Pasal
13
Reformasi—Pencarian
Menempuh Arah Baru
”TRAGEDI yang sesungguhnya dalam gereja abad pertengahan adalah kegagalannya untuk bergerak mengikuti waktu. . . . Gereja sama sekali tidak progresif, sama sekali tidak memberikan bimbingan rohani, malah kian memburuk dan merosot, semua anggotanya korup.” Demikianlah kata buku The Story of the Reformation tentang Gereja Katolik Roma yang kuat, yang mendominasi sebagian besar Eropa dari abad ke-5 sampai abad ke-15 M.
2
Bagaimana Gereja Roma bisa jatuh dari kedudukannya yang sangat kuat hingga ’merosot dan korup’? Bagaimana kepausan, yang mengaku sebagai penerus kerasulan, ternyata gagal memberikan ”bimbingan rohani”? Dan, apa akibat kegagalan ini? Untuk mendapatkan jawabannya, kita perlu meninjau secara singkat apa saja sepak terjang Gereja dan apa peranannya dalam pencarian manusia akan Allah yang benar.
Gereja
dalam Keadaan Terpuruk
3
Pada akhir abad ke-15, Gereja Roma, yang memiliki banyak paroki dan biara di seluruh wilayah kekuasaannya, telah menjadi tuan tanah terbesar di seluruh Eropa. Menurut laporan, gereja memiliki setengah wilayah Prancis serta Jerman, dan dua perlima atau lebih wilayah Swedia serta Inggris. Hasilnya? ”Kejayaan Roma berkembang tak terkira selama akhir tahun 1400-an serta awal tahun 1500-an, dan peranannya secara politik maju untuk sementara,” kata buku A History of Civilization. Akan tetapi, semua kemegahan itu membutuhkan biaya, dan untuk mempertahankannya, kepausan harus menemukan sumber-sumber pendapatan baru. Ketika menguraikan berbagai cara yang digunakan, sejarawan Will Durant menulis,
”Setiap petugas gereja dituntut untuk menyetorkan kepada Kuria kepausan—dewan administrasi kepausan—setengah pendapatan dari jabatannya selama tahun pertama (”annates”), dan setelah itu sepersepuluhnya setiap tahun. Seorang uskup agung baru harus memberi paus sejumlah besar uang untuk membayar pallium—pita wol putih sebagai tanda pengesahan dan simbol wewenangnya. Pada waktu seorang kardinal, uskup agung, uskup, atau kepala biara meninggal, milik pribadinya dikembalikan kepada kepausan. . . . Setiap keputusan atau perkenan yang diperoleh dari Kuria menuntut hadiah sebagai imbalan, dan keputusan itu kadang-kadang ditentukan oleh hadiahnya.”
4
Banyaknya uang yang mengalir ke perbendaharaan kepausan tahun demi tahun akhirnya mengakibatkan banyak penyelewengan dan korupsi. Ada pepatah yang mengatakan bahwa ’seorang paus sekalipun tidak mungkin menyentuh ter tanpa mengotori jarinya’, dan sejarah gereja pada masa ini menyaksikan apa yang disebut seorang sejarawan ”silih bergantinya paus yang sangat duniawi”. Salah satunya ialah Sikstus IV (paus, 1471-84), yang menghabiskan sejumlah besar uang untuk membangun Kapel Sistina, yang disebut menurut namanya sendiri, dan untuk memperkaya banyak kemenakannya; Aleksander VI (paus, 1492-1503), Rodrigo Borgia yang bereputasi buruk, yang terang-terangan mengakui dan memberikan kedudukan tinggi kepada anak-anak haramnya; dan Yulius II (paus, 1503-13), kemenakan Sikstus IV, yang lebih mementingkan perang, politik, dan seni daripada tugas-tugas gerejawinya. Pakar Katolik berkebangsaan Belanda, Erasmus, dapat dibenarkan sepenuhnya ketika pada tahun 1518 ia menulis, ”Perbuatan Kuria Roma yang tak tahu malu telah mencapai puncaknya.”
5
Korupsi dan amoralitas tidak terbatas di kalangan kepausan. Pepatah yang umum pada masa itu ialah, ”Jika Anda ingin merusak putra Anda, jadikan dia imam.” Ini didukung oleh catatan-catatan pada masa itu. Menurut Durant, di Inggris, dari semua ”tuduhan kebejatan [seksual] yang diajukan pada tahun 1499, . . . 23 persen dari semua pelanggarnya berasal dari kalangan klerus, meskipun jumlah klerus mungkin tidak sampai 2 persen dari jumlah penduduk. Beberapa imam meminta pelayanan seksual dari para wanita yang mengaku dosa. Ribuan imam mempunyai gundik; di Jerman hampir semuanya”. (Kontraskan dengan 1 Korintus 6:9-11; Efesus 5:5.) Penyelewengan moral juga terjadi di bidang-bidang lain. Seorang Spanyol dari zaman itu konon pernah mengeluh, ”Saya melihat bahwa tanpa uang kita nyaris tidak bisa memperoleh apa pun dari pelayan-pelayan Kristus; uang untuk pembaptisan . . . uang untuk perkawinan, uang untuk pengakuan dosa—tidak, tidak ada perminyakan terakhir [bagi orang yang akan meninggal] tanpa uang! Mereka tidak akan membunyikan lonceng tanpa uang, tidak ada upacara penguburan di gereja tanpa uang; sehingga kelihatannya Firdaus tertutup bagi orang yang tidak punya uang.”—Kontraskan dengan 1 Timotius 6:10.
6
Untuk meringkaskan keadaan Gereja Roma pada permulaan abad ke-16, kami mengutip kata-kata Machiavelli, seorang filsuf Italia yang terkenal pada zaman itu,
”Seandainya agama Kristen dijaga sesuai dengan peraturan-peraturan Pendirinya, negara dan serikat Susunan Kristen akan jauh lebih bersatu dan bahagia daripada sekarang. Bukti terbesar kemerosotannya adalah fakta bahwa semakin seseorang mendekat ke Gereja Roma, kepala dari agamanya, semakin ia menjadi tidak religius.”
Upaya
Awal menuju Reformasi
7
Krisis dalam Gereja tidak saja diperhatikan oleh orang-orang seperti Erasmus dan Machiavelli, tetapi juga oleh Gereja sendiri. Konsili-konsili Gereja diadakan untuk menangani beberapa pengaduan dan penyelewengan, namun tanpa hasil yang bertahan lama. Para paus, yang menikmati kekuasaan dan kehormatan pribadi, tidak mendukung upaya nyata apa pun untuk reformasi.
8
Seandainya saja Gereja lebih serius membenahi masalah internalnya, mungkin tidak akan ada Reformasi. Tetapi kenyataannya, seruan untuk reformasi mulai terdengar dari dalam maupun luar Gereja. Di Pasal 11, kami telah menyebutkan kaum Waldens dan Albigensia. Meskipun dikutuk sebagai bidah dan ditindas dengan kejam, mereka telah membangkitkan ketidaksenangan masyarakat terhadap penyelewengan klerus Katolik dan telah mengobarkan keinginan untuk kembali kepada Alkitab. Perasaan seperti itu tersalurkan melalui sejumlah reformis masa awal.
Protes
dari Dalam Gereja
9
John Wycliffe (1330?-84), yang sering disebut sebagai ”bintang fajar Reformasi”, adalah seorang imam Katolik dan profesor teologi di Oxford, Inggris. Ia tahu betul tentang berbagai penyelewengan dalam Gereja, dan ia menulis serta angkat suara menentang hal-hal seperti korupsi di kalangan biarawan, pajak kepausan, doktrin transubstansiasi (pernyataan bahwa roti dan anggur yang digunakan dalam Misa benar-benar berubah menjadi tubuh dan darah Yesus Kristus), pengakuan dosa, dan campur tangan gereja dalam urusan duniawi.
10
Wycliffe khususnya terus terang apabila menyinggung kelalaian Gereja untuk mengajarkan Alkitab. Ia pernah menyatakan, ”Andaikan setiap paroki gereja di negeri ini memiliki sebuah Alkitab yang baik dan penjelasan yang terperinci mengenai injil, para imam mempelajarinya dengan baik, lalu benar-benar mengajarkan injil dan perintah Allah kepada umat!” Demi tujuan ini, Wycliffe, pada tahun-tahun terakhir kehidupannya, menerjemahkan Alkitab Vulgata Latin ke dalam bahasa Inggris. Dengan bantuan rekan-rekannya, khususnya Nicholas dari Hereford, ia menghasilkan Alkitab lengkap pertama dalam bahasa Inggris. Tidak diragukan, inilah sumbangsih terbesar Wycliffe bagi pencarian manusia akan Allah.
11
Tulisan-tulisan Wycliffe dan bagian-bagian Alkitab disebarkan ke seluruh Inggris oleh sekelompok penginjil yang sering disebut ”Imam-Imam Miskin” karena mereka berkeliling dengan berpakaian sederhana, bertelanjang kaki, dan tidak memiliki harta benda. Mereka juga diejek dengan julukan kaum Lollard, dari kata Lollaerd dalam bahasa Belanda Abad Pertengahan, atau ”orang yang menggumamkan doa atau himne”. (Brewer’s Dictionary of Phrase and Fable) ”Dalam beberapa tahun, jumlah mereka menjadi sangat banyak,” kata buku The Lollards. ”Diperkirakan bahwa setidaknya seperempat dari bangsa itu benar-benar atau sekadar mengaku mendukungnya.” Tentu saja, itu semua tidak luput dari perhatian Gereja. Karena kedudukannya yang terkemuka di kalangan penguasa dan ilmuwan, Wycliffe dibiarkan meninggal dengan tenang pada hari terakhir tahun 1384. Para pengikutnya kurang beruntung. Selama pemerintahan Henry IV dari Inggris, mereka dicap sebagai bidah, dan banyak yang dipenjarakan, disiksa, atau dibakar sampai mati.
12
Yang sangat dipengaruhi oleh John Wycliffe adalah seorang Bohemia (Ceko) bernama Jan Hus (1369?-1415), yang juga seorang imam Katolik dan rektor Universitas Praha. Seperti Wycliffe, Hus angkat suara menentang kebejatan Gereja Roma dan menekankan pentingnya membaca Alkitab. Hal itu segera mendatangkan kemarahan hierarki terhadapnya. Pada tahun 1403, kalangan berwenang menyuruhnya berhenti menyebarkan gagasan-gagasan Wycliffe yang antikepausan, dan buku-bukunya pun dibakar di depan umum. Akan tetapi, Hus terus menulis kecaman-kecaman yang sangat pedas terhadap praktek-praktek Gereja, termasuk penjualan indulgensi. Ia dinyatakan bersalah dan diekskomunikasi pada tahun 1410.
13
Hus tidak berkompromi dalam upayanya mendukung Alkitab. ”Memberontak terhadap seorang paus yang keliru berarti menaati Kristus,” tulisnya. Ia juga mengajarkan bahwa gereja sejati, yang sama sekali bukan paus dan lembaga-lembaga Romawi, ”adalah semua orang terpilih dan tubuh rohani Kristus, dengan Kristus sebagai kepala; dan pengantin perempuan Kristus, yang ia tebus dengan darahnya sendiri karena kasihnya yang besar”. (Bandingkan Efesus 1:22, 23; 5:25-27.) Karena semua ini, ia diadili oleh Konsili Konstans dan dinyatakan bersalah sebagai seorang bidah. Dengan menyatakan ”lebih baik mati dengan benar daripada hidup bejat”, ia menolak untuk mengaku salah dan dibakar sampai mati di tiang pada tahun 1415. Konsili yang sama juga memerintahkan agar tulang-tulang Wycliffe digali dan dibakar meskipun ia telah mati dan dikubur lebih dari 30 tahun!
14
Reformis masa awal lainnya adalah biarawan Dominikan Girolamo Savonarola (1452-98) dari biara San Marcos di Florence, Italia. Terbawa oleh semangat Renaisans Italia, Savonarola berbicara dengan terus terang menentang kebobrokan Gereja dan Negara. Ia berupaya mendirikan suatu negara Kristen, atau tatanan teokratis, dengan mengaku bahwa dasarnya adalah Alkitab, dan penglihatan serta penyingkapan yang katanya telah ia terima. Pada tahun 1497, paus mengekskomunikasi dia. Pada tahun berikutnya, ia ditahan, disiksa, dan digantung. Kata-katanya yang terakhir adalah, ”Tuanku mati untuk dosa-dosaku; tidakkah aku dengan senang hati memberikan kehidupan yang hina ini kepadanya?” Mayatnya dibakar dan abunya dibuang ke Sungai Arno. Dengan tepat Savonarola menyebut dirinya ”seorang pelopor dan korban”. Hanya beberapa tahun kemudian, Reformasi melanda seluruh Eropa dengan kekuatan penuh.
Rumah
Tangga yang Terbagi
15
Badai Reformasi akhirnya berkecamuk dan memecah belah rumah tangga Susunan Kristen di Eropa Barat. Jika tadinya Gereja Katolik Roma mendominasi hampir seluruh rumah tangga Susunan Kristen, kini rumah tangga itu terbagi-bagi. Eropa Selatan—Italia, Spanyol, Austria, dan sebagian Prancis—kebanyakan tetap Katolik. Sisanya terbagi menjadi tiga golongan utama: Lutheran di Jerman dan Skandinavia; Calvinisme (atau Reformasi) di Swiss, Belanda, Skotlandia, serta sebagian dari Prancis; dan Anglikan di Inggris. Tiga golongan itu terbagi lagi menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil tetapi lebih radikal, mula-mula kaum Anabaptis dan selanjutnya kaum Menno, Hutter, dan Puritan, yang belakangan membawa kepercayaan mereka ke Amerika Utara.
16
Selama bertahun-tahun, tiga golongan utama ini terbagi lagi menjadi ratusan sekte yang ada sekarang—beberapa di antaranya ialah Presbiterian, Episkopal, Metodis, Baptis, Kongregasional. Susunan Kristen benar-benar menjadi rumah tangga yang terbagi-bagi. Bagaimana golongan-golongan ini muncul?
Luther
dan Tesisnya
17
Jika kita harus menyebutkan titik awal yang menentukan dari Reformasi Protestan, itu adalah 31 Oktober 1517, ketika Martin Luther (1483-1546), biarawan ordo St. Agustinus, menurut cerita turun-temurun memakukan 95 tesisnya pada pintu gereja kastel di Wittenberg di negara bagian Saxony, Jerman. Akan tetapi, apa yang memicu terjadinya peristiwa dramatis ini? Siapakah Martin Luther? Dan, apa yang ia protes?
18
Seperti Wycliffe dan Hus pendahulunya, Martin Luther adalah seorang cendekiawan dan biarawan. Ia juga seorang doktor teologi dan profesor di bidang penelitian Alkitab di Universitas Wittenberg. Nama Luther cukup termasyhur karena pemahaman Alkitabnya. Meskipun memiliki pendapat yang kuat mengenai pokok keselamatan, atau pembenaran, melalui iman dan bukan melalui perbuatan atau pengakuan dosa, ia tidak bermaksud memisahkan diri dari Gereja Roma. Tesis-tesis yang ia keluarkan sebenarnya adalah reaksi terhadap sebuah kejadian spesifik, bukannya pemberontakan terencana. Ia memprotes penjualan indulgensi.
19
Pada masa Luther, indulgensi dari paus dijual kepada umum tidak saja bagi orang yang hidup tetapi juga bagi yang sudah mati. Ada peribahasa umum, ”Begitu uang logam yang masuk ke peti berdenting, jiwa di Api Penyucian pun akan keluar.” Bagi rakyat jelata, selembar indulgensi hampir menjadi polis asuransi guna menghindari hukuman untuk segala dosa, dan pertobatan tidak diperlukan. ”Di mana-mana,” tulis Erasmus, ”pengampunan dari siksaan api penyucian dijual; tidak sekadar dijual, tetapi dipaksakan kepada mereka yang menolaknya.”
20
Pada tahun 1517, John Tetzel, seorang rahib Dominikan, pergi ke Jüterbog, dekat Wittenberg, untuk menjual indulgensi. Uang yang diperoleh sebagian dipakai untuk membiayai pembangunan kembali Basilika St. Petrus di Roma. Uang itu juga digunakan untuk membantu Albert dari Brandenburg mengembalikan uang yang ia pinjam guna membayar Kuria Roma sebagai imbalan atas kedudukan uskup agung di Mainz. Tetzel mengerahkan segenap keterampilannya sebagai penjual, dan orang-orang mengerumuninya. Luther marah, dan ia menggunakan cara tercepat yang ada untuk menyatakan pendapatnya di depan umum mengenai ulah Tetzel yang bagaikan sirkus itu—dengan memakukan 95 pokok sanggahan di pintu gereja.
21
Luther menyebut 95 tesisnya Sanggahan yang Menuntut Penjelasan tentang Kuasa Indulgensi. Tujuannya sejauh ini bukan untuk menantang wewenang gereja, melainkan untuk menunjukkan efek samping dan penyalahgunaan yang berkaitan dengan penjualan indulgensi dari paus. Ini dapat terlihat dari tesis berikut:
”5. Paus tidak memiliki kehendak atau kuasa untuk mengampuni setiap hukuman, kecuali yang ia berikan dengan wewenangnya sendiri. . . .
20. Karena itu, jika paus berbicara mengenai pengampunan penuh dari semua hukuman, sesungguhnya tidak berarti semuanya, tetapi hanya hukuman yang diberikan olehnya sendiri. . . .
36. Setiap orang Kristen yang benar-benar merasa menyesal berhak mendapat pengampunan penuh dari hukuman dan kesalahan bahkan tanpa surat pengampunan.”
22
Dengan bantuan mesin cetak yang baru ditemukan, dalam waktu singkat gagasan-gagasan yang menggegerkan ini mencapai bagian-bagian lain di Jerman—dan Roma. Apa yang awalnya adalah perdebatan akademis mengenai penjualan indulgensi segera menjadi kontroversi mengenai masalah iman dan wewenang kepausan. Pada mulanya, Gereja Roma mengikutsertakan Luther dalam perdebatan dan menyuruh dia mengaku salah. Ketika Luther menolak, kekuasaan gerejawi maupun kekuasaan politik dikerahkan untuk menekan dia. Pada tahun 1520, paus mengeluarkan bula, atau maklumat, yang melarang Luther berkhotbah dan memerintahkan agar buku-bukunya dibakar. Dengan sikap menantang, Luther membakar bula kepausan itu di muka umum. Paus mengekskomunikasi dia pada tahun 1521.
23
Belakangan pada tahun itu, Luther dipanggil menghadap diet, atau majelis para petinggi, di Worms. Ia diadili oleh kaisar Imperium Romawi Suci, Charles V, seorang Katolik yang fanatik, dan enam elektor (orang yang memiliki hak suara) dari negara-negara bagian Jerman, serta para pemimpin serta pembesar lain di bidang keagamaan dan sekuler. Ketika sekali lagi dipaksa untuk mengaku salah, Luther membuat pernyataan yang terkenal, ”Kecuali saya dinyatakan bersalah oleh Alkitab dan alasan yang jelas . . . , saya tidak dapat dan tidak mau mengakui kesalahan apa pun, karena melawan hati nurani itu tidak benar dan tidak aman. Semoga Allah menolong saya. Amin.” Akibatnya, ia dinyatakan melanggar hukum oleh kaisar. Akan tetapi, penguasa negara bagian Jerman tempat ia tinggal, yaitu Elektor Frederick dari Saxony, menolongnya dan memberinya perlindungan di kastel Wartburg.
24
Namun, langkah-langkah ini tidak dapat membendung penyebaran gagasan Luther. Selama sepuluh bulan, dalam perlindungan Wartburg, Luther mencurahkan perhatiannya untuk menulis dan menerjemahkan Alkitab. Ia menerjemahkan Kitab-Kitab Yunani dari teks Yunani Erasmus ke dalam bahasa Jerman. Kitab-Kitab Ibrani menyusul belakangan. Alkitab Luther ternyata sangat dibutuhkan masyarakat umum. Menurut laporan, ”lima ribu eksemplar terjual dalam waktu dua bulan, dua ratus ribu eksemplar dalam waktu dua belas tahun”. Pengaruhnya atas bahasa dan kebudayaan Jerman sering disejajarkan dengan pengaruh King James Version atas bahasa dan kebudayaan Inggris.
25
Pada tahun-tahun sesudah Diet di Worms, gerakan Reformasi mendapat dukungan dari begitu banyak orang sehingga pada tahun 1526 kaisar memberikan hak kepada setiap negara bagian Jerman untuk memilih bentuk agamanya sendiri, Lutheran atau Katolik Roma. Tetapi pada tahun 1529, ketika kaisar mengubah keputusan tersebut, beberapa pangeran Jerman memprotes; itu sebabnya nama Protestan diciptakan untuk gerakan Reformasi. Pada tahun berikutnya, 1530, dalam Diet di Augsburg, kaisar berupaya menjembatani perbedaan di antara kedua pihak. Kaum Lutheran menyatakan kepercayaan mereka dalam sebuah dokumen, yang disebut Pengakuan Iman Augsburg, disusun oleh Philipp Melanchthon namun didasarkan atas ajaran Luther. Meskipun dokumen itu bernada mendamaikan, Gereja Roma menolaknya, dan keretakan antara Protestan dan Katolik tak dapat dipulihkan lagi. Banyak negara bagian Jerman berpihak kepada Luther, dan belakangan ini diikuti oleh negara-negara bagian Skandinavia.
Reformasi
atau Pemberontakan?
26
Pokok-pokok mendasar apa yang memisahkan kelompok Protestan dengan Katolik Roma? Menurut Luther, ada tiga. Pertama, Luther percaya bahwa keselamatan diperoleh melalui ”pembenaran oleh iman saja” (bahasa Latin, sola fide) dan bukan melalui pengampunan dosa oleh imam atau laku tobat. Kedua, ia mengajarkan bahwa pengampunan dikaruniakan semata-mata karena rahmat Allah (sola gratia) dan bukan dengan wewenang para imam atau paus. Akhirnya, Luther berpendapat bahwa semua masalah doktrinal harus diteguhkan oleh Kitab Suci saja (sola scriptura) dan bukan oleh paus atau konsili gereja.
27
Meskipun demikian, menurut The Catholic Encyclopedia, Luther ”mempertahankan sebanyak mungkin kepercayaan dan liturgi kuno yang bisa disesuaikan dengan pandangan-pandangannya yang khas mengenai dosa dan pembenaran”. Pengakuan Iman Augsburg menyatakan mengenai kepercayaan Lutheran bahwa ”tidak ada apa pun yang bertentangan dengan Alkitab, atau dengan Katolik Gereja, atau bahkan dengan Gereja Roma, sejauh yang dikenal dari para penulis [Bapak Gereja].” Sebenarnya, kepercayaan Lutheran, sebagaimana yang diuraikan dalam Pengakuan Iman Augsburg, mencakup doktrin-doktrin yang tidak berdasarkan Alkitab seperti Tritunggal, jiwa yang tak berkematian, dan siksaan kekal, juga praktek-praktek seperti pembaptisan bayi dan hari peringatan serta perayaan gereja. Di pihak lain, kaum Lutheran menuntut beberapa perubahan, seperti diizinkannya orang-orang menerima anggur maupun roti pada waktu Komuni dan dihapuskannya hidup selibat, sumpah biarawan, dan pengakuan-dosa-wajib.
28
Secara keseluruhan, Reformasi yang didukung oleh Luther dan para pengikutnya berhasil melepaskan diri dari kuk kepausan. Akan tetapi, seperti yang Yesus nyatakan di Yohanes 4:24, ”Allah adalah Roh, dan orang yang menyembah dia harus menyembah dengan roh dan kebenaran.” Sehubungan dengan Martin Luther, dapat dikatakan bahwa pencarian manusia akan Allah yang benar hanya menempuh arah baru; jalan kebenaran yang sempit masih jauh.—Matius 7:13, 14; Yohanes 8:31, 32.
Reformasi
Zwingli di Swiss
29
Sementara Luther sibuk melawan para duta kepausan dan kalangan berwenang sipil di Jerman, imam Katolik Ulrich Zwingli (1484-1531) memulai gerakan reformasinya di Zurich, Swiss. Karena orang-orang di wilayah itu berbahasa Jerman, mereka sudah dipengaruhi oleh gelombang reformasi dari utara. Sekitar tahun 1519, Zwingli mulai angkat suara menentang indulgensi, pemujaan Perawan Maria, keselibatan klerus, dan doktrin Gereja Katolik lainnya. Meskipun mengaku tidak ada kaitannya dengan Luther, Zwingli sependapat dengan Luther dalam banyak hal dan menyiarkan risalah Luther ke seluruh negeri. Akan tetapi, berbeda dengan Luther yang lebih konservatif, Zwingli menganjurkan agar semua sisa Gereja Roma disingkirkan—patung, salib, jubah kependetaan, dan bahkan musik liturgi.
30
Akan tetapi, kontroversi yang lebih serius antara kedua reformis itu adalah mengenai masalah Ekaristi, atau Misa (Komuni). Luther berkeras bahwa kata-kata Yesus, ’Inilah tubuhKu,’ harus ditafsirkan secara harfiah, dan percaya bahwa tubuh dan darah Kristus secara mukjizat ada dalam roti dan anggur yang disajikan pada waktu Komuni. Sebaliknya, Zwingli berargumentasi dalam karya tulisnya On the Lord’s Supper bahwa pernyataan Yesus ”harus dipahami secara kiasan; ’Inilah tubuh-Ku’, maksudnya, ’Roti mengartikan tubuh-Ku’, atau ’melambangkan tubuh-Ku’”. Karena perbedaan itu, kedua reformis tersebut berpisah.
31
Zwingli terus menyebarkan doktrin reformasinya di Zurich dan menghasilkan banyak perubahan di sana. Penduduk di kota-kota lain segera mengikuti dia, tetapi kebanyakan orang di pedesaan, karena lebih konservatif, tetap berpaut pada Katolik. Pertentangan antara dua golongan itu kian memanas sehingga pecahlah perang sipil antara orang Protestan dan orang Katolik Roma di Swiss. Zwingli, yang menjadi pendeta tentara, tewas dalam pertempuran di Kappel, dekat Danau Zug, pada tahun 1531. Seusai perang, setiap distrik diberi hak untuk memutuskan bentuk agamanya sendiri, Protestan atau Katolik.
Kaum
Anabaptis, Menno, dan Hutter
32
Akan tetapi, beberapa orang Protestan merasa bahwa para reformis belum cukup kuat menolak kelemahan gereja kepausan Katolik. Mereka percaya bahwa gereja Kristen seharusnya hanya terdiri dari orang-orang beriman yang mengamalkan agamanya dan dibaptis, bukannya semua orang dalam suatu masyarakat atau bangsa. Karena itu, mereka menolak pembaptisan bayi dan berkukuh bahwa Gereja dan Negara harus terpisah. Mereka secara diam-diam membaptis kembali para pengikut mereka dan karena itu disebut kaum Anabaptis (ana berarti ”lagi” dalam bahasa Yunani). Karena menolak angkat senjata, mengucapkan sumpah, atau menerima jabatan di pemerintahan, mereka dipandang sebagai ancaman bagi masyarakat dan dianiaya oleh orang Katolik maupun Protestan.
33
Pada mulanya kaum Anabaptis tinggal dalam kelompok-kelompok kecil yang terpencar di Swiss, Jerman, dan Belanda. Seraya mereka menyebarkan kepercayaannya ke mana saja mereka pergi, jumlah mereka bertambah pesat. Sekelompok orang Anabaptis, karena terhanyut oleh semangat agama mereka, meninggalkan paham suka damai lalu merebut kota Münster pada tahun 1534 dan berupaya menjadikannya Yerusalem Baru yang komunal dan poligamis. Gerakan itu segera dipadamkan dengan kekerasan besar. Hal itu mencoreng nama kaum Anabaptis, dan mereka hampir saja dilenyapkan. Namun, kebanyakan orang Anabaptis sebenarnya religius dan sederhana, yang berupaya hidup menyendiri dan tenang. Salah satu cabang kaum Anabaptis yang lebih terorganisasi adalah kaum Menno, pengikut reformis Belanda Menno Simons, dan kaum Hutter, yang dipimpin Jacob Hutter, orang Tirol. Untuk menghindari penganiayaan, beberapa dari mereka pindah ke Eropa Timur—Polandia, Hongaria, bahkan Rusia—yang lainnya ke Amerika Utara, yang belakangan dikenal sebagai komunitas Hutter dan Amish.
Lahirnya
Calvinisme
34
Kegiatan reformasi di Swiss terus maju di bawah pimpinan seorang Prancis bernama Jean Cauvin, atau John Calvin (1509-64), yang mengenal ajaran Protestan selama ia bersekolah di Prancis. Pada tahun 1534, Calvin meninggalkan Paris karena penganiayaan agama dan menetap di Basel, Swiss. Untuk membela orang Protestan, ia menerbitkan Institutes of the Christian Religion, yang berisi ringkasan ide-ide para bapak Gereja masa awal dan teolog abad pertengahan, juga ide-ide Luther dan Zwingli. Karyanya itu dianggap sebagai fondasi doktrinal bagi semua gereja Reformasi yang belakangan didirikan di Eropa dan Amerika.
35
Dalam Institutes, ia menguraikan teologinya. Bagi Calvin, Allah adalah penguasa mutlak, yang kehendak-Nya menentukan dan menguasai segala sesuatu. Sebaliknya, manusia penuh dosa dan sama sekali tidak layak. Karena itu, keselamatan tidak bergantung pada perbuatan baik manusia tetapi pada Allah; ini melahirkan doktrin Calvin mengenai takdir, yang tentangnya ia menulis,
”Kami menyatakan, bahwa melalui kehendak kekal yang tak dapat diubah, Allah telah menentukan sekali untuk selamanya, siapa yang akan Ia selamatkan, dan siapa yang akan Ia binasakan. Kami menegaskan bahwa kehendak ini, sehubungan dengan orang yang terpilih, didasarkan atas belas kasihan-Nya yang yang tidak selayaknya diperoleh, sama sekali tidak bergantung pada jasa manusia; tetapi mengenai orang yang Ia tentukan untuk dihukum, gerbang kehidupan tertutup oleh vonis yang adil dan tanpa cela, namun yang tidak dapat dipahami.”
Kekakuan ajaran tersebut juga tercermin dalam bidang-bidang lain. Calvin menandaskan bahwa umat Kristen harus hidup suci dan saleh, menjauhkan diri bukan saja dari dosa melainkan juga dari kesenangan dan senda gurau. Lebih lanjut, ia memperlihatkan bahwa Gereja, yang terdiri dari orang-orang terpilih, harus bebas dari semua pembatasan sipil dan bahwa masyarakat yang betul-betul saleh hanya dapat dibentuk melalui Gereja.
36
Tidak lama setelah menerbitkan Institutes, Calvin dibujuk oleh William Farel, reformis lain dari Prancis, untuk menetap di Jenewa. Mereka bekerja sama untuk menerapkan Calvinisme. Mereka bertujuan mengubah Jenewa menjadi kota Allah, suatu pemerintahan teokratis Allah yang menggabungkan fungsi Gereja dan Negara. Mereka menetapkan peraturan-peraturan yang ketat, disertai sanksi, yang mencakup segala sesuatu mulai dari pengajaran keagamaan dan kebaktian gereja sampai aturan moral masyarakat, bahkan soal kebersihan dan pencegahan kebakaran. Sebuah teks sejarah melaporkan bahwa ”seorang penata rambut, misalnya, karena menata rambut pengantin dengan gaya yang dianggap tidak pantas, dipenjarakan selama dua hari; dan sang ibu, bersama dua teman wanitanya, yang turut membantu, menerima hukuman yang sama. Berdansa dan bermain kartu juga dihukum oleh hakim”. Perlakuan keras dikenakan pada orang-orang yang menyimpang dari teologi Calvin, kasus terburuk adalah pembakaran seorang Spanyol, Miguel Serveto, atau Michael Servetus.—Lihat kotak, halaman 322.
37
Calvin terus menerapkan gaya reformasinya di Jenewa hingga kematiannya pada tahun 1564, dan gereja Reformasi terbentuk secara mapan. Para reformis Protestan, yang melarikan diri dari penganiayaan di negeri-negeri lain, berkumpul di Jenewa, menganut ide-ide Calvin, dan menjadi pelopor gerakan reformasi di negeri asal mereka masing-masing. Tak lama kemudian, Calvinisme menyebar ke Prancis, tempat kaum Huguenot (sebutan bagi orang Protestan pengikut Calvin di Prancis) menderita penganiayaan hebat di tangan orang Katolik. Di Belanda, pengikut Calvin turut mendirikan Gereja Reformasi Belanda. Di Skotlandia, di bawah kepemimpinan mantan imam Katolik yang bersemangat yang bernama John Knox, Gereja Presbiterian Skotlandia didirikan menurut Calvinisme. Calvinisme juga memainkan peranan dalam Reformasi di Inggris, dan dari situ dibawa oleh kaum Puritan ke Amerika Utara. Jadi, meskipun Luther yang memulai Reformasi Protestan, Calvin jauh lebih berpengaruh dalam hal perkembangannya.
Reformasi
di Inggris
38
Reformasi Inggris sama sekali terpisah dari gerakan reformasi di Jerman maupun di Swiss, dan asal usulnya dapat ditelusuri ke zaman John Wycliffe. Pemberitaannya yang menentang klerus dan penandasan Alkitab telah mengobarkan semangat Protestan di Inggris. Upaya dia untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Inggris diikuti oleh orang-orang lain. William Tyndale, yang harus lari dari Inggris, menghasilkan Perjanjian Barunya pada tahun 1526. Belakangan, ia dikhianati di Antwerpen dan mati digantung pada tiang, lalu mayatnya dibakar. Miles Coverdale merampungkan terjemahan Tyndale, dan seluruh Alkitab terbit pada tahun 1535. Diterbitkannya Alkitab dalam bahasa rakyat pasti merupakan satu faktor paling kuat yang turut menghasilkan Reformasi di Inggris.
39
Pemutusan hubungan secara resmi dengan Katolik Roma terjadi ketika Henry VIII (1491-1547), yang oleh paus dijuluki Pembela Iman, mengumumkan Undang-Undang Supremasi pada tahun 1534, dan mengangkat dirinya sebagai kepala Gereja Inggris. Henry juga menutup biara-biara dan membagikan propertinya kepada kaum bangsawan. Selain itu, ia memerintahkan agar sebuah Alkitab berbahasa Inggris tersedia di setiap gereja. Akan tetapi, tindakan Henry lebih bersifat politis daripada keagamaan. Ia ingin bebas dari wewenang kepausan, terutama menyangkut soal perkawinannya. Walaupun ia disebut seorang Protestan, secara agama ia tetap Katolik dalam segala hal.
40
Selama masa pemerintahan Elizabeth I yang panjang (1558-1603), Gereja Inggris sudah menjalankan praktek-praktek Protestan meskipun sebagian besar strukturnya tetap Katolik. Tidak ada lagi kesetiaan kepada paus, keselibatan klerus, pengakuan dosa, dan praktek Katolik lainnya, namun struktur gereja berupa keuskupan dengan hierarkinya yang terdiri dari para uskup agung dan uskup biasa, maupun ordo biarawan dan biarawati, tetap dipertahankan. Sikap konservatif ini menimbulkan banyak ketidakpuasan, dan muncullah berbagai kelompok yang tidak sepaham. Kaum Puritan menuntut reformasi yang lebih menyeluruh untuk memurnikan gereja dari semua praktek Katolik Roma; kaum Separatis dan kaum Independen berkukuh bahwa masalah gereja seharusnya ditangani oleh para penatua (presbiter) setempat. Banyak dari orang-orang yang tidak sepaham itu lari ke Belanda atau Amerika Utara, lalu mengembangkan gereja Kongregasional dan gereja Baptis. Di Inggris muncullah juga Perkumpulan Sahabat (Society of Friends atau Quakers) di bawah George Fox (1624-91) dan kaum Metodis di bawah John Wesley (1703-91).—Lihat bagan di bawah.
Apa
Saja Pengaruhnya?
41
Setelah membahas tiga aliran besar Reformasi—Lutheran, Calvinisme, dan Anglikan—kita perlu merenung sejenak untuk menilai apa yang telah dicapai Reformasi. Tidak dapat disangkal, Reformasi mengubah jalannya sejarah dunia Barat. ”Reformasi mempengaruhi orang-orang untuk menjadi haus akan kemerdekaan dan menjadi warga negara yang lebih luhur serta lebih murni. Ke mana pun gerakan Protestan menyebar, masyarakat menjadi lebih berani menyatakan diri,” tulis John F. Hurst dalam bukunya Short History of the Reformation. Banyak pakar percaya bahwa peradaban Barat tidak mungkin menjadi seperti yang kita kenal sekarang tanpa Reformasi. Maka, kita patut bertanya: Apa yang dicapai Reformasi secara keagamaan? Apa peranannya dalam pencarian manusia akan Allah yang benar?
42
Tidak diragukan, hal terbaik yang dicapai Reformasi adalah membuat Alkitab tersedia bagi rakyat jelata dalam bahasa mereka sendiri. Untuk pertama kalinya, orang memiliki Firman Allah secara lengkap untuk dibaca, sehingga mereka dapat memperoleh makanan rohani. Tetapi, membaca Alkitab saja tentu tidak cukup. Apakah Reformasi memerdekakan orang bukan saja dari wewenang kepausan melainkan juga dari kekeliruan doktrin dan dogma yang telah mereka anut selama berabad-abad?—Yohanes 8:32.
43
Hampir semua gereja Protestan menganut kredo yang sama—Kredo Nicea, Kredo Athanasia, dan Pengakuan Iman Rasuli—dan mereka berpegang pada beberapa doktrin yang telah Katolik ajarkan selama berabad-abad, seperti Tritunggal, jiwa yang tak berkematian, dan api neraka. Ajaran-ajaran yang tidak berdasarkan Alkitab demikian memberikan gambaran yang menyimpang tentang Allah dan maksud-tujuan-Nya. Bukannya membantu orang mencari Allah yang benar, sejumlah besar sekte dan aliran yang muncul sebagai hasil semangat kebebasan Reformasi Protestan hanya mengarahkan orang ke banyak jurusan yang berlainan. Malah, keanekaragaman dan kesimpangsiuran itu telah menyebabkan banyak orang mempertanyakan keberadaan Allah. Akibatnya? Pada abad ke-19 timbullah gelombang ateisme dan agnostisisme, yang akan kita bahas di pasal berikut.
[Catatan
Kaki]
Surat pengampunan dosa yang dikeluarkan oleh paus.
Luther sangat berkukuh pada konsep ”pembenaran oleh iman saja” sehingga dalam terjemahan Alkitabnya, ia menambahkan kata ”saja” di Roma 3:28. Ia juga mencurigai buku Yakobus yang menyatakan bahwa ”iman tanpa perbuatan adalah mati”. (Yakobus 2:17, 26) Ia tidak memahami bahwa yang Paulus maksudkan dalam buku Roma adalah perbuatan menurut Hukum Yahudi.—Roma 3:19, 20, 28.
Martin Luther menikah pada tahun 1525 dengan Katharina von Bora, mantan biarawati yang lari dari biara Cistercian. Mereka mempunyai enam anak. Ia menyatakan bahwa ia menikah karena tiga alasan: untuk menyenangkan ayahnya, untuk menjengkelkan paus dan Iblis, dan untuk memeteraikan kesaksiannya sebelum mati sebagai martir.
Henry VIII mempunyai enam istri. Perkawinan pertamanya dibatalkan sekalipun paus tidak menyetujuinya, dan perkawinan lainnya berakhir dengan perceraian. Dua istrinya dihukum pancung atas perintahnya, dan dua lagi meninggal secara alamiah.
Kata Yunani e·pi
′sko·pos diterjemahkan menjadi ”uskup” dalam Alkitab bahasa Inggris seperti King James Version.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar