”. Demikian pula, World Encyclopedia (bahasa Jepang), dalam ulasannya mengenai bangkitnya minat akan ajaran Buddhis belakangan ini, mengatakan, ”Seraya bidang ajaran Buddhis dipersempit, semakin besar penyimpangan ajaran itu dari tujuannya yang semula—untuk membimbing umat manusia. Dari sudut pandangan itu, tren untuk mendalami Buddhisme belakangan ini tidak secara otomatis berarti kebangkitan iman yang hidup. Sebaliknya, patut diperhatikan bahwa apabila suatu agama menjadi objek penelitian metafisika yang rumit, agama itu kehilangan kekuatannya sebagai suatu iman yang hidup.”

49
Konsep dasar Buddhisme adalah bahwa pengetahuan dan pengertian menghasilkan pencerahan dan keselamatan. Tetapi, doktrin yang rumit dari berbagai alirannya justru membuat Buddhisme menjadi sesuatu yang ”sangat tidak realistis” seperti disebutkan di atas, di luar jangkauan kebanyakan penganutnya. Bagi mereka, menganut Buddhisme semata-mata berarti melakukan kebaikan dan menjalani beberapa ritus serta perintah yang sederhana. Buddhisme tidak dapat menjawab beberapa pertanyaan yang membingungkan dalam kehidupan, seperti: Dari mana asalnya kita? Mengapa kita dilahirkan? Apa masa depan umat manusia dan bumi?

50
Sejumlah umat Buddha yang tulus sadar bahwa doktrin dan ritus Buddhis zaman sekarang yang rumit dan membebani ini telah menimbulkan kekacauan dan kekecewaan. Upaya kemanusiaan dari berbagai kelompok dan perkumpulan Buddhis di beberapa negeri mungkin telah meringankan rasa sakit dan penderitaan banyak orang. Tetapi, sebagai sumber pencerahan dan kelepasan sejati bagi semua orang, sudahkah Buddhisme memenuhi janjinya?

Pencerahan

Tanpa Allah?

51
Menurut berbagai kisah hidup tentang kehidupan Buddha, pada suatu peristiwa ia dan para muridnya berada di sebuah hutan. Ia mengambil segenggam daun dan berkata kepada para muridnya, ”Apa yang telah saya ajarkan kepada kalian ibarat daun-daun dalam tangan saya, apa yang belum saya ajarkan ibarat jumlah daun yang ada di hutan.” Berarti, Buddha baru mengajarkan sebagian kecil dari apa yang ia ketahui. Akan tetapi, ada satu hal penting yang tidak disebutkan—Buddha Gautama tidak mengatakan apa-apa tentang Allah; ia pun tidak pernah mengaku sebagai Allah. Malah, ia konon berkata kepada para muridnya, ”Seandainya Allah itu ada, saya tidak dapat membayangkan bahwa Ia akan memedulikan hal ihwal saya sehari-hari” dan ”tidak ada dewa-dewi yang sanggup atau mau menolong manusia.”

52
Jika dilihat dari sudut tersebut, Buddhisme tidak banyak membantu dalam pencarian manusia akan Allah yang benar. The Encyclopedia of World Faiths mengemukakan bahwa ”Buddhisme masa awal tampaknya mengabaikan persoalan tentang Allah, dan pasti tidak mengajarkan atau mengharuskan orang mempercayai Allah”. Dalam ajarannya yang menandaskan agar setiap orang mengupayakan keselamatannya sendiri, dengan melihat ke dalam pikiran atau kesadarannya sendiri untuk mencapai pencerahan, Buddhisme sesungguhnya adalah agnostisis, atau malah ateistis. (Lihat kotak, halaman 145.) Dalam upaya mematahkan belenggu takhayul Hinduisme beserta dewa-dewinya yang begitu banyak, Buddhisme telah berayun ke ekstrem yang lain. Buddhisme mengabaikan konsep dasar tentang Pribadi Yang Tertinggi, yang melalui kehendak-Nyalah segala sesuatu ada dan bergerak.—Kisah 17:24, 25.

53
Karena cara berpikir yang berpusat pada diri sendiri dan independen ini, muncullah banyak legenda, tradisi, doktrin yang rumit, serta tafsiran yang bagaikan benang kusut yang diciptakan oleh banyak aliran dan sekte selama berabad-abad. Apa yang semula dimaksudkan untuk menghasilkan solusi sederhana untuk berbagai masalah yang rumit dalam kehidupan telah berubah menjadi sistem keagamaan dan filosofis yang tidak dapat dimengerti oleh kebanyakan orang. Sebaliknya, para pengikut awam Buddhisme sibuk menyembah berhala dan relik, dewa-dewi dan hantu-hantu, roh dan leluhur, serta melakukan banyak ritus dan kebiasaan lain yang tidak ada kaitannya dengan ajaran Buddha Gautama. Jelaslah, pencarian akan pencerahan tanpa Allah tidak membawa hasil.

54
Kira-kira pada waktu yang bersamaan ketika Buddha Gautama sedang mencari jalan untuk mencapai pencerahan, di bagian lain dari benua Asia ada dua orang filsuf yang gagasannya mempengaruhi jutaan orang. Kedua orang itu bernama Laozi dan Konghucu, dua orang bijak yang dipuja oleh orang Cina dan bangsa lain secara turun-temurun. Apa yang mereka ajarkan, dan apa pengaruh mereka atas pencarian manusia akan Allah? Itulah yang akan kita bahas dalam pasal berikut.
[Catatan
Kaki]
Ini adalah transliterasi namanya dari bahasa Pali. Transliterasi namanya dari bahasa Sanskerta adalah Sidhartha Gautama. Tetapi, tahun kelahirannya berbeda-beda, ada yang menyebutkan tahun 560, 563, atau 567 SM. Kebanyakan narasumber mengakui tahun 560 atau sedikitnya abad keenam SM.
Banyak umat Buddha di Jepang merayakan ”Hari Natal” secara besar-besaran.
Doktrin Buddhis, seperti anata (tidak ada diri sendiri), tidak mengakui bahwa jiwa itu terus ada atau kekal. Akan tetapi, kebanyakan umat Buddha dewasa ini, khususnya yang tinggal di Timur Jauh, percaya akan perpindahan jiwa yang tak berkematian. Hal ini nyata dari kebiasaan menyembah leluhur dan kepercayaan akan siksaan dalam neraka sesudah kematian.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar